SEKITAR tiga dekade silam, Drs. H. Marlis, M.M bukanlah siapa-siapa. Dia hanya seorang guru di SMK Negeri Lubuk Pakam, Deli Serdang, Provinsi Sumatra Utara yang digaji negara hanya Rp80 ribu-an sebulan. Tapi siapa sangka, setelah mengundurkan diri dari PNS, Marlis sukses menjadi seorang pengusaha dan politisi berpengaruh di Ranah Minang. Berikut succses story pemilik Alinea Farm yang pernah menjabat sebagai anggota DPRD Sumatera Barat dua periode itu.
Laporan Riki Suardi-Padang
Sebelum sukses menjadi seorang pebisnis ulung, Marlis tumbuh besar di sebuah kampung/desa di Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat, yaitu di Nagari Pamuatan, Kecamatan Kupitan. Anak tunggal dari pasangan Suki (Alm) dan Sa’iyah (Almh) itu lahir pada 2 Februari 1964 silam.
Di usia anak-anak atau ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), Marlis kecil sama dengan kebanyakan anak-anak pada umumnya yang pada masa itu, menghabiskan waktu dengan bermain usai pulang sekolah dan malamnya sehabis Salat Magrib, mengaji di Surau hingga sampai Salat Isya.
Namun begitu, Marlis sudah punya tujuan, yaitu begitu tamat SD, Ia ingin melanjutkan pendidikan di sekolah favorit, supaya kelak bisa diterima kuliah di perguruan tinggi terbaik di Indonesia seperti ITB, karena pria yang biasa dipanggil Ujang Alinea oleh orang kampungnya, punya keinginan untuk bekerja di perusahaan minyak asing.
Gayung bersambut, kedua orangtuanya dengan besar hati menuruti keinginan Marlis. Begitu menginjak remaja, Marlis dikirim orangtuanya untuk sekolah di SMP Negeri 1 Sawahlunto. Saat itu, Kabupaten Sijunjung masih bagian dari teritorial Kabupaten Sawahlunto Sijunjung sebelum dimekarkan tahun 2004.
Hidup jauh dari orangtua di ‘Kota Arang’ tentu sangat berat bagi Marlis kecil, apalagi ketika itu usianya masih 12 tahun. Ia harus hidup mandiri, masak dan mencuci pakaian sendiri. Semuanya dikerjakan sendiri. Dan tentunya, kondisi ini secara tidak langsung menempa mental Marlis untuk menjadi pribadi mandiri.
Setelah tamat SMP, Marlis melanjutkan sekolah di SMA Negeri 1 Sawahlunto. Tamat tahun 1983, ternyata semua impiannya berubah. Keinginannya untuk kuliah di ITB kandas, karena kondisi ekonomi keluarga. “Orangtua saya hanya petani, jadi tidak ada uang untuk pergi ke Bandung,” kata Marlis.
Meski kenginannya untuk kuliah di perguruan tinggi terbaik di Indonesia itu tak terwujud, bukan berarti ‘dunia kiamat’. Dengan pertimbangan ekonomi keluarga yang pas-pasan, Marlis mencoba peruntungan mendaftar sebagai mahasiswa IKIP Padang (sekarang Universitas Negeri Padang) melalui jalur beasiswa tunjangan ikatan dinas.
Marlis pun diterima di Fakultas Teknologi Kejuruan jurusan Mesin. Kendati begitu, Marlis mengaku bahwa dirinya merasa tersandra kuliah di IKIP, karena kurang nyaman menjalani kuliah. Sebab, mata kuliah menggambar menurutnya lebih rumit dibandingkan jurusan arsitektur.
Di sisi lain, kuliah di IKIP dibiayai negara sehingga tidak memberatkan orangtua, apalagi sejak tahun pertama kuliah, kedua orangtuanya sudah mulai sakit-sakitan. Bahkan untuk biaya harian selama di Padang sedari awal kuliah, Marlis hanya mengandalkan sumbangan orang kampungnya yang tinggal di Padang dan bantuan dari teman-teman kuliahnya.
“Di samping adanya bantuan dari orang kampung dan beberapa teman kuliah, tiap tahun saya juga rutin mendapatkan zakat fitrah dari para perantau yang ada di Padang. Alhamdulillah, zakat itu cukup membantu kebutuhan saya selama kuliah,” ujarnya.
