PESSEL, KLIKPOSITIF– BPS mencatat sepanjang 2021, Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel), Sumatera Barat mencatat angka kemiskinan tertinggi dalam rentang waktu 5 tahun terakhir.
Menurut, Kepala BPS Pesisir Selatan Yudi Yos Elvin, lonjakan kemiskinan itu terjadi akibat naiknya pengeluaran garis kemiskinan di periode 2021.
Kenaikan itu tercatat, dari Rp467.743 per kapita per bulan, menjadi Rp 491.573 per kapita per bulan, seiring dengan naiknya harga sejumlah kelompok bahan pangan.
“Kemudian di lain sisi pendapatan tidak naik, sehingga beban pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan pokok itu menjadi bertambah,” ungkapnya di Painan.
Garis kemiskinan (GK) merupakan rata-rata pengeluaran per kapita perbulan yang digunakan untuk mengklasifikasikan penduduk ke dalam golongan miskin atau tidak miskin.
Berdasarkan catatan BPS, persentase dan populasi penduduk kemiskinan di Pesisir Selatan selama 5 tahun terakhir (2017-2021) terkonfirmasi berfluktuasi, namun dengan kecenderungan meningkat.
Pada 2017 lanjutnya angka kemiskinan di daerah berjuluk 'Negeri Sejuta Pesona' tercatat sebesar 7,79 persen atau sekitar 35.530 jiwa dan turun menjadi 7,59 persen atau sebanyak 34.920 jiwa pada 2018.
Angka itu naik di 2019 menjadi 7,88 persen atau 36.510 jiwa dan turun ke posisi 7,61 persen atau 35.460 jiwa sepanjang 2020. Kemudian kembali melonjak pada 2021 hingga 37.140 jiwa atau sebesar 7,92 persen.
“Persentase posisi itu menempatkan Pesisir Selatan pada ranking ke-3 tertinggi dari 19 kabupaten/kota di Sumbar dan dari sisi populasi kedua tertinggi setelah Kota Padang,” tuturnya merinci.
Ia menyampaikan imbas kenaikan harga kebutuhan pokok sangat dirasakan sebagian besar keluarga petani, khususnya yang ada di sub-sektor tanaman pangan dan hortikultura.
Mereka merupakan masyarakat dengan pondasi perekonomian yang rapuh, sehingga rentan terhadap gejolak harga kebutuhan pokok dan penunjang produksi seperti pupuk bersubsidi.
Karena itu menurutnya upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang disusun pemerintah kabupaten harus fokus pada lapangan usaha yang rentan terhadap gejolak ekonomi seperti sektor pertanian.
Apalagi, sektor perekonomian merupakan sumber utama pertumbuhan dan sekaligus sebagai penyerap tenaga kerja terbanyak, lebih dari 40 persen dari total angkatan kerja.
“Pertumbuhan ekonomi itu tidak hanya soal laju peningkatan PDRB semata, tapi juga sejauh mana kemampuannya menekan angka kemiskinan,” tuturnya.
Upaya Pemkab
Secara terpisah, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Hadi Susilo mengakui terjadinya gejolak ekonomi dua tahun terakhir akibat Covid-19, sehingga berpengaruh terhadap perekonomian, khususnya sektor pertanian.
Karena itu di 2022 pemerintah kabupaten menambah porsi anggaran untuk pertanian dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), mengingat peran penting lapangan usaha pertanian bagi kinerja perekonomian daerah.
“Detailnya saya kurang tau, tapi yang pasti sudah lebih besar dari tahun sebelumnya,” tutur mantan Kepala Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga itu.
Pemerintah kabupaten dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (2021-2026) menjadikan pertanian sebagai program strategis, tak hanya produksi, tapi juga kegiatan hilir untuk memberikan nilai tambah bagi produk unggulan daerah.
Untuk tanaman pangan seperti padi, kata Hadi, ke depan tidak lagi menjual padi di sawah. Pemerintah kabupaten mendorong investasi penggilingan, sehingga padi bisa diolah dan dijual dalam bentuk beras kemasan.
Selain itu, meningkatkan serapan padi petani lokal untuk memenuhi cadangan pangan dan Beras pemerintah. “Dengan demikian, kami optimis, kesejahteraan petani, khususnya tanaman pangan akan meningkat,” jelasnya.