YOGYAKARTA, KLIKPOSITIF –
Ketua Forum Perguruan Tinggi untuk Pengurangan Risiko Bencana (FPTPRB) Eko Teguh Paripurno akhirnya angkat bicara terkait adanya isu penghapusan atau pembubaran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sebagaimana diketahui bahwa kebijakan tentang penanggulangan bencana, tertuang dalam UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana (PB) yang telah berusia 13 tahun.
Berkenaan dengan hal itu maka dipandang perlu melakukan pembaruan sesuai dengan hasil pembelajaran selama ini, serta disesuaikan dengan kondisi aktual. Saat ini DPR RI telah mengajukan perubahan UU PB sebagai Hak Inisiatif DPR RI periode 2010-2024. Proses pengajuan Rancangan Undang Undang (RUU PB) sedang berlangsung dari DPR ke Pemerintah dan dalam Draf RUU tersebut DPR mengapresiasi kerja-kerja BNPB selama ini, sehingga mengusulkan penguatan kelembagaan PB, yaitu BNPB untuk memastikan penyelenggaraan PB dapat dilaksanakan dengan lebih baik.
“Berkat hadirnya UU PB 24/2007, serta mandat yang diberikan dan dilaksanakan BNPB, PB pengurangan risiko bencana (PRB) sudah menjadi kesadaran umum warga Indonesia. PB/PRB telah diterapkan pada berbagai sektor serta terlembagakan dengan baik Sistem PB/PRB yang yang ada diakui keunggulannya serta menjadi contoh praktik baik secara global. Ini dibuktikan melalui penghargaan Global Champion for DRR tahun 2011 untuk Presiden SBY,” ujarnya.
Kemudian adanya kabar bahwa Pemerintah menghilangkan BNPB sebagai penyelenggara PB dalam RUU PB cukup mengagetkan banyak orang, tanpa terkecuali Ketua Komisi 8 DPR RI, Yandri Sutanto. Sebab secara umum ini berlawanan dengan kecenderungan pendapat umum dan pagi ini Jumat 25 September 2020 Panja RUU PB Komisi 8 berkenan ke Yogyakarta.
“Diharapkan para pihak di Yogyakarta dapat memberi masukan dan menceritakan praktik baiknya. Di Padang, kabar tersebut direspon warga netizen dengan memunculkan tagar #saveBNPB di media sosial,” kata Eko Teguh yang akrab disapa Kang ET ini.
Untuk itu, sebagai Ketua FPTPRB ia memberikan beberapa rekomendasi dan menyebutkan bahwa, BNPB pada dasarnya telah menjalankan mandat UU PB dengan baik. Namun menurutnya memang masih ada beberapa pekerjaan rumah yang masih perlu diperhatikan.
“Pelaksanaan PB/PRB masih kelihatan adanya 'jejak ego-sektor' dan efektifitas penanganan darurat perlu disesuaikan kebutuhan serta belum sepenuhnya menjadi 'gerakan' dan 'gaya hidup' wepara pihak. Kemudian FPTPRB mempunyai beberapa rekomendasi yaitu memperkuat tata kelola PB/PRB melalui alokasi sumberdaya untuk investasi PRB/PRB yang memadai,” katanya.
Selain itu, juga menjadikan Kerangka Kerja Sendai (SF-DRR) sebagai landasan tatakelola PB/PRB. Kemudian memperkuat kelembagaan PB/PRB (BNPB/BPBD) dalam menjalankan mandat koordinasi, pelaksana dan komando darurat dengan mempertimbangkan praktik baik dan investasi sumberdaya yang telah dilakukan rencana ke depan.
“Selanjutnya, memastikan profesionalisme sumberdaya manusia dalam PB/PRB baik dari ASN/PNS, TNI/Polri, akademisi, relawan atau lainnya, di pusat dan daerah, di dalam dan di luar BNPB/BPBD. Penegasan kembali lingkup kerja profesi dalam PB/PRB berikut pembinaan dan penetapan standar kompetensinya,” ujarnya.
Hal lain yang perlu diperhatikan menurutnya adalah perlu peraturan pendukung UU PB, bukan sebaliknya. Beberapa kebutuhan yang perlu dicantumkan pada aturan tambahan tersebut, pertama, memperluas ruang peran masyarakat sipil, akademisi media, selain lembaga usaha lembaga internasional dalam PB/PRB.
“Kemudian mewadahi kemampuan filantrofi warga dalam lembaga keuangan kebencanaan independen, akuntabel, & non partisan dan memberi peran kolektif PT sebagai pengganti fungsi unsur pengarah, untuk menyelaraskan proses dan hasil riset PT dengan penyelenggaraan PB/PRB. Serta memperkuat upaya PRB, khususnya pada tahap pra bencana yang meliputi identifikasi, pengkajian, pengelolaan dan komunikasi risiko serta memperkuat Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) menjadi bagian tidak terpisahkan dari Rancana Pambangunan,” kata Kang ET yang juga Koordinator Program Studi Manajemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta.
Menurutnya BNPB atau BPBD harus dijaga dan dipastikan keberadaannya. Selanjutnya, ke depan BNPB atau BPBD perlu melakukan adaptasi dalam proses menjalankan mandat koordinasi, pelaksana dan komando serta koordinasi perlu dilakukan lebih partisipatoris dan fasilitatif. Terakhir, dikatakannya bahwa komando dilakukan dengan mendorong proses kesepakatan parapihak dan pelaksanaan dilakukan melalui memperkuat gerakan menuju ketangguhan.
“Bahwa legislasi ini akan lebih berbasis pengelolaan risiko bencana guna penanggulangan bencana yang efektif da eksklusif menuju ketangguhan berkelanjutan, dan BNPB/BPBD bersama seluruh pelaku pentahelix dapat menjalankan mandat tersebut,” katanya.