Di tahun ketiga kuliah, pemerintah menghentikan beasiswa tunjangan ikatan dinas yang diterimanya dan ditambah lagi bantuan dari orang kampung yang ada di Padang juga sudah tidak ada, sehingga Marlis dihadapkan pada dua pilihan. Berhenti kuliah di tengah jalan atau tetap lanjut.
Tidak sampai di situ, duka pun mendera Marlis muda. Ayahnya meninggal dunia dan enam bulan kemudian, Ibu nya juga berpulang menghadap Yang Maha Kuasa. “Berat bagi saya ketika itu, karena saya anak tunggal dan tinggal sebatang kara di Padang,” kenang Marlis.
Meski diselimuti duka dan dihadapi oleh dua pilihan yang sulit; lanjut kuliah atau berhenti, Marlis muda rupanya tak menyerah begitu saja. Berkat kemandirian yang telah dijalani sejak kelas 1 SMP, Marlis bangkit dan mulai mencoba ‘memutar otak’ untuk bertahan hidup di Kota Padang dengan tetap melanjutkan kuliahnya.
Di sinilah awal kesuksesan Marlis dimulai. Berawal dari memiliki banyak teman yang kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Andalas (Unand) yang saat itu kampusnya masih berada di Air Tawar, Marlis pun oleh temannya diajak untuk menjual bibit tanaman yang ada di tempat pembibitan di Lubuk Minturun.
Bibit tanaman tersebut dijual, karena ketika itu Fakultas Pertanian Unand akan mengadakan acara nasional dan untuk mendanai acaranya, pihak fakultas mewajibkan setiap mahasiswa untuk menjual bibit tanaman masing-masing lima batang. “Saya pun ikut membantu kawan-kawan untuk menjualkan bibit tersebut,” ungkap Marlis.
Bagi Marlis, dirinya mau menjual bibit tanaman bukan hanya sekedar untuk membantu temannya, tapi lebih kepada komisi yang didapat agar dirinya bisa bertahan hidup dan terus kuliah, karena sejak beasiswa diputus, Marlis makan dan bayar uang kuliah berasal dari bantuan kawan-kawannya.
“Kawan-kawan saya di Pertanian Unand itu kaya-kaya semua, dan mereka tidak pandai menjual bibit tanaman. Mereka diminta untuk menjual, karena perintah dari fakultas mereka. Jadi saya mau membantu mereka jualan bibit, hanya untuk sebuah komisi,” ujarnya.
Untuk siapa saya wisuda
Pengalaman membantu kawannya menjual bibit tanaman, rupanya menjadi motivasi bagi Marlis untuk memulai bisnis. Ia pun mencoba peruntungan dengan memulai usaha menjual bibit tanaman secara door to door ke rumah-rumah warga sembari menyelesaikan kuliahya.
Namun karena tidak ada modal, Ia pun mendatangi beberapa tempat penangkaran bibit tanaman dan menemui pemiliknya. Kemudian kepada pemiliknya, Marlis menawarkan diri untuk menjualkan bibit tanaman dengan syarat, jika bibit terjual barulah uang dari pembelian bibit diserahkan kepada pemilik penangkaran.
Nyatanya, sebagian besar pemilik penangkaran bibit tanaman yang didatanginya menolak tawaran Marlis dan tidak ada yang menaruh rasa iba melihat kondisi Marlis, kecuali Pak Ujang (alm), pemilik penangkaran bibit tanaman Beringin Sejati. “Alm Pak Ujang mau menyerahkan bibitnya untuk saya jual dengan KTP saya sebagai anggunannya,” kata Marlis.
Selama lebih dari setahun menjual bibit tanaman milik Pak Ujang, Marlis juga memanfaatkan sepeda motor teman-teman kuliahnya untuk mengantarkan pesanan bibit dari rumah ke rumah. Karena memang, Marlis muda merupakan orang yang pandai bergaul, sehingga tak ayal banyak teman yang peduli dengannya.
Bahkan Pak Ujang meski sudah almarhum, Marlis pun hingga sekarang masih tetap berhubungan baik dengan keluarga dan anak-anak Pak Ujang. “Pak Ujang cukup berjasa, karena dari empati beliau lah saya bisa menyelesaikan kuliah, sampai saya mengikuti wisuda pada 5 September 1987 saya wisuda dengan IPK 2,24,” ujarnya berseloroh.
