BUKITTINGGI, KLIKPOSITIF – Dua tahun terakhir, Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas II Bukittinggi telah melaksanakan 29 pendampingan dalam proses diversi kasus Kecelakaan Lalulintas dengan pelaku anak.
Diversi sebagai salah satu bentuk keadilan restoratif berupa penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, sangat mengakomodir kepentingan anak.
Kepala Bapas Bukittinggi Elfiandi mengungkapkan, sejak Januari 2020 hingga akhir Desember 2021, Bapas Bukittinggi telah melaksanakan pendampingan diversi untuk 29 anak pada tingkat Kepolisian.
“Alhamdulillah, dari 29 kasus Lakalantas (kecelakaan lalu lintas) tersebut berakhir dengan kesepakatan damai dan anak dikembalikan ke orangtua. Dalam tahun 2022 ini, telah dilakukan pendampingan klien anak sebagai pelaku pelanggaran lalu lintas sebanyak 5 kasus,” jelas Elfiandi di Bukittinggi Rabu (8/6/2022).
Elfiandi didampingi Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Muda Bapas Bukittinggi Indra menjelaskan pelanggaran UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Angkutan Darat merupakan salah satu perkara yang sering terjadi di wilayah kerja Bapas Bukittinggi yang diselesaikan melalui mekanisme diversi.
Dikatakan Indra, pendampingan Diversi yang dilaksanakan Bapas Bukittinggi terakhir, pada 07 Oktober 2022 juga kasus Lakalantas. “Saya dan dua PK Muda lainnya mewakili Bapas Bukittinggi bertindak sebagai wakil fasilitator dalam sidang diversi bersama Petugas Satlantas Polres Pasaman untuk 3 orang anak,” beber Indra.
Dalam proses diversi tersebut, menurut Elfiandi pihak pelaku yaitu anak dengan pendampingan orang tua, ahli waris korban dan para pihak terkait seperti Wali Jorong/Nagari serta perwakilan sekolah anak.
Dari temuan Indra dan Pembimbing Kemasyarakatan lainnya, sulitnya fasilitas transportasi ke sekolah dan lemahnya pengawasan orang tua terhadap anak dalam mengendarai sepeda motor adalah faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas.
“Ini salah satu pertimbangannya. Sejauh ini tidak ada kami menemukan anak yang terlibat Lakalantas akibat penggunaan obat terlarang,” ujarnya.
Indra menceritakan, dalam prosesnya, seluruh pihak bersepakat perkara tersebut diselesaikan melalui diversi dengan kesepakatan bahwa pihak pelaku atau keluarga pelaku memberikan tali asih dalam bentuk sejumlah uang sebagai bantuan kepada pihak keluarga korban atau ahli waris guna keperluan pengobatan atau keperluan lainnya jika korban meninggal dunia.
“Selain mendapatkan santunan dari Jasa Raharja, korban juga diberikan bantuan dari pihak pelaku sebagai bentuk itikad baik untuk kepentingan korban. Nah, kepentingan korban adalah salah satu perhatian penting dalam diversi,” sebut Indra.
Setelah proses diversi mencapai kesepakatan, dilaporkan ke pengadilan untuk diterbitkan penetapannya. Setelah penetapan dikeluarkan pengadilan setempatn, Pembimbing Kemasyarakatan melakukan pengawasan dan pembimbingan untuk klien anak selama tiga bulan. Tujuannyauntuk memantau perilaku anak agar tidak melakukan tindak pidana kembali dalam bentuk apapun.
Selaku Kepala Bapas, Elfiandi menilai proses penyelesaian perkara pada anak yang bermasalah dengan hukum (ABH) melalui diversi merupakan cara yang bijak. Menurutnya, pengasuhan anak yang terbaik adalah dikembalikan kepada orang tuanya.
“Orang tua dituntut untuk memberikaan pengasuhan yang tebaik kepada anaknya, termasuk memberikan pemahaman agar taat terhadap peraturan dan hukum yang berlaku.
“Anak adalah generasi penerus, generasi emas yang akan mengisi dan membangun negeri ini menuju kejayaan bangsa. Jadi jika bermasalah hukum harus benar-benar ditangani dengan bijaksana,” ujarnya.
Elfiandi menjelaskan, berlakunya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan peran khusus kepada Bapas pada tahapan adjudikasi atau penyelesaian masalah di Pengadilan, dari pra adjudikasi, saat adjudikasi dan sesudah adjudikasi.
Salah satu tugas penting Bapas yakni dalam proses diversi. Seluruh perkara yang diselesaikan melalui mekanisme diversi, kata dia, harus memenuhi syarat yang termaktub dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana, “Yakni perkara tersebut diancam dengan pidana penjara kurang dari tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan pidana,” tutupnya. (*/rel)