PADANG, KLIKPOSITIF – Prof. Herwandi dalam orasi ilmiahnya saat pengukuhan guru besar tetap dalam bidang Ilmu Arkeologi pada Fakultas Ilmu Budaya Unand (7/10) menjelaskan, batik di Sumatera Barat sudah ada sejak pada abad ke 13.
“Tradisi perbatikan di Sumbar dapat dikatakan sudah sangat tua, dan diasumsikan sudah melalui 5 periode besar,” katanya.
Periode pertama berdasarkan peninggalan arkeologis seni batik mulai masuk ke Sumbar pada abad ke 13 ditandai dengan dijumpainya patung Amoghapasa di Dharmasraya yang mempresentasikan seorang tokoh memakai kain carik bermotif batik. Patung itu telah dikirim dari Jawa oleh Raja Singosari, Kartanegara ke Dharmasraya ketika terjadinya peristiwa Pemalayu pada tahun 1286.
“Diperkirakan pada saat bersamaan berkembang seni batik di Dharmasraya. Tidak hanya di Dharmasraya, bahkan ditemukan juga di Situs Muaro Jambi patung yang dihiasi dengan batik,” ulas Herwandi.
Memasuki periode kedua, abad 14 saat Adityawarman berkuasa di Saruaso dengan pakai ala Raja Majapahit. Bahkan ditemukan sebuah batu di komplek prasastinya Kuburajo, batu tersebut dihiasi dengan pola bungaan yang merupakan pola batik Jawa.
“Dari abad 14 hingga 16 sejarah industri seni batik begitu jelas,” sebutnya.
Kemudian pada, 16 Mahesi, batik mulai menggeliat saat pusat kekuasaan sudah berkembang di Kerajaan Pagaruyung. Batik sudah diperjualbelikan di pusat kerajaan, bahkan batik didatangkan dari Jawa dan Cina. Namun, seiring kemunduran Pagaruyung, industri batik juga kian surut.
Memasuki masa Belanda (periode ketiga), pasokan batik Jawa dibatasi masuk ke Sumbar oleh kolonial. Akhirnya sejumlah pedagang mulai memproduksi batik sendiri. Dilanjutkan awal masa kemerdekaan (periode keempat) dan pasca merdeka (1946) tercatat ada sejumlah pengusaha yang melakukan kegiatan industri batik di Pariaman yakni, Bagindo Idris, Sidi Ali, Sidi Zakaria, Sutan Salim Sutan Sjamsudin. Dua tahun kemudian di daerah Payakumbuh mulai muncul pula sentral produksi batik yang dikelola oleh Waslim (asal Pekalongan) dan Sutan Razab.
“Pada masa pendudukan Jepang, banyak pengusaha batik mendirikan industri batik sendiri yang bahannya didatangkan dari Singapura. Setelah itu sampai 1994 tidak jelas perkembangan seni dan industri batik di Sumbar,” terangnya.
Pada periode kelima akhir abad ke 20 industri batik kembali berkembang di Minangkabau. Berkat usaha tokoh Sumbar Hasan Basri Durin (Gubernur Sumbar 1987-1997 bersama istrinya menghidupkan industri batik di Sumbar.
Tidak hanya memotivasi pengrajin bordir, Hasan Basri Durin juga mengirim pengrajin batik di Yogyakarta pada tahun 1994. “Sejak itulah bermunculan sejumlah orang yang berminat mengembangkan batik hingga kini,” ujar Herwandi.
Walaupun sudah memperlihatkan pasar yang menjanjikan, industri batik di Sumbar masih kesulitan motif dan SDM. Tercatat hanya 120 orang pengrajin batik yang tersebar di berbagai kelompok batik di Sumbar.
“Pencipta motif baru masih sangat sedikit. Untuk itu perlu penguatan SDM bagi pengrajin sendiri,” tukas pencipta 42 motif batik dari artefak yang telah dipatenkan itu. (*)