Oleh: Khairul Jasmi
Makan tak henti-henti, tanpa nasi. Atau daripada tidak, sesendok saja. Nasi nan wangi. Selebihnya: tak terhabiskan, 20 hidangan berputar-putar berlawanan arah jam. Di meja putar itu, ada lauk-pauk dan sayur-mayur serta minuman sehat.
Hidangan tadi di atas piring biasa, piring sebesar kuali, kuali, kompor, ketiding kecil. Isinya sayur saja, salat, daging ayam, bebek, kambing, roti, ubi, kacang, kurma cina dan ikan besar serta beberapa lainnya yang tamanannya tidak ada di Indonesia. Semua nyaman dan enak di lidah. Hidangan yang sehat dan beragam.
Ini bukan soal selera awak, tapi bagaimana tuan rumah menghormati tamu. Tentu saja hidangan semacam ini tak ada tiap hari dan di tiap rumah. Hal lain, yang terpenting bagi orang China, ikan dan sayur. Hal lain? Apa yang ditanam rakyat dan mereka usahakan, terjual.
Dan makan itu, tentu kenyang, seperti makan di restoran Padang. Persamaannya, jumlah hidangannya sama banyak. Bedanya, di Padang jangan dimakan semua, nanti sobek saku-saku. Di China makan semua, walau pasti tak habis. Rasa hampir sama. Sampai di sana soal makan di Kota Xuzhou, untuk selanjutnya naik kereta api tak berbunyi selama 2,5 jam menuju Tianjin. Dimana pula itu? Seperti kemarin tak saya urus, biar saja dimana ketibanyalah.
Naik kereta lagi
Rabu (28/08/2024) sudah siang. Stasiun kota itu, dengan banyak sepur, lapang dan berlantai dua, atau tiga. Saya masuk melewati pintu detektor, paspor discan. Lewat.
Di dalam saya berhenti sekejap, ada lukisan hitam putih di antara deretan foto-foto besar yang meriah. Lukisan 5 orang prajurit dan yang paling belakang memegang lentera. Di situ ditulis dalam Bahasa China, Pertempuran Shuangduiji, November sampai Desember 1948. Ini adalah palagan atau pertempuran besar antara nasionalis dan komunis. Perang Saudara China ini terjadi setelah PD II. Anda tahu yang menang Komunis.
Perang paling berdarah tersebut terjadi di Anhui, Tiongkok Timur. Dan lukisan hitam putih itu, tentu saja sudah akrab di mata warga China. Walau begitu, generasi muda China masih perlu diingatkan akan sejarahnya. Kita saja tahu, sejarah Tiongkok kuno pula, tapi tahunya dari film-film.
Dan kereta bergerak, kecepatannya 306 km/jam, beberapa kali berpapasan dengan kereta serupa. Beberapa kali masuk terowongan. Saya melihat bukit-bukit batu, bangunan bertingkat tinggi, kincir angin besar dan proyek-proyek baru yang sedang dikerjakan. Jalan raya, jalan layang, rel kereta simpang-siur tiap sebentar terlihat dari jendela kaca gerbong 9 kurai 9D kereta api ini.
Lalu dimana penduduk China yang 1,4 miliar itu? Yang lebih banyak dari penduduk benua Eropa itu? Kok kota-kota yang saya lihat sepi atau agak sepi atau ramai-ramai tanggung saja. Saya saja yang belum bertemu desa da kota padat penduduk. Luas China 9.706.961 km2 dengan daratan mencapai 9.388.211 km2, yang paling luas, Rusia, 17 juta km2.
Dan saya saksikan tiap rumah di sini selalu ada pemanas air di atapnya. Rumah yang tak tampak, saya tak tahu. Lalu jika Anda berdua sekawan, duduk di kursi deret tiga di kendaraan umum, dapat dipastikan, di antara Anda ditarok penduduk asli. Jadi Anda berdua dipisah, walau tetap satu rai. Entah kalau suami istri.
Ah sudahlah, kereta masih akan terus bergerak kencang hingga satu jam ke depan. Mangalai saya satu dulu, tidur siang. Oh ya, ternyata di China mayoritas penduduknya tidur siang, setidaknya 15 menit maksimal 1 jam. Cobalah kalau mauโฆ *