Oleh: Aditya Sangkata
Ada sebuah kesalahan besar dari pernyataan Basuki Tjahaja Purnama, ketika menyebut Gibran sebagai sosok yang masih muda mentah. Belum tentu mampu mengurus negara.
Menurut pria yang berjuluk Ahok itu, Gibran tak cocok. Belum mampu menanggung beban besar pemerintahan sekelas jabatan Wakil Presiden. Lantaran baru 2-3 tahun menjabat Wali Kota Solo.
Pendapat Ahok ini kemudian disimplifikasikan pada situasi Kaesang. Putra bungsu Presiden Jokowi, yang dipercaya menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Kaesang dianggap banyak orang diberi karpet merah untuk menjabat ketua umum partai. Hanya karena dia seorang putra mahkota dari pemimpin tertinggi negara.
Situasi Kaesang dipertanyakan. Karena, dia masih muda. Dia masih mentah. Pendidikan politiknya belum cukup. Mau dibawa kemana partai politik, jika ketua umumnya tak berpengalaman, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang muncul di beranda media sosial.
Lantas muncul pertanyaan balik. Kalau Gibran jadi Cawapres, memangnya kenapa? Dan kalau Kaesang jadi ketua umum partai, memangnya kenapa pula?
Ketertarikan politik dalam sebuah sistem demokrasi tidak mengenal batasan umur, kelompok, ras maupun agama. Politik itu luas. Sistemnya mampu menjangkau siapa saja, hingga ke dalam lini kehidupan yang ada dimana saja.
Anak muda, seperti Kaesang punya sensitivity of problems yang lebih kuat, dibanding orang-orang tua. Jika mengurus partai politik, ataupun terjun ke dalam sebuah sistem politik, mereka lebih punya kepekaan atas sebuah fenomena, karena energinya sangat besar.
Beda dengan orang tua, atau sosok yang sudah berumur. Energi yang bisa mereka habiskan tentu tidak sebanyak yang muda. Sehingga sensitivitas yang mereka punya lebih lemah. Bagaimana bisa merespon sebuah fenomena politik, jika daya sensitivitas-nya lemah?
Tolak ukur ini cukup kuat untuk membantah Ahok, dan pihak-pihak lain yang memandang miring keterlibatan Gibran dan Kaesang dalam politik. Sebab sejatinya, ini adalah persoalan hak konstitusi, bukan tentang iklim politik semata.
Soal pengalaman. Pengalaman pengelolaan negara, dengan pengalaman politik tentu adalah hal yang berbeda. Sistem politik memungkinkan siapa saja bisa melihat pengelolaan negara dari lingkup yang lebih luas. Tapi kemampuan mengelola negara tidak serta merta membuat seseorang bisa melihat politik yang lebih luas. Sementara, pengelolaan negara lahir dari pemikiran dan praktek politik.
Artinya, penting kemudian, untuk siapa saja mengenal politik, belajar berpolitik, atau bahkan terjun ke dunia politik itu sendiri sejak dini, untuk bisa memahami lebih dalam pengelolaan negara.
Langkah yang diambil Gibran dan Kaesang sudah sangat tepat. Terlepas dari mereka seorang putra mahkota atau bukan, tapi mereka berhak secara Undang-Undang untuk terjun lebih dalam ke sistem politik praktis.
Apapun pilihan politik yang mereka ambil, harus dihormati, karena itu adalah nilai yang tertanam dalam sistem demokrasi. Siapa saja bisa seperti Gibran, bisa seperti Kaesang, dan siapa saja patut agaknya berterima kasih pada Presiden Jokowi, karena telah memberi keleluasaan pada anak muda, generasi milenial untuk berkiprah dalam politik.
Sebab seperti kata Gibran sendiri: “Masa depan bangsa ada di tangan mereka yang muda-muda.” – bukan yang tua.