PADANG, KLIKPOSITIF – Guna mensosialisasikan Program Terpadu RS Naili DBS untuk Kesehatan Kerja (PRONAKER), Rumah Sakit (RS) Naili DBS menggelar kegiatan Implementasi Layanan Kesehatan Kerja yang Terintegrasi untuk Meningkatkan Produktivitas dan Kinerja Karyawan di Sumatera Barat (Sumbar), Rabu (3/1/2024).
Bertempat di The ZHM Premiere Padang, sosialisasi itu menghadirkan narasumber dari BPJS Ketenagakerjaan, Dewi Nasti Novriani, Koordinator Pengawas Ketenagakerjaan Disnakertrans Provinsi Sumbar Yulita, SH, Praktisi Kesehatan Kerja dan Advisor PJK3 dr. Andy Riva Dana, AIFO-K, dan Dokter Spesialis Okupasi RS Naili DBS, dr. Nia W Nasrul Abit, Sp.OK.
Kegiatan sosialisasi itu dibuka oleh Direktur RS Naili DBS, dr.Hj.Try Wulan Sari, MARS, FISQua, dan dihadiri oleh puluhan perusahaan di Sumbar. Di antaranya, PT Incasi Raya, Suka Fajar, Intercom Mobilindo, Famili Raya, Citra Bangun Nagari, Indomarco Adi Prima, Bank Nagari, Teluk Luas, Kunango Jantan, PT Sumatera Tropical SPICES, Koperasi Semen Padang, dan PT Pasoka Sumber Karya.
Direktur RS Naili DBS, dr. Hj. Try Wulan Sari dalam sambutannya menjelaskan bahwa PRONAKER merupakan program terpadu dan komprehensif dari RS Naili DBS dalam bidang kesehatan kerja. Program ini mencakup medical check up karyawan, konsultasi kesehatan kerja, hingga edukasi dan pelatihan terkait kesehatan dan keselamatan kerja.
โProgram ini diluncurkan berdasarkan wujud perhatian dan kepedulian terhadap Kesehatan Kerja dan mendapat dukungan penuh dari Disnaker lewat pengawas tenaga kerja dan BPJSTK. Kami harap dengan program ini, perusahaan dan instansi di Sumbar dapat meningkatkan produktivitas dan kinerja karyawannya lewat pengelolaan kesehatan kerja yang lebih optimal, karena didukung kondisi kesehatan yang prima,” kata dr.Try Wulan Sari.
RS Naili DBS, katanya melanjutkan, menyediakan paket pemeriksaan kesehatan berkala (medical check up) bagi karyawan perusahaan yang disesuaikan dengan risiko pekerjaan masing-masing. Selain itu, penilaian fit to work juga dilakukan pada calon karyawan baru agar dipastikan dalam kondisi prima saat mulai bekerja.
“Program kesehatan kerja terintegrasi RS Naili DBS ini juga mencakup konsultasi dan interprestasi hasil pemeriksaan kesehatan, penilaian status kesehatan kerja karyawan, hingga diagnosis dan tatalaksana penyakit akibat kerja,” ujarnya.
Sementara itu, Dokter Spesialis Okupasi RS Naili DBS, dr. Nia W Nasrul Abit, Sp.OK, dalam sosialisasi PRONAKER itu memaparkan tentang layanan Medical Check Up (MCU) karyawan berbasis Digital sehingga memudahkan perusahaan untuk melakukan pengelolaan dan penilaian hasil MCU tersebut, dan juga memaparkan tentang diagnosis Penyakit Akibat Kerja (PAK).
Untuk MCU, RS Naili DBS menawarkan MCU sebelum perekrutan karyawan, MCU rutin bagi perusahaan/intansi setiap tahun atau 2 tahun sekali, MCU khusus, dan MCU bagi karyawan yang akan pensiun. Untuk MCU sebelum perekrutan karyawan, meliputi pemeriksaan kesehatan yang dilakukan perusahaan/instansi/pemberi kerja sebelum diterima sebagai karyawan/pekerja/pegawai. Dan, tujuan pemeriksaan MCU ini untuk memastikan kondisi kesehatan calon karyawan dalam kondisi kesehatan prima dalam menjalankan tugasnya.
MCU rutin, berupa pemeriksaan kesehatan yang dilakukan secara berkala yang disesuaikan dengan risiko pekerjaannya. Tujuannya, agar perusahaan dapat mempertahankan kesehatan karyawannya, menilai efek pekerjaan terhadap kesehatan dan melakukan upaya pencegahan, peningkatan kesehatan dan deteksi dini penyakit karyawan.
Kemudian MCU khusus, diperuntukkan bagi karyawan yang memiliki kebutuhan khusus, karyawan yang diduga mengalami masalah kesehatan, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan tertentu sesuai dengan kebutuhan. “Sedangkan MCU bagi karyawan yang akan pensiun, bertujuan untuk memastikan karyawan tidak memiliki PAK setelah masa pensiun atau akhir masa kerja,” bebernya.
Kemudian, terkait diagnosis PAK, dokter Nia menyampaikan bahwa penegakan diagnosis PAK dilakukan dengan menggunakan pendekatan prinsip 7 langkah diagnosis PAK agar dapat memastikan penyebab penyakit berasal dari pekerjaan baik dari proses, bahan, alat dan perilaku maupun lingkungan kerja.
