KLIKPOSITIF — Pasca banjir bandang dan galodo Sumatera Barat yang memilukan, banyak beredar di media social video detik detik kejadian di beberapa tempat. Saya dan suami salah satu masyarakat yang memantau kejadian itu melalui media. Kami saling berbagi video yang lewat di time line masing masing, ataupun yang muncul di explore.
Saat menonton video-video bencana tersebut, kami selalu berdiskusi, dari berbagai perspektif. Satu pertanyaan muncul dari suami ketika melihat video mobil yang terlihat sedang melintas di sekitar air terjun lembah anai. Salah satunya mobil Yaris yang viral. Nasib naas dialami sang sopir. Ia tak selamat.
Terlihat dalam video deretan mobil yang masih berusaha jalan menembus genangan air deras dijalan raya. Entah bagaimana nasib orang orang yang ada di mobil mobil itu saat ini. Muncul pertanyaan dari suami, kenapa pengemudinya tidak mencoba keluar dari mobil dan pergi ketempat yang lebih tinggi. Bagaimana seharusnya SOP untuk kejadian seperti ini, semisal kita dalam mobil, lalu ada banjir bandang ? Bagaimana seharusnya mengkomunikasikannya? Apakah sudah pernah dikomunikasikan kemasyarakat?
Saya tertegun dengan pertanyaan itu. Benar juga, itu yang terlintas dipikiran saya. Pernahkah kita diajarkan langkah apa yang seharusnya diambil jika hal seperti ini terjadi? Apakah ada pihak yang pernah mengkomunikasikan hal ini? Sayapun jadi ikut bertanya tanya. Mungkin ada, tapi sepanjang ingatan saya, rasanya saya belum pernah mendapat informasi seperti ini. Tetap berada dalam mobilkah atau seharusnya keluar? Pada saat seperti apa kita memutuskan keluar dari mobil atau saat seperti apa kita bisa tetap memutuskan tetap dalam mobil?
Memang komunikasi dalam bencana tidak saja dibutuhkan dalam kondisi darurat bencana yang menimbulkan krisis, tapi juga penting pada saat pra bencana. Seperti yang disampaikan oleh Frank Dance dalam buku Littlejohn, salah satu aspek penting didalam komunikasi adalah konsep reduksi ketidakpastian. Komunikasi itu sendiri muncul karena adanya kebutuhan untuk mengurangi ketidakpastian.
Bukankah kita tahu bahwa Sumatera Barat dijuluki supermarket bencana alam? Kumpulan bencana alam terdapat di Sumatera Barat yang tersebar diberbagai daerah. Mulai dari banjir, longsor, gunung meletus, gempa bumi sampai tsunami, semua bencana alam itu berpotensi terjadi di Sumatera Barat.
Mempersiapkan masyarakat di daerah rawan bencana tentu harus senantiasa dilakukan. Tak cukup hanya sosialisasi atau himbauan sekali dua kali. Tak apalah kita bersinyinyir kepada masyarakat. Lebih baik repot mengkomunikasikan sebelum bencana terjadi daripada pilu hati mengevakuasi korban, yang terkadang sudah tak bernyawa.
Haddow pada tahun 2008 pernah menuliskan komunikasi adalah cara terbaik untuk kesuksesan mitigasi bencana, persiapan, respon, dan pemulihan situasi pada saat bencana. Kemampuan untuk mengkomunikasikan pesan-pesan tentang bencana kepada publik, pemerintah, media dan pemuka pendapat dapat mengurangi resiko, menyelamatkan kehidupan dan dampak dari bencana.
Pemerintah juga sudah mengamanatkan melalui UU No 23 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, salah satu langkah yang penting dilakukan untuk pengurangan resiko bencana adalah melalui mitigasi bencana. Dijelaskan mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Salah satu bentuk kegiatan mitigasi bencana menurut pasal 47 ayat 2 (c) adalah melalui pendidikan, penyuluhan dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern.
Belajar Dari Mana Saja
Terkait komunikasi untuk memitigasi bencana dan krisis yang ditimbulkannya, suatu waktu saya pernah menonton drama korea yang berjudul Jirisan. Kurang lebih isinya terkait aktivitas jagawana disebuah gunung. Saat menonton drakor tersebut, saya cukup kagum pada komunikasi yang mereka bangun untuk memitigasi bencana dan krisis yang mungkin timbul.
Pertama yang berkesan bagi saya adalah ruang control mereka. Digambarkan didrakor tersebut, mereka memiliki ruang control yang terkoordinasi dengan baik. Ruang control tersebut memantau aktivitas diseputar gunung berdasarkan rekaman cctv yang mereka pasang dibeberapa titik. Saat terjadi sesuatu mereka bisa dengan sigap bertindak, karena tahu sedari awal kejadian.
Ruangan itu berada didalam gedung yang juga tak kalah bagusnya, yang terletak dipinggang gunung. Memiliki peralatan yang sangat lengkap untuk merespon kejadian yang mungkin ada.
Lalu yang juga membuat saya kagum adalah pemasangan pengeras suara dibeberapa titik disepanjang jalur sungai yang mereka awasi. Ada scene yang menggambarkan banjir bandang akan terjadi, terlihat dari air yang menguning yang tiba tiba datang. Petugas control memantau hal tersebut diruang control dan dengan sigap membunyikan sirine yang bunyinya tali temali disepanjang sungai yang dipasangi pengeras suara tadi. Digambarkan komunikasi non verbal ini sangat membantu masyarakat yang beraktivitas disepanjang sungai untuk segera menyelamatkan diri sehingga korban akibat banjir bandar bisa dihindari.
Mungkin itu hanya cerita drama. Tidak ada didunia nyata. Saya memang belum pernah ke Korea, jadi saya tidak tahu pasti aslinya bagaimana. Namun poinnya disini adalah bisakah ide di drama tersebut kita wujudkan?
Jika misalnya memungkinkan memasang cctv yang dipasang dititik tertentu diruas jalan yang rawan bencana, dan ada petugas yang selalu memantau diruang control, bukankah komunikasi bisa dilakukan lebih cepat ketika terjadi sesuatu? Masyarakat bisa mendapat peringatan sedini mungkin, jalan yang mengalami masalah karena bencana bisa segera ditutup sementara sehingga masyarakat tak harus terjebak disana berjam jam lamanya seperti di Sitinjau Lauik, atau bahkan bertaruh nyawa seperti di mega mendung.
Penanggulangan bencana, harus didukung dengan berbagai pendekatan baik soft power maupun hard power untuk mengurangi resiko dari bencana. Pendekatan soft power adalah dengan mempersiapkan kesiagaan masyarakat melalui sosialisasi dan pemberian informasi tentang bencana. Sementara hard power adalah upaya menghadapi bencana dengan pembangunan fisik sepeti membangun sarana komunikasi, membangun tanggul, mendirikan dinding beton, mengeruk sungai dan lain lain. Pada dua pendekatan inilah, komunikasi bencana amat dibutuhkan.
Semoga kedepannya komunikasi untuk memitigasi bencana dapat kita lakukan lebih baik lagi. (*)