KLIKPOSITIF – Perang tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok kembali memanas, kali ini dengan ancaman yang lebih sistemik dan dampak yang semakin meluas ke negara-negara ketiga. Pemerintah Tiongkok secara tegas memperingatkan negara mana pun yang mencoba menegosiasikan keringanan tarif dari Washington agar tidak melakukannya dengan mengorbankan hubungan dagang dengan Beijing. Peringatan ini disampaikan oleh Kementerian Perdagangan Tiongkok, yang juga menegaskan kesiapan mereka untuk melakukan retaliasi terhadap negara-negara yang tunduk pada tekanan AS (Lee & Chen, 2025).
Di saat yang sama, Indonesia mengirim delegasi ekonomi ke Amerika Serikat untuk membuka ruang negosiasi tarif. Langkah ini harus dipertimbangkan secara strategis dan bukan sebagai reaksi tergesa terhadap tekanan eksternal. Ketika Presiden Donald Trump menaikkan tarif pada produk Tiongkok hingga 145 persen, dan memicu balasan sebesar 125 persen dari Beijing, dampaknya tidak hanya mengguncang kedua negara tetapi juga mengancam kestabilan rantai pasok dan iklim perdagangan global yang lebih luas.
ASEAN sebagai mitra dagang utama baik AS maupun Tiongkok menjadi wilayah yang paling terdampak. China merupakan mitra dagang terbesar ASEAN dengan nilai perdagangan mencapai USD 234 miliar hanya pada kuartal pertama 2025. Sementara itu, total perdagangan ASEAN-AS pada 2024 tercatat sekitar USD 476,8 miliar. Ketergantungan ganda ini menempatkan negara-negara seperti Indonesia dalam posisi yang kompleks dan menuntut strategi yang tidak bisa dijawab dengan hanya satu arah kebijakan (Lee & Chen, 2025).
Indonesia tidak boleh menyikapi situasi ini dengan mentalitas inferior. Kita harus tampil sebagai negara yang berdaulat dan percaya diri, terlebih dengan sejarah panjang politik luar negeri bebas-aktif yang telah menjadi fondasi diplomasi kita sejak awal kemerdekaan. Kita tidak harus mengikuti logika besar yang hanya menguntungkan satu kutub kekuatan. Justru saat ini Indonesia bisa menjadi jangkar stabilitas dan penengah di antara dua kekuatan ekonomi global tersebut.
Kebijakan luar negeri bebas-aktif tidak berarti pasif. Indonesia harus mampu menggunakan legitimasi politiknya di forum-forum seperti D8, OKI, ASEAN, dan BRICS untuk mengadvokasi sistem perdagangan global yang adil dan seimbang. Sebagai pemimpin Global South, Indonesia punya posisi moral dan strategis untuk memimpin solidaritas negara-negara berkembang dalam menghadapi tekanan unilateralisme dari negara manapun.
Pemerintah perlu menghindari praktik diplomasi ekonomi yang hanya berisi daftar konsesi. Kita tidak bisa membuka pasar dan memberikan keistimewaan dagang tanpa mendapatkan imbal balik yang jelas dan menguntungkan. Jika Indonesia menawarkan kenaikan impor dari AS sebagai bentuk kompromi, maka harus ada jaminan terbukanya akses pasar AS terhadap produk unggulan Indonesia, bukan janji normatif yang sulit diverifikasi. Dalam logika resiprositas yang sehat, konsesi harus berbanding lurus dengan keuntungan yang diterima.
Kita juga harus menegaskan batas antara kerja sama ekonomi dan intervensi domestik. Tidak boleh ada tekanan yang menyerempet ke ranah kebijakan internal. Pemerintah Indonesia harus menegaskan bahwa semua negosiasi harus dilandasi oleh semangat saling menghormati, bukan relasi kuasa yang timpang.
Langkah konkret yang bisa ditempuh antara lain adalah menyusun ulang prioritas diplomasi ekonomi dengan berbasis pada kekuatan domestik dan bukan pada asumsi ketergantungan. Kita perlu memperkuat industri dalam negeri, memperbaiki hambatan teknis ekspor, serta menyiapkan strategi diplomasi yang solid dan lintas sektoral. Kepercayaan diri dalam bernegosiasi lahir dari kapasitas internal yang kokoh.
Skenario ideal dari strategi ini adalah terbentuknya posisi Indonesia sebagai mitra sejajar bagi dua kekuatan besar dunia. Dengan begitu, Indonesia tidak perlu merasa takut kehilangan salah satu pasar karena telah berhasil mendiversifikasi orientasi dagangnya dan memperluas basis industrinya. Dalam kondisi ini, justru peluang investasi akan lebih besar karena Indonesia dinilai sebagai mitra yang stabil dan rasional.
Sebaliknya, jika Indonesia tidak segera memperjelas posisi dan arah negosiasinya, kita berisiko kehilangan kepercayaan dari kedua belah pihak. Kita bisa terjebak dalam situasi di mana harus terus-menerus memberikan konsesi tanpa memperoleh timbal balik yang memadai. Dalam jangka panjang, ini bisa merugikan struktur ekonomi nasional dan menurunkan daya tawar Indonesia di forum global.
Indonesia tidak perlu memilih antara AS atau Tiongkok. Indonesia harus memilih Indonesia. Kita harus memilih strategi yang memperkuat kemandirian ekonomi, membuka peluang dialog dengan semua pihak, dan menjaga integritas kebijakan nasional. Seperti kata Presiden Xi Jinping, tidak ada pemenang dalam perang tarif. Yang bisa bertahan dan berkembang adalah negara yang mampu memosisikan dirinya secara cerdas dan bermartabat di tengah pusaran konflik global.
Referensi:
Lee, L., & Chen, L. (2025, April 21). China warns countries against striking trade deals with US at its expense. Reuters. https://www.reuters.com