Diagnosis PAK ini mempunyai aspek medis, aspek komunitas dan aspek legal. Tujuan melakukan diagnosis akibat kerja ini adalah menjadi dasar terapi/tatalaksana, membatasi kecacatan dan mencegah kematian, melindungi pekerja lain, dan yang lebih penting adalah untuk memenuhi hak pekerja.
Untuk ciri-ciri dari PAK ini, adanya hubungan antara pekerjaan yang spesifik dengan penyakit. “Contohnya, pajanan atau paparan asbes menyebabkan penyakit asbestosis, angka kejadian penyakit pada populasi pekerja lebih tinggi dari pada masyarakat umum, dan berhubungan dengan proses kerja atau lingkungan kerja,” ujarnya.
Selain memaparkan tentang program MCU dan PAK, pada kesempatan itu dokter Nia juga menyampaikan tentang layanan penilaian fit untuk bekerja, penilaian kembali kerja atau return to work (RTW) dan juga penilaian kecacatan yang juga merupakan bagian dari PRONAKER RS Naili DBS.
Sementara itu, perwakilan BPJS Ketenagakerjaan, Dewi Nasti Novriani, menyampaikan bahwa RS Naili DBS merupakan rumah sakit di Kota Padang yang menjadi pusat layanan kecelakaan kerja yang terintegrasi.
Pada kesempatan itu, Dewi pun memaparkan tentang program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Kecelakaan kerja, kata dia, adalah kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja, termasuk kecelakaan dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya, serta penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.
“Dalam ketentuannya, suatu kasus dinyatakan sebagai kasus kecelakaan kerja apabila terdapat unsur ruda paksa, yaitu cedera pada tubuh manusia akibat suatu peristiwa atau kejadian seperti terjatuh, terpukul, tertabrak dan lain-lain,” katanya.
Bagi peserta program JKK, ada banyak manfaat yang didapat dari kecelakaan kerja. Di antaranya, biaya perawatan dan pengobatan sesuai kebutuhan medisnya (unlimited), serta santunan Sementara Tidak Mampu Kerja (STMB). Untuk santunan STMB ini, diberikan santunan 100 persen upah/gaji yang diterimanya sebagai karyawan. Santunan ini diberikan dan untuk 6 bulan pertama dan 6 bulan kedua.
Kemudian setelah 6 bulan kedua, peserta program JKK akan mendapat santunan 50 persen dari upah/gaji sebagai karyawan. “Nah, bagaimana dengan peserta JKK yang mengalami cacat fungsi akibat kecelakaan kerja? Tentunya mereka akan mendapatkan santunan sesuai dengan tingkat kecatatan yang dialaminya,” ujar Dewi.
Selain cacat fungsi, peserta cacat tetap juga mendapatkan santunan yang terdiri dari 70 persen gaji dikali 80 bulan upah, santunan berkala sebesar Rp12 juta, dan mendapatkan beasiswa anak peserta. “Hak yang sama juga didapat peserta JKK yang meninggal dunia. Bedanya, santunan sekaligus yang diterima hanya 60 persen gaji dikali 80 bulan upah, ditambahan biaya pemakaman sebesar Rp3 juta,” katanya.
BPJS Ketenagakerjaan, tambah Dewi, tidak memberikan jaminan kepada peserta JKK yang mengalalami penyakit akibat hubungan kerja, yaitu penyakit yang dicetuskan, dipermudah atau diperberat oleh pekerjaan seperti stroke. Dan, BPJS ketenagakerjaan juga tidak memberikan jaminan kepada peserta JKK yang bunuh diri, dan sengaja mencelakakan diri sendiri.
“Selain itu, BPJS Ketenagakerjaan juga tidak memberikan jaminan atau pelayanan kesehatan, kecacatan dan juga jaminan kepada peserta JKK yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja atau PAK, serta tidak menjamin pengobatan dan tindakan yang dilakukan tanpa rekomendasi dari dokter,” ujarnya.
Kegiatan sosialisasi PRONAKER yang ditaja RS Naili DBS itu diikuti serius para peserta. Dan itu, dapat terlihat dari antusiasnya peserta untuk menyampaikan sejumlah pertanyaan kepada narasumber.
Dr. Andy Riva Dana mengatakan bahwa setiap tahun ada 2,4 juta kematian pekerja di seluruh dunia dikarenakan Penyakit Akibat kerja dan 400 ribu kematian yg disebabkan kecelakaan kerja. Artinya 84 % kematian pekerja disebabkan oleh penyakit.
Berdasarkan keprihatinan inilah maka diperlukan upaya upaya untuk menjaga kondisi kesehatan pekerja dan memantau kesehatan pekerja. Salah satunya melalui pemeriksaan medical check up yang baik,efisien dan digital.
“Ini saya sampaikan, karena lebih dari 90 persen perusahaan yang melaksanakan MCU, tidak melaksanakan MCU secara holistik atau menyeluruh. Kemudian, 80-90 persen perusahaan mengalami pemborosan anggaran medical check, karena pemeriksaan yang dilakukan manual tanpa sistem, sehingga hasilnya rentan akan error , ditambah lagi masih mengandalkan kertas print, tidak berbasis risiko kerja dan hanya fokus pada On Eventnya saja,” padahal sekarang kita sudah berada pada era 5.0 katanya.(*)