KLIKPOSITIF – Kita sering berbicara santai tentang stres seolah-olah maknanya sudah jelas, tetapi studi ilmiah terus menemukan makna baru untuk konsep tersebut dan mengaitkan pentingnya perannya dalam kesehatan dan penyakit.
Meskipun kata tersebut mungkin menyiratkan reaksi mental semata, penelitian telah menunjukkan bahwa stres memengaruhi hampir setiap bagian tubuh.
Sebagian besar penelitian berfokus pada respons “lawan atau lari” yang dimiliki tubuh terhadap ancaman, dan pada efek jangka panjang dari stres kronis, di mana tubuh mengalami rangsangan berulang.
Kemungkinan peran faktor-faktor yang berhubungan dengan stres dalam timbulnya dan perjalanan kanker tentu saja bukan gagasan yang baru atau radikal. Bahkan pada abad kedua, dokter Yunani Galen mencatat bahwa wanita yang melankolis tampaknya lebih mungkin mengembangkan kanker daripada wanita yang ceria.
Dilansir dari laman med.stanford.edu, dokter abad kedelapan belas dan kesembilan belas sering mencatat bahwa gangguan hidup yang parah dan kekacauan emosional, keputusasaan, dan hilangnya harapan yang diakibatkannya tampaknya terjadi sebelum timbulnya kanker.
Pada tahun 1870, Dr. James Paget menekankan bahwa gangguan emosional berhubungan dengan kanker: “Kasus-kasus yang sangat sering terjadi di mana kecemasan yang mendalam, harapan yang tertunda, dan kekecewaan dengan cepat diikuti oleh pertumbuhan dan peningkatan kanker sehingga kita hampir tidak dapat meragukan bahwa depresi mental merupakan tambahan yang berat bagi pengaruh-pengaruh lain yang mendukung perkembangan konstitusi kanker.
Pada tahun 1885, Parker membuat hubungan pikiran-tubuh dengan cara yang profetik dengan menekankan hasil fisik dari emosi: “Ada alasan fisiologis terkuat untuk percaya bahwa depresi mental yang hebat, khususnya kesedihan, menyebabkan kecenderungan terhadap penyakit seperti kanker, atau menjadi penyebab yang ada dalam keadaan di mana kecenderungan tersebut telah diperoleh.”
Meskipun tren pengamatan ini konsisten, minat pada intervensi yang lebih fisik—seperti radiasi, pembedahan, dan kemoterapi—mengalihkan perhatian medis dari kontribusi emosional. Lebih jauh lagi, kurangnya alat untuk mengatasi stres dapat dimengerti menyebabkan ketergantungan pada intervensi medis ini.