KLIKPOSITIF – Baru-baru ini para ilmuan di Cornell University menemukan pengamatan saksi mata yang melaporkan “tampilan merah menyala di langit” selama tiga hari saat badai matahari terjadi pada Tahun 1582.
Oleh sebab itu para ilmuan memperingatkan mengenai ancaman efek bencananya bisa terjadi lagi abad ini dan menyebabkan kerusakan serta kelumpuhan jaringan listrik.
Sebelumnya, badai Matahari terjadi di seluruh Eropa dan Asia pada 439 tahun lalu. Orang-orang yang mengamati saat itu tidak menyadari bahwa peristiwa tersebut adalah badai Matahari yang sangat besar.
Para astronom modern menggunakan badai tersebut untuk memprediksi aktivitas Matahari di masa depan. Badai Matahari yang melanda Bumi pada 8 Maret 1582 sebanding dengan yang terjadi pada 1909 dan 1989.
Menurut ahli, itu adalah kejadian sekali dalam satu abad dan dapat terjadi satu atau dua kali di abad ke-21. Seperti dikutip dari suara.com, jejaring Klikpositif.com, Rabu (07/04/2021).
Jika badai Matahari hebat yang serupa melanda Bumi saat ini, itu akan menyebabkan kerusakan senilai miliaran dolar dan melumpuhkan jaringan listrik di seluruh dunia.
Cuaca luar angkasa yang ekstrim atau badai Matahari, terjadi ketika Matahari mengeluarkan plasma panas mendidih dalam bentuk semburan dan angin Matahari.
Meskipun sebagian besar badai Matahari biasanya tidak berbahaya, tetapi jika badai yang cukup besar menghantam Bumi, itu dapat menimbulkan efek bencana.
“Semua bagian langit tampak seperti terbakar dalam nyala api. Tidak ada yang ingat pernah melihat sesuatu seperti itu,” kata Pero Ruiz Soares, dikutip dari Daily Mail, Rabu (7/4/2021).
Badai Matahari yang melanda pada 1909, dikatakan sebagai salah satu yang paling hebat di abad ke-20. Catatan sejarah menunjukkan itu terjadi pada 9 September, di mana badai datang sebagai gelombang kejut dari angin Matahari.
Peristiwa tersebut mengganggu komunikasi telegraf di garis lintang menengah hingga rendah. Kemudian sekitar 89 tahun kemudian, badai Matahari cukup besar teramati dan melumpuhkan jaringan listrik Quebec.
Studi tersebut juga menyoroti peristiwa Carrington pada 1859, yang dianggap sebagai salah satu peristiwa cuaca antariksa paling ekstrem yang dilaporkan.
Tim ilmuwan berharap dapat menggunakan data ini untuk mengembangkan model prediksi yang lebih baik karena semakin banyak manusia yang pergi ke luar angkasa, khususnya ketika NASA merencanakan misi Bulan pada 2024.