Bagi Marlis, nilai IPK rendah tidak masalah, namun yang terpenting bagi dirinya bisa tamat kuliah dalam waktu studi empat tahun, karena kalau dilanjutkan, baginya juga tidak ada gunanaya dan akan mengabiskan waktu dan biaya. Ditambah lagi saat wisuda, kedua orangtua sudah meninggal.
“Jadi pas saya wisuda, saya sedih dan menangis, karena saya diwisuda tanpa ditemani orangtua. Dalam hati lirih saya berkata, ‘untuk siapa wisuda ini? sementara kawan-kawan diwisuda dengan dihadiri kedua orangtuanya’ Mereka tampak bahagia sekali, sedangkan saya larut dalam kesediahan,” kenang Marlis.
Meski begitu, di suatu sisi Marlis mengaku bergembira, karena dengan telah mengikuti wisuda tersebut, dirinya merasa berhasil keluar dari persoalan hidup dan wisuda tersebut hingga kini baginya, merupakan sebuah keberhasilan yang luar biasa dibandingkan keberhasilan lain yang pernah Ia raih.
Setelah mengikuti wisuda, beberapa hari kemudian Marlis mengisi formulir untuk mendaftar sebagai PNS, karena sebelumnya Marlis merupakan mahasiswa IKIP yang diterima melalui jalur beasiswa tunjangan ikatan dinas dari Kemenduikbud. Setelah formulir diisi, Ia pun diminta untuk menunggu SK dari kementerian selama enam bulan.
Sembari menunggu SK, Marlis muda pergi melalang buana ke pelbagai kota, seperti Duri dan Batam. Di Duri, Provinsi Riau, Marlis menumpang tinggal dengan teman kakak sepupunya yang sudah dianggap sebagai kakak angkat oleh Marlis. Nama kakak angkatnya Amri Hasan, seorang karyawan PT Caltex (sekarang PT Chevron Pacific Indonesia).
Di ‘Kota Minyak’ itu, Marlis mencoba memasukan lamaran bekerja di beberapa perusahaan kontraktor di PT Caltex dan Ia pun diterima bekerja di sana. Di samping bekerja di perusahaan kontraktor tersebut, Marlis juga sempat mengasah kemampuannya sebagai guru di STM Muhammadyah Duri. “Jadi saya sempat nyambi jadi guru,” katanya.
Sekitar tiga bulan di Duri, Marlis kemudian berhenti bekerja di perusahaan kontraktor, lalu pergi ke Batam dan di sana ia menumpang tinggal dengan familinya yang saat itu merupakan seorang pejabat Pemerintahan Kota Batam dengan jabatan sebagai Sekretaris Camat Batam Barat.
Ketika di Batam, ia pun melamar bekerja di PT McDermott Indonesia. Setelah mengikuti serangkaian tes dan lulus, Ia pun kemudian dipanggil untuk mengikuti wawancara di perusahaan pengembangan lapangan lepas pantai tersebut. Di akhir wawancara, manager bagian HRD menyampaikan bahwa dirinya diterima bekerja. Namun dengan syarat, harus menyerahkan ijazah aslinya.
Ia pun kemudian pulang ke Padang dan mendatangi Dekan Fakultas Teknologi Keguruan yang ketika itu dijabat oleh Syamsul Arifin (Alm). Kepada beliau, Marlis menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya untuk mengambil ijazah. Mendengar maksud dan tujuan Marlis, Dekan nya berang.
Kepada Marlis, dengan suara lantang Dekan nya itu berkata “Anda harus melaksanakan tugas sebagai guru, sebagai PNS yang ditempatkan sesuai dengan keputusan negara. Anda bisa mengambil ijazah Anda dengan syarat, uang tunjangan ikatan dinas yang Anda terima harus diganti enam kali lipat”
Mendengar apa yang disampaikan Dekan nya, Marlis dengan berkecil hati kemudian menghubungi manager HRD PT McDermott Indonesia melalui telephone, dan menyampaikan bahwa dirinya tidak bisa menyerahkan ijazah. “Rupanya, saat wawancara terakhir di PT McDermott Indonesia, manejer itu tahu kalau saya sebelumnya kuliah di IKIP melalui ikatan dinas,” katanya.
LDR dengan Istri
Setelah gagal masuk PT McDermott Indonesia, Marlis pergi ke Jakarta untuk menerima SK pengangkatan sebagai PNS oleh Kemendikbud. Dalam SK tersebut, Ia pun ditempatkan sebagai guru di STM Negeri Lubuk Pakam, Sumatera Utara. Karena dirinya tidak tahu di mana Lubuk Pakam, Ia pun bertanya kepada temannya di mana Lubuk Pakam tersebut.
“Teman saya bilang Lubuk Pakam di Pulau Nias. Saya pun kaget dan galau, karena Nias cukup jauh dari Padang dan harus menyebarang laut. Tapi setelah ditelusuri, rupanya Lubuk Pakam di Deli Serdang, jaraknya hanya ratusan kilometer dari Padang dan sekitar 26 kilometer dari Medan. Jadi ketika itu, betapa awamnya saya dengan nama daerah, sampai-sampai Lubuk Pakam tidak tahu di mana letaknya,” kata Marlis.
Tidak sampai seminggu di Jakarta, Marlis pulang ke Sijunjung dan terus ke Padang untuk persiapan ke Lubuk Pakam. Setiba di Padang, masalah pun datang dan hal itu berawal dari rencana pertunangan Marlis dengan sang pacar Harnita yang kini resmi menjadi istrinya.
Ketika itu, keluarga Harnita sepakat untuk melakukan pertunangan. Sedangkan keluarga Marlis yang saat itu diwakili oleh Mamak (paman,red) tidak setuju dan meminta agar pernikahan segera dilangsungkan tanpa pertunangan, karena jarak Medan dan Jakarta jauh, sehingga dikhawatirkan akan timbul masalah yang tidak diinginkan.
Singkat cerita, Marlis pun menikah dengan sang pujaan hati dalam kondisi yang sederhana. Tiga hari setelah menikah, Marlis berangkat ke Lubuk Pakam. Sedangkan istrinya, Harnita, bertolak ke Jakarta untuk kembali melanjutkan tugas belajar anestesi di Universitas Indonesia.
Sejak menikah di tahun 1988, Marlis menjalin hubungan jarak jauh dengan sang istri, atau istilah sekarangnya LDR. Dan tentunya, sulit bagi Marlis maupun Harnita, apalagi sejak menikah dan hidup terpisah, Marlis hanya bisa bertemu dengan sang istri satu kali setahun dan itu pada saat libur akhir tahun ajaran.
Untuk bertemu dengan sang istri di Jakarta, rupanya butuh perjuangan, karena gaji Marlis sebagai guru dengan status PNS ketika itu hanya Rp86 ribuan sebulan dan uang sebesar itu tidak cukup untuk ditabung, sehingg Marlis terpaksa mencari tambahan.
“Selain mengajar di STM Lubuk Pakam, saya juga nyambi mengajar di beberapa sekolah untuk cari tambahan, karena gaji pokok Rp86 ribuan saja tidak cukup untuk biaya hidup, apalagi untuk ditabung buat biaya ke Jakarta untuk bertwnu istri,” ujarnya.
Banting stir jadi pengusaha
Lima tahun lebih menjadi seorang guru, rupanya tidak membuat Marlis puas. Selain gaji yang tidak mencukupi, berbagai permasalahan yang kerap timbul juga menjadi penyebab bagi Marlis untuk cepat-cepat berhenti menjadi seorang guru ataupun PNS.
Permasalahan tersebut berawal dari pra-jabatan yang diikuti oleh seluruh CPNS dari Sumatera Utara dan Aceh. Pada saat itu, Marlis kecewa, karena Daftar Penilaian Pelaksanaan Pegawai (DP3) yang ditandatangani kepala sekolah tempatnya mengajar rendah. Sedangkan nilai pra-jabatannya, terbaik I se-Sumatera Utara dan Aceh.
Usai mengikuti pra-jabatan dan resmi diangkat menjadi PNS, Marlis diam-diam mulai berpikir tentang masa depannya jika terus-terusan menjadi guru, apalagi profesi sebagai guru mentok hanya sampai jabatan kepala sekolah dan jabatan tersebut belum tentu kapan bisa diraihnya, mengingat dirinya bukan orang yang punya marga di Sumatera Utara.
Marlis kemudian mencoba mencari jalan keluar dengan memasukan berbagai lamaran pekerjaan ke beberapa perusahaan industri. Alhasil, sebagian besar lamaran yang dikirim mendapat balasan dari perusahaan. Marlis pun dipanggil untuk menjalani tes dan wawancara. Tapi sayangnya, lagi-lagi uang menjadi alasan bagi Marlis.
“Rata-rata lamaran pekerjaan yang saya kirim direspon, tapi karena tidak ada uang untuk berangkat tes dan wawancara, saya pun gagal, apalagi sebagian besar perusahaan yang memanggil saya berada di Pulau Jawa,” ujarnya.
Awal tahun 1991, Marlis pulang ke Padang, karena saat itu istrinya sudah selesai menjalani tugas belajar di Universitas Indonesia dan bekerja sebagai ahli anestesi di RSUP M Djamil. Setiba di Padang, Ia berdiskusi dengan suami dari kakak istrinya bernama alm Zulherman yang ketika itu merupakan seorang kontraktor.
Kepada alm Zulherman, Marlis menyampaikan niatnya untuk berhenti sebagai PNS, karena tidak sanggup baginya menjadi PNS dengan gaji rendah dan jauh dari keluarga. Rupanya, alm Zulherman setuju dan menyarankan agar Marlis membuka usaha dan alm Zulherman siap untuk membantu Marlis merintis usahanya.
Pada 14 April 1991, Marlis mendatangi notaris yang ketika itu berkantor di Sumatera Plaza untuk mendirikan perusahaan. Karena ketidak tahuan syarat-syarat mendirikan perusahaan seperti alamat kantor dan nama perusahaan, Marlis pun bingung.
Marlis lalu pergi ke Jati, dan menemui Ibu dari temannya agar dipinjamkan pavilun di samping rumahnya untuk dijadikan sebagai alamat kantor. Kemudian, besoknya Marlis kembali lagi mendatangi notaris untuk mendirikan perusahaan dengan nama CV Flora Alinea Pratama.
Berbekal pengalamannya menjual bibit tanaman saat masih kuliah, Marlis pun memantapkan langkahnya untuk menjadi pengusaha dan memilih berhenti dari PNS. Marlis lalu memulai bisnisnya dengan mendatangi beberapa tempat penangkaran bibit tanaman di Lubuk Minturun untuk menjalin kerjasama dengan para pemilik penangkaran, termasuk dengan Pak Ujang.
“Kali ini saya lebih profesional, saya rekrut karyawan melalui Depnaker dan iklan di koran. Ada 40 orang yang melamar, dan yang saya terima hanya lima orang. Karyawan pertama yang saya terima namanya Abdul Hamid, dia
merupakan Sarjana Peternakan Unand yang tinggal di Lubuk Minturun,” ujarnya.
Marlis kemudian melatih Abdul bersama beberapa karyawan lainnya tentang cara memasarkan bibit tanaman. Sayangnya, hanya seminggu bekerja, Abdul malah berhenti dan menjadi kompetitor usahanua di kemudian hari.
“Tidak hanya Abdul, banyak karyawan yang saya rekrut akhirnya jadi kompetitor saya. Tapi bagi saya tidak masalah, saya ikhlas, karena memang selama menjadi kompetitor, kami bersaing secara sehat,” kata Marlis.
Berkat keikhlasan Marlis yang membiarkan anak buahnya menjadi kompetitor, rupanya tak mempengaruhi usaha Marlis. Bahkan dua tahun kemudian, usaha Marlis berkembang pesat dan telah memiliki cabang di beberapa kabupaten kota di Sumatera Barat, termasuk di Riau, Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu. “Jumlah karyawan saya lebih dari 100 orang,” katanya.
Jadi politisi
Sukses mengembangkan usahanya, rupanya ketidaksiapan SDM di bidang keuangan membuat Marlis mengalami kerugian, karena ada beberapa karyawan yang menyelewengkan uang perusahaan, sehingga usahanya gulung tikar. Namun begitu, Marlis masih mujur, karena selama menjalani usaha penjualan bibit tanaman, Marlis sudah mengenal banyak orang, termasuk kalangan pemerintahan.
Ayah empat orang anak ini kemudian banting stir menjadi kontraktor proyek-proyek pemerintah, hingga akhirnya bergabung dengan sejumlah organisasi, seperti HIPMI, Kadin, dan sampai menjadi Ketua Ardin Sumatera Barat. bergabung dengan berbagai organisasi tersebut, semakin merubah pandangan Marlis.
Bahkan seiringnya waktu, Marlis menjadi semakin kritis, vokal dan sering muncul dipelbagai undangan hingga akhirnya dikenal banyak orang, sehingga petinggi partai Golkar ketika itu, Fahmi Idris dan Datuk Labuah dari
Dharmasraya, termasuk Basril Djabar, meminang Marlis menjadi kader Golkar.
Marlis pun bergabung dengan partai berlambang pohon beringin tersebut dengan menjabat sebagai Biro Ekonomi dan Koperasi. Tiga bulan kemudian, Ia pun mundur dari Golkar dan bergabung ke partai PPP Reformasi dengan Ketua Umum DPP ketika itu KH Zainuddin MZ. Tak beberapa lama kemudian, Marlis pun beralih ke Partai Merdeka dan menjadi Ketua DPW Partai Merdeka di tahun 2004.
Saat Pemilu di tahun 2005, Partai Merdeka kalah dan tidak mendapatkan satu pun kursi di DPRD Sumbar. Kendati begitu, Ia pun membuat sejarah dengan mengumpulkan partai non parlemen sebanyak 16 partai, kemudian membentuk koalisi dengan nama Koalisi Sakato, dan Marlis sebagai ketuanya.
“Kami pun kemudian mencalonkan Jeffri Geovanie sebagai Calon Gubernur Sumbar dan Dasman Lanin sebagai wakilnya pada Pilkada Sumbar. Meski menduduki peringkat ketiga, tapi saya dan Jeffri Geovanie, termasuk kawan-kawan di Koalisi Sakato ketika itu puas dengan hasil yang diraih,” katanya.
Setelah menjadi Ketua Koalisasi Sakato, Marlis kemudian bergabung dengan Partai Hanura. Di Pemilu 2009, Marlis pun mencalon sebagai anggota DPRD Sumatera Barat dan terpilih untuk menduduki kursi parlemen untuk periode 2009-2014. Selanjutnya di periode 2014-2019, Marlis pun kembali dipercaya masyarakat untuk menjadi wakil rakyat di DPRD Sumatera Barat.
Selain menjadi wakil rakyat, tahun 2010 Marlis pun juga sempat mencalon menjadi Wakil Bupati Sijunjung bersama Firdaus sebagai Calon Bupati untuk periode 2010-2015, tapi gagal. Namun karena konflik antara Wiranto dengan Oesman Sapta Odong (OSO) di Partai Hanura semakin memanas, Marlis kemudian mundur dan bergabung dengan PAN.
Di Partai berlambang matahari terbit itu, Marlis kembali maju mencalon sebagai anggota DPRD Sumatera Barat. Namun sayangnya, langkahnya terjegal karena perolehan suaranya tidak mencukupi untuk bisa menjadi wakil rakyat untuk periode 2019-2024.
Tinggalkan politik
Usai gagal ke DPRD Sumbar, Marlis kembali banting stir menjadi pengusaha, karena selama 10 tahun lamanya menjadi wakil rakyat, usaha yang dirintis di bawah bendera Alinea Group Of Company dengan nilai investasi miliaran rupiah berjalan stagnan. “Sekarang semua aktifitas politik saya tinggalkan dan saat ini saya fokus mengembangkan usaha,” katanya.
Saat ini, Alinea Group Of Company terus maju dan berkembang hingga memiliki cabang di 28 provinsi di Indonesia. Terbaru, perusahaan distributor berbagai produk seperti pendidikan, alat kesehatan, produk ITE dan peralatan kantor, serta distributor kebutuhan desa itu, juga meranbah usaha perhotelan bekerjasama dengan OYO.
“Selain menjadi distributor berbagai produk pendidikan dan kesehatan, termasuk hotel, Alinea Group Of Company melalui PT Citra Aliena Medikatama juga ikut menjadi distributor alat pelindung diri (APD) Covid-19. Langkah itu diambil, agar usaha Alinea Group tetap survive di tengah pandemi Covid-19, dan sekarang tengah mengembangkan Alinea Farm di Dharmasraya,” kata Marlis mengakhiri.(*)