Meski novel Tersesat Setelah Terlahir Kembali dengan gemilang menempati posisi puncak Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), namun bukan berarti karya tersebut tidak dibicarakan secara timbal balik dan aman dari kritikan. Pasalnya, novel setebal 170 halaman yang diterbitkan Penerbit Marjinkiri ini menuai beberapa persepsi ganjil, absurd, janggal, sekaligus terkesan comot-comot dari sebuah budaya matrilineal yang tak dipahami secara konkret dan lebih sekadar tempelan belaka. Penulisnya, Yoga Zen, yang tahun 2023 lalu memenangkan sayembara memang memberi tawaran baru tentang kekriyaan yang tinggi dan mumpuni, pernyataan ini dapat dibaca dalam pertanggugjawaban dewan juri sayembara novel. Meski demikian, setelah diterbitkan dan dilempar ke khalayak ramai, reaksi yang ditimbulkan ternyata cukup terbelah. Novel ini asyik didiskusikan secara logika dalam alasan dan catatan tertentu.
Saya sangat mengapresiasi sekali lahirnya novel TSTK ini, bukan sebab telah memenangkan sayembara, namun karena saya cukup dekat mengenal penulis dan membaca karya-karyanya yang lain di koran cetak dan digital. Yoga Zen adalah penulis yang telaten, slow writer, dan mau berlama-lama mengutak-atik naskah hingga beberapa kali sebelum kemudian benar-benar yakin untuk dikirimkan ke sayembara.
Saya pernah memintanya mengirimkan naskah cerpen untuk dimuat di majalah, namun Yoga menolak dengan halus belum ada naskah yang menurutnya layak untuk diterbitkan, dan saya respect pada sosok Yoga Zen yang menolak kesempatan, padahal kesempatan sudah terhidang langsung ke pelupuk matanya. Setelah menamatkan Tersesat Setelah Terlahir Kembali, saya akan merasa gagal menjadi pembaca jika tidak memberikan catatan di beberapa bagian yang menurut hemat saya perlu untuk dipertanyakan, akan saya rangkum dalam tiga point runut agar memudahkan pembaca, dua pertanyaan dan satu pernyataan pujian.
Pertama, tentu saja saya sepakat ini adalah novel lokalitas yang bagus dalam penarasian, selesai dalam susunan kalimat maupun struktur kata, dan mudah dipahami dalam artian sebenarnya. Namun, menjadikannya sebuah novel yang solid dan kokoh, perlu begitu banyak kayu penopang lagi sebelum kemudian baru bisa dianggap sebagai sebuah novel yang betul-betul selesai dan tidak menimbulkan banyak pertanyaan atau bahkan ambiguitas. Kita dapat menjadikan cerpen Yoga Zen sebelumnya, Bagaimana Pak Tua Menemukan Jalan Pulang yang terbit di Tempo sebagai sampel. Cerpen tersebut benar-benar memberi ruang sepenuhnya kepada pembaca untuk melakukan interpretasi serta paradigma tersendiri. Namun, saat melakukannya kembali di dalam novel, Yoga Zen seolah kehilangan tali kekang di beberapa bagian sehingga karakter yang semula dapat dikendalikan tiba-tiba berubah liar dan menjadi batu sandungan untuk dirinya sendiri.
Mula-mula kita diperkenalkan kepada sosok lelaki tua penghuni rumah jengki peninggalan seorang tentara bernama Leman, kemudian cerita beralih ke masa muda lelaki tersebut saat pertama kali menginjakkan kaki di tanah matrilineal, Minangkabau, menjadi sumando, berusaha melebur bersama masyarakat lewat sebuah tradisi berburu babi yang biasa dilakukan. Sampai di sini cerita masih aman-aman saja dan tak begitu banyak yang ganjil, ketika plot terus bergulir dan meyampaikan beberapa adegan yang—dalam hemat saya—terlalu dilebih-lebihkan, saya mulai banyak mencoret dan memberikan tanda tanya mengapa lubang sebesar itu dibiarkan menganga begitu saja? Bukankah tidak masuk akal jika seksualitas terlalu digemborkan tanpa tedeng aling-aling? Seharusnya sesksualitas tetap dihadirkan namun dengan kelogisan dan alasan yang jelas dan tidak ujuk-ujuk hadir begitu saja sehingga tidak terkesan jiplakan.
Saat tokoh Aku mencoba membantu ibu mertuanya yang terkena stroke untuk mandi, saya ulangi, membantunya untuk mandi, dan itu pun dianjurkan oleh istrinya yang mengatakan “tidak masalah, kan ibuku juga ibumu,” ini adalah jurang yang sangat dalam sekali, menunjukkan betapa penulis telah lepas tangan dan tak tahu menahu tentang adat di tanah matrilineal. Bukankah hubungan antara sumando dengan mintuo di Minangkabau hanya sebatas pintu bilik? Mengapa tokoh malah mencikaraui pekerjaan yang bukan menjadi ranahnya? Dan luar biasa gregetnya lagi, perempuan Minang yang lazimnya dididik menjadi anggun dan supel, lebih paham batas-batas hubungan antara menantu-mertua, malah menyuruh suaminya membantu memandikan sehingga tokoh Aku mencintai beberapa lekuk tubuh mertuanya sendiri?
Logika cerita ini sangat sulit dicerna, meski penulis khatam mengenai dunia perburuan, tahu mana karan dan muncak buru, tahu mana sulo dan mana tumbilang, namun persoalan yang satu ini penulis abai dan mungkin menganggap itu sebagai angin lalu. Saya husnudzon barangkali itu adalah refleksi dari sebuah pendidikan kota yang amburadul (seperti Marah Rusli menghadirkan Samsul Bahri dalam Siti Nurbaya sebagai pemuda yang dididik dengan cara buruk kolonial hingga melupakan adat kampungnya dan mengajak Nurbaya bertemu malam hari, padahal statusnya sudah menjadi istri sah Datuk Maringgih) Bah, kota macam apa? Perempuan Minang sampai sekarang masih memegang teguh adatnya, tak ada yang menyilakan sumando memandikan mintuo. Atau apakah bisa dibilang ini sebagai kritikan yang mulai dilakukan Yoga Zen?
Kedua, mengenai penempatan waktu dan akurasi tempat. Penulis mencoba melakukan penyamaran berlapis dengan hanya memberikan tanda kode kota B dan kota K. Namun, di beberapa titik akurasi tersebut kacau balau terbangun karena kekeliruan simbol. Tokoh Aku tinggal di kota K, dibuktikan dengan narasi bangun pagi dan berkeliling di pagi hari. Lantas, di lain kesempatan penulis menyebut tempat perburuan jauh dari kota B? Kota B yang mana? Bukankah tokoh Aku tinggal di kota K sehingga seharusnya dituliskan; lokasi perburuan itu jauh dari kota K, bukan malah kota B.
Saya rasa penulis ingin berlindung di balik inisial seperti jurnalis yang menyembunyikan nama kriminal dan pemerkosaan dengan hanya menyebutkan inisialnya belaka, namun inisial yang tertukar-tukar menjadi masalah serius dan pembaca akan menduga-duga di mana tokoh ini sebenarnya tinggal? Apakah dia dapat membagi jasad seperti mrogo sukmo atau bagaimana? Satu pikiran lain merasuki saya, ah mungkin saja penulis sedang bereksperimen seperti yang dilakukan Ratih Kumala di Gadis Kretek dengan hanya menyebutkan inisial kota, dengan begitu pembaca akan menelusuri di mana kota M itu sebenarnya?
Dalam latar waktu juga demikian, penulis mencoba meramu latar yang berpusing antara tahun demi tahun, dimulai sejak kedatangannya dan menikah, lalu menghilang selama dua tahun entah ke mana dan di bab berikutnya muncul lagi dengan suasana kota yang tak banyak berubah, lepau Mak Utiah yang masih sama dan candaan orang kota tentang tokoh Aku yang belum juga membuntingi si istri. Namun, saya coba urun satu-persatu; arsitektur rumah jengki itu ada antara tahun 1950-1960-an, sebuah gaya yang banyak dipakai Amerika pasca perang dunia II dan cukup familiar di Indonesia kala itu, kata komunis yang masih melekat dapat dilacak antara tahun 1950-1965, masa-masa peralihan antara orde lama dengan orde baru. Lalu ada pemilu, yang kemungkinan terjadi sekitar tahun 1977-1999, juga ada Browning P-35 yang keluar tahun 1935 dan dipakai banyak tentara Belgia, sebelum kemudian Amerika juga ikut memakainya, M1 Garand yang diproduksi tahun 1924 dan dipakai tentara Amerika tahun 1936, dan sandungan lain yang rasanya begitu sulit meletakkan tahun berapa sebenarnya kejadian tersebut. Saya akhirnya mengambil kesimpulan kisah ini berada sebelum tahun 2000-an awal. Namun, persepsi saya malah diruntuhkan dengan adegan perempuan membawa motor, bukankah tahun segitu perempuan masih belum banyak yang mengendarai motor? Dan juga ada sandungan lain seperti Oho yang dijahit 28 jahitan dan membayar uang 200 ribu rupiah kepada dokter. Oh came on, tahun segitu uang seribu rupiah saja sudah sangat banyak sekali. Juga ada tukang ambil sampah yang datang saban hari seperti lumrahnya kehidupan kota? Apakah waktunya diacak?
Kegagalan pembaca membaca tahun adalah kegagalan penulis dalam menyajikan cerita secara realis. Saya masih husnudzon mungkin kisah ini sengaja ditujukan sebagai surealis, saya saja yang terlalu skeptis dan mengharapkan kesempurnaan. Namun, bukankah logika cerita harus benar-benar masuk akal jika menginginkan karya yang gemilang? Dan bukankah sandungan yang dibuat tersebut malah meruntuhkan cerita yang sebenarnya sudah terbangun apik? Lama saya berpikir baru mendapatkan jawaban yang layak beberapa hari kemudian, Yoga Zen telah menipu saya terang-terangan dan saya mengumpat beberapa kali, ternyata tokoh “Aku” dengan “Aku orang lain” adalah tokoh yang sama namun dalam kurun yang berbeda sekaligus sama, pantas saja judulnya Tersesat Setelah Terlahir Kembali.
Terakhir, pemakaian istilah sepanