KLIKPOSITIF – Universitas Fort de Kock (UFDK) Bukittinggi mengajukan permohonan uji materiil Undang-undang No.17 tahun 2023 tentang Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Tidak sendiri, tapi UFDK dalam gugatan ini juga menggandeng Institut Teknologi Kesehatan dan Sains Wiyata Husada Samarinda, serta Perkumpulan Aliansi Perguruan Tinggi Kesehatan Indonesia.
Pasal yang diajukan uji materiil ini meliputi Pasal 213 ayat (2), Pasal 213 ayat (4) dan Pasal Pasal 220 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan.
Menurut Rektor UFDK Bukittinggi, Evi Hasnita selaku pemohon 1, pengujian ini dimaksud untuk menjaga dan memastikan agar norma pasal 213 ayat (2), 213 ayat (4) dan 220 ayat (5) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Kemudian juga untuk menghindari terjadinya kerugian konstitusional bagi masyarakat secara umum dan bagi para pemohon secara khusus.
Dalam Pasal 213 ayat (2) disebutkan ‘Uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh penyelenggara pendidikan bekerja sama dengan Kolegium’.
Evi Hasnita mengatakan, ketentuan norma tersebut telah mendegradasi kewenangan Perguruan Tinggi.
Kemudian tidak memberikan suatu jaminan kepastian hukum kepada para Pemohon selaku Lembaga Perguruan Tinggi sebagai Lembaga penyelenggara Pendidikan yang telah diatur dengan jelas tentang Batasan wewenang dan otonominya oleh undang-undang.
Evi Hasnita mengatakan, ketentuan tersebut seolah-olah memberikan stigma ketidakmampuan Perguruan Tinggi dalam melaksanakan otonomi perguruan tinggi, khususnya dalam penyelenggaraan Pendidikan tinggi Kesehatan.
“Frasa ‘bekerja sama dengan kolegium’ justru menjadikan perguruan tinggi tidak otonom. Kemudian tidak mandiri dan bertentangan dengan prinsip-prinsip otonomi perguruan tinggi yang sudah tegas diatur oleh perundang-undangan,” lanjutnya.
Selanjutnya pada Pasal 213 ayat (4) disebutkan ‘Mahasiswa yang menyelesaikan pendidikan program profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang lulus uji kompetensi pada akhir masa pendidikan memperoleh sertifikat profesi dan sertifikat kompetensi’.
Menurut Evi Hasnita, ketentuan norma tersebut tidak terdapat penegasan pihak yang berwenang menerbitkan sertifikat profesi dan sertifikat kompetensi yang membuka ruang multiintepretasi yang berdampak kerugian kepada Para Pemohon.
Evi Hasnita menilai pasal 213 ayat (4) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Menurutnya, harus tegas dinyatakan jika yang lulus uji kompetensi pada akhir masa pendidikan, memperoleh sertifikat profesi dan sertifikat kompetensi yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi atau suatu Lembaga Penyelenggara Pendidikan yang terkakreditasi.
Kemudian pada Pasal 220 ayat (5) disebutkan ‘Sertipikat Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan oleh Kolegium’.
Menurutnya, ini bertentangan dengan prinsip kepastian hukum, karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 220 ayat (3) yang menegaskan ‘Uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh penyelenggara pendidikan, dan sertifikat diterbitkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.
“Penyelenggara Uji Kompetensi adalah Penyelengara Pendidikan yaitu Perguruan Tinggi, sedangkan kedudukan Kolegium hanya mitra kerja sama bagi Perguruan Tinggi, sehingga penerbitan Sertipikat Kompetensi oleh Mitra Kerja sama adalah tidak sesuai hukum,” ujar Evi Hasnita.
Selanjutnya pemberlakuan Pasal 220 ayat (5) UU Kesehatan menurut Evi Hasnita juga bertentangan dengan prinsip kemandirian perguruan tinggi dan bertentangan dengan prinsip otonomi perguruan tinggi yang telah diberikan oleh perundang-undangan.
Yaitu Undang -undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang menegaskan seluruh proses pendidikan kesehatan, termasuk penyelenggaraan uji kompetensi dan penerbitan sertipikat kompetensi adalah otoritas Perguruan Tinggi.
Tentang Kolegium
Pasal 272 Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mengatur mengenai Kolegium.
Dalam ayat 1 menjelaskan bahwa kolegium adalah badan yang bersifat independen, non-profesional, dan mandiri dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya..
Kemudian ayat 2 menjelaskan bahwa kolegium dalam menjalankan perannya bersifat independen dan difasilitasi negara tanpa intervensi dan benturan kepentingan.
Lalu ayat 3 menjelaskan tugas dan fungsi kolegium meliputi:
– Mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia kesehatan.
– Mengatur dan menstandarisasi profesi kesehatan.
– Memberikan rekomendasi terkait pendidikan dan pelatihan profesi kesehatan.
– Mengelola dan menyelenggarakan ujian kompetensi profesi kesehatan.
Selanjutnya ayat 4 menjelaskan bahwa kolegium dibentuk oleh Menteri Kesehatan dan menjadi bagian dari alat kelengkapan lembaga eksekutif yang diatur melalui Peraturan Pemerintah.
Kemudian ayat 5 Menjelaskan bahwa kolegium dapat memperoleh pendanaan dan bantuan dari pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah.