Di Balik Jeruji Besi, Bersama Melawan Tuberkulosis di Lapas Muara Kelas II A Padang

Oleh dr. Anisa Persia

Bersama Melawan Tuberkulosis di Lapas Muara Kelas II A Padang

ilustrasi Tuberkulosis

Hayati Motor Padang

KLIKPOSITIF – Pembahasan tentang penyakit Tuberkulosis (TBC) seperti tidak ada habisnya. Penyakit menular melalui udara (airbone disease) yang diyakini sudah ada sejak 4000 SM ini, menjadi penyebab kematian nomor 2 di dunia pada tahun 2022 setelah Covid 19.

Pada Global TBC Report yang dirilis WHO di tahun 2023, dinyatakan bahwa Indonesia dinobatkan sebagai negara peringkat ke 2 setelah India, sebagai negara dengan kasus TBC terbanyak di dunia. “Prestasi” ini tentu sangat memilukan dan membuat miris kita semua sebagai rakyat Indonesia khususnya bagi para tenaga kesehatan di Indonesia yang berkecimpung langsung dengan penyakit ini dalam pelayanan di masyarakat.

Program penanggulangan TBC di Indonesia sudah dirancang dan tertera dalam Permenkes Nomor 67 tahun 2016 yang kemudian diperbarui dengan PP Nomor 67 tahun 2021. Dalam panduan pelayanan Tuberkulosis tersebut, tidak hanya membahas mengenai penanggulangan TBC di fasilitas kesehatan, tapi juga di fasilitas non Kesehatan, khususnya pengendalian dan pencegahan penyakit TBC di hunian yang padat penduduk seperti di Lembaga Pemasyarakatan/Lapas.

Pengendalian dan pencegahan TBC di dalam lingkungan Lapas menjadi tantangan tersendiri bagi para petugas kesehatan dan pejabat terkait, dikarenakan beberapa kondisi khusus yang berlaku di tempat tersebut. Hal ini menarik untuk dibahas demi meningkatkan pencapaian program TBC di Lapas Kelas IIA Padang secara khusus dan keberhasilan program TBC secara nasional demi tujuan eliminasi TBC tahun 2023.

Lapas Kelas II A Padang yang merupakan Unit Pelaksana Teknis di bidang pemasyarakatan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) ini, menyumbangkan kasus TBC sebesar 1,3% dari kasus TBC di Kota Padang tahun 2023 lalu, yakni 47 orang terdiagnosa TBC yang tersebar di beberapa blok/kamar hunian diantara 1.006 orang penghuni lapas.

Angka tersebut dapat dianalogikan bahwa terdapat sebanyak 5 orang penderita TBC di setiap 100 penghuni di Lapas Kelas II A Padang. Mungkin angka ini relatif kecil dibandingkan dengan total kasus TBC Kota Padang yang sebesar 3656 kasus. Namun, sekecil apapun kejadian penyakit menular, jika tidak dikendalikan dan dicegah penyebarannya, maka dapat menimbulkan suatu Kejadian Luar Biasa (KLB).

Ditemukan beberapa keadaan di Lapas Kelas II A Padang yang dapat menjadi faktor risiko penularan penyakit TBC. Kamar atau blok hunian memiliki ventilasi berjeruji besi dengan jarak yang jauh dari jangkauan penghuninya dikarenakan alasan keamanan. Ventilasi tersebut berukuran kurang lebih 30 cm persegi dengan jumlah 6 buah ventilasi udara dengan ukuran kamar 5m x 8m.

Sedangkan hunian yang sehat sebaiknya memiliki luas ventilasi 10% dari luas ukuran kamar. Dengan ventilasi yang relatif kecil dan sedikit jumlahnya, tentu membuat aliran udara di dalam hunian tersebut tidak sebaik bangunan yang selayaknya. Terlebih lagi, kondisi hunian isolasi pasien TBC yang tampak kurang terawat dengan sanitasi dan ventilasi yang buruk tampak masih jauh dari standar ruangan isolasi TBC yang seharusnya.

Disamping itu, kondisi Lapas Kelas II A Padang yang saat ini melebihi kapasitas, menimbulkan minimnya jarak seseorang dengan orang lainnya. Pada dasarnya satu kamar hunian normalnya diisi oleh 40 orang. Namun, karena kondisi kelebihan kapasitas ini ditempatkan sebanyak 65 sampai dengan 90 orang dalam satu kamar hunian, sehingga kapasitas Lapas II A Padang adalah 236%.

Berdasarkan situasi diatas bisa kita bayangkan bagaimana mudahnya seorang penderita TBC menularkan kuman TBC kepada penghuni lainnya. Dan, berdasarkan uraian masalah di atas, tentu saja diperlukan program pengendalian dan pencegahan TBC yang baik di Lapas Kelas II A Padang. Program ini dilaksanakan oleh Tim TBC yang ditunjuk khusus untuk melakukan pelayanan TBC mulai dari tahap skrining, diagnosa, pengobatan, hingga pemantauan dan evaluasi pengobatan hingga seorang penghuni Lapas dinyatakan sembuh.

Tidak sampai disitu saja, petugas Tim TBC juga berkewajiban melakukan pencatatan dan pelaporan kasus TBC mulai dari terduga hingga penderita yang terdiagnosa TBC melalui aplikasi Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB) secara realtime. Dimana, semua proses dalam program tersebut akan diawasi langsung oleh Dinas Kesehatan Kota Padang.

Diketahui dalam data terbaru, telah dilakukan skrining massal yang didanai oleh Global Fund (GF) pada 1006 penghuni lapas dari bulan Juli 2023 hingga Desember 2023. Dalam alur skrining tersebut, semua penghuni akan dilakukan skrining gejala dan ronsen dada. Jika ronsen dada dan gejala mengarah kepada TBC, maka penghuni Lapas tersebut wajib dikirim sampel dahaknya untuk diperiksa dengan metode Tes Cepat Molekuler (TCM) di Puskesmas Padang Pasir, Kota Padang, guna mendeteksi kuman TBC di dalamnya.

Diluar kegiatan skrining massal tersebut, skrining gejala TBC akan diberlakukan untuk penghuni baru dan penghuni lama yang memiliki gejala batuk selama 2 minggu atau lebih, yang mana informasi ini akan disampaikan kepada penanggung jawab program TBC oleh kader kesehatan yang telah ditunjuk disetiap blok hunian. Selanjutnya, penghuni yang terduga TBC akan diperiksakan TCM dahaknya untuk penegakan diagnosa.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam penanggulangan dan pencegahan TBC adalah proses isolasi pasien yang sudah terdiagnosa TBC. Kegiatan ini dilakukan demi mencegah penularan penyakit. Pasien TBC akan dipindahkan ke dalam hunian isolasi khusus, yang mana si penderita harus memakai masker ketika berinteraksi dengan penghuni lapas lainnya, pengunjung dan petugas hingga empat minggu setelah pengobatan awal.

Setelah empat minggu pertama sesuadah pengobatan, secara teorinya seorang penderita TB dianggap tidak lagi menularkan kuman TBC. Begitu pula untuk menghindari penularan TBC kepada pengunjung, pasien tersebut tidak diperkenankan untuk menggunakan ruangan berkunjung yang sama dengan penghuni lainnya. Namun dalam hal pemberian TPT (Terapi Pencegahan TBC) pada penghuni lapas yang terinfeksi TBC dan belum jatuh sakit dengan riwayat kontak erat dengan pasien positif TBC, tampaknya belum bisa dijalankan.

Hal ini disebabkan karena terbatasnya alat dan bahan Tuberculin Test/Mantoux text yang digunakan sebagai syarat pemeriksaan untuk berjalannya program TPT tersebut. Semua prosedur yang dilakukan di Lapas Kelas IIA Padang dirasa sudah cukup baik dan sesuai dengan panduan nasional, namun tidak ditemukan panduan dan SPO yang secara jelas dan tertulis mengenai semua proses alur pelayanan pasien TBC di Lapas Kelas II A Padang.

Tantangan lainnya dalam proses pelayanan TBC di Lapas kelas II A Padang adalah cukup seringnya pergantian petugas yang bertanggung jawab dalam penanganan TBC tersebut, sehingga keberlanjutan program bisa saja terkendala. Terlebih dengan tidak adanya pedoman ataupun kebijakan tertulis dalam pelayanan, pengendalian, dan pencegahan penyakit TBC di Lapas Kelas II A Padang, juga membuat petugas yang baru ditempatkan mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugasnya.

Dari berbagai permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pelayanan, pengendalian dan pencegahan TBC di lapas Kelas II A Padang, maka dibutuhkan komitmen yang kuat dari pemegang Stake Holder terkait, baik dari segi kebijakan dalam membuat pedoman dan panduan resmi dalam pengelolaan program TBC, maupun alokasi anggaran yang tepat guna dalam pengendalian dan pencegahan TBC di Lapas Kelas II A Kota Padang.

Disamping itu, diharapkan petugas TBC yang baru dapat diberikan pelatihan oleh Dinas Kesehatan Kota Padang demi keberhasilan dalam program pelayanan, penanggulangan dan pencegahan TBC. Sehingga selanjutnya, diharapkan petugas tersebut dapat menjalankan tugasnya secara konsisten selama minimal 5 tahun ke depan.

Tidak lupa, juga diperlukan penguatan jejaring internal di dalam institusi itu sendri maupun penguatan jejaring eksternal dengan Dinas Kesehatan Kota Padang sebagai pihak yang melakukan monitoring dan evaluasi. Begitu pula hubungan jejaring dengan fasilitas kesehatan lainnya dalam hal perujukan spesimen dahak maupun perujukan pasien TBC yang butuh pelayanan fasilitas kesehatan yang lebih tinggi. Sehingga, sangat besar harapan kita dengan suksesnya program TBC di Lapas Kelas II A Padang menjadi bagian dari kesuksesan menuju Indonesia bebas TBC 2050.(*)

Exit mobile version