KLIKPOSITIF- Perkumpulan Tenaga Pendamping Desa Indonesia (Pertepedesia) menyampaikan keprihatinan dan kritik terhadap kebijakan pemberhentian Tenaga Pendamping Profesional (TPP) oleh Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal.
Sekjen Pertepedesia, Bahsian Micro mengatakan, kebijakan tersebut yang didasarkan pada status TPP sebagai mantan calon anggota legislatif (caleg), dinilai tidak hanya merugikan TPP tetapi juga bertentangan dengan prinsip keadilan, hak atas pekerjaan, dan semangat pembangunan desa.
“Kritik terhadap Kebijakan Pemberhentian TPP, tidak ada dasar hukum yang kuat.
Kebijakan ini tidak memiliki landasan hukum yang jelas,” ungkapnya melalui siaran pers tertulis diterima Klikpositif, Senin 3 Maret 2025.
Ia menjelaskan, Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa tidak melarang mantan caleg untuk menjadi TPP. Selain itu, kebijakan pemberhentian oleh Kemendes, berpotensi melanggar prinsip hak atas pekerjaan yang dijamin oleh UU Ketenagakerjaan.
“Kebijakan ini menggeneralisasi semua mantan caleg sebagai pihak yang berpotensi memiliki konflik kepentingan, tanpa mempertimbangkan integritas dan rekam jejak individu. Hal ini menimbulkan ketidakadilan bagi TPP yang telah bekerja secara profesional dan berdedikasi, terlebih TPP telah melakukan pekerjaan rutin selama 2 ( dua ) bulan dengan dasar hukum surat keputusan kepala BPSDM kementerian desa PDTT tertanggal 3 Januari 2025. Yang terancam tidak dibayarkan honornya sehingga mengancam stabilitas ekonomi dan hak-hak atas penghidupan yang layak yang dijamin undang-undang,” terangnya.
Lanjutnya, terkait pemberhentian ini, dampak negatif bisa terjadi terhadap Pembangunan Desa, karena TPP memainkan peran kunci dalam mendukung program pembangunan desa.
“Pemberhentian massal ini dapat mengganggu keberlanjutan program-program pembangunan, terutama di daerah tertinggal yang sangat bergantung pada pendampingan profesional,” jelasnya.
Ia menegaskan, kebijakan pemberhentian tersebut dibuat tanpa melibatkan konsultasi dengan organisasi seperti Pertepedesia, yang memahami dinamika dan kebutuhan TPP. Proses pembuatan kebijakan yang tidak partisipatif ini menunjukkan kurangnya transparansi dan akuntabilitas.
Menurutnya, dampak kebijakan tersebut, dapat menghilangkan mata pencaharian TPP secara tiba-tiba. Menciptakan ketidakpastian dan ketidakadilan bagi tenaga profesional yang telah berkontribusi.
Selain itu, bagi desa, juga dapat
mengganggu program pembangunan desa yang sedang berjalan, dan menghambat pencapaian tujuan pembangunan daerah tertinggal, berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah, serta menimbulkan citra buruk dalam penanganan tenaga kerja profesional.
“Terkait hal ini, Pertepedesia mengajukan permohonan audiensi kepada Komisi V DPR RI untuk mendiskusikan kebijakan ini lebih lanjut. Menyampaikan aspirasi dan masukan dari TPP yang terdampak, dan mencari solusi terbaik yang mempertimbangkan kepentingan TPP dan pembangunan desa,” ujarnya.