Lebih kurang pukul 7.40 WIB ratusan penonton telah berjubel memenuhi lorong fabriek block, Senin 17 Februari 2025, sebuah lokasi yang awalnya merupakan pabrik atap seng yang kemudian disulap menjadi ruang ekspresi seni. Kebanyakan dari penonton adalah para mahasiswa dan penikmat seni.
Gemuruh suara musik diselingi nyanyian assalamualaikum dari pemusik, mengantarkan MC membuka acara pagelaran teaterikal oleh Payung Sumatera malam itu.
Ungkapan teaterikal yang diucapkan oleh MC seperti mengajak imajinasi penonton pada perca perca suguhan yang kemudian disatukan, dikemas secara apik untuk menjadi sebuah pertunjukan.
Agaknya Fabio Yuda sebagai direktur artistik juga ingin menyederhanakan konsep garapan bahwa pertunjukan yang digelar dengan judul Malin Kundang ini merupakan perpaduan dari berbagai elemen artistik yang ada, ada tari, musik, teater, bentuk bentuk seni tradisional maupun modern yang kemudian diramu dalam satu bentuk yang melahirkan ragam spektakel panggung yang teaterikal. Pertunjukan teaterikal seperti yang diumumkan MC.
Musik yang gemuruh hampir sepanjang pertunjukan, gerak tari yang enerjik, disertai dengan tapuak galembong dan gerak silat yang cergas telah berhasil menciptakan bentuk bentuk penawaran artistik yang menarik, apalagi pagelaran ini dikemas dalam sebuah ruang bekas pabrik yang memperkuat kesan artistik seperti sebuah kapal, kapal Malin Kundang.
Beratus peperangan telah aku menangkan, namun aku kalah di hatimu Mande. Ucapan Malin Kundang mengandung kemarahan, entah kemarahan pada diri, entah pada ibunya. Ucapan itu seperti telah mewakili pelayaran dunia lelaki yang tak tuntas. Sepertinya tokoh Malin Kundang yang dihadirkan Payung Sumatera pada pertunjukan malam itu, merupakan sosok yang tak memahami ibu, sosok lelaki yang merasa dihambat kehidupan sosialnya oleh kehadiran seorang ibu. Pada dasarnya tafsir Payung Sumatera pada Malin Kundang sama dengan apa yang telah tertoreh pada kaba. Malin Kundang merantau, memenuhi ambisi sosialnya, lalu di perantauan menjadi kaya, bertemu perempuan cantik, pulang mengingkari ibu, dan dikutuk jadi batu.
Dari alur adegan sebagai direktur artistik Fabio Yuda berusaha menggambarkan sebuah perjalanan laut, yang dihadirkan dengan berbagai komposisi dan bentuk yang rancang sedemikian rupa. Di sana ada suasana kapal, suasana geladak, suasana pelayaran, suasana pantai tempat berbagai pertemuan dan sebagai proses menuju pembatuan.
Malin Kundang bukan hal baru bagi publik Sumatera Barat, ragam tafsir telah pernah dilakukan oleh berbagai seniman dan sastrawan terhadap kaba ini. Katakanlah oleh alm Wisran Hadi yang telah menuliskan menjadi naskah drama modern dalam kemasan sastra yang Apik, Atau alm Arifin C Noer memberi porsi tafsir yang luas terhadap fenomena Malin Kundang dalam naskah dramanya yang berjudul Interogasi. Bila dicermati fenomena Malin Kundang dalam banyak tafsir, merupakan problematika kemanusiaan dengan latar budaya Minangkabau yang terkait dengan spiritual yang diwakili oleh ibu, problematika sosial yang disimbolkan oleh lelaki yang bernama Malin Kundang. Minangkabau menjadikan ragam masalah sosial yang ada harus memiliki landasan spiritual yang kokoh bila tak ingin dikatakan sebagai Malin Kundang. Kecemasan ibu Malin Kundang dalam naskah Interogasi membuat sang ibu memanggil nama Malin ke mana mana, mencari dengan rasa cemas pada anaknya yang terlalu memperturutkan dunia.
Pada dasarnya pertunjukan payung Sumatera cukup memberikan pukauan dan memanjakan mata, para muda disuguhi dengan pertunjukan teaterikal dari aktor dan penari yang energik sehingga dari sisi bentuk dan gerak terasa sangat kuat. Akan tetapi ada sesuatu yang hilang, aspek sastrawi yang memungkinkan untuk penonton untuk bekatarsis, merenungkan berbagai rahasia dibalik tragedi Malin Kundang tidak ditemukan.
Aktor yang tidak tergarap dengan maksimal, dialog-dialog yang dilontarkan nyaris seperti teriakan teriakan penuh kemarahan, tak mempertimbangkan intonasi, artikulasi dan suasana. Pengucapan para Aktor yang cenderung mendramatisir teks, tapi tak membuat adegan jadi dramatis adalah soal yang harus menjadi pekerjaan besar dari Payung Sumatera. Dalam soal ini agaknya Fabio Yuda mungkin agak sedikit kesulitan atau kekurangan waktu untuk memaksimalkan pemeran, dikarenakan sebagian besar dari mereka adalah para penari. Mudah mudahan asumsi ini salah.
Catatan penting pada malam itu, ratusan penonton berhasil dihadirkan oleh Payung Sumatera, mereka terdiri dari para mahasiswa, dominan jurusan Sendratasik. Dan mereka telah berdonasi dengan membeli tiket secara online. Fenomena ini menjadi menarik, fabriek block telah menjadi ruang alternatif untuk berekspresi ditengah minimnya fasilitas gedung pertunjukan di kota Padang. Selamat untuk Payung Sumatera, untuk terus berupaya memayungi seni dengan proses kreatifnya, tanpa mesti menunggu harapan dan mimpi dari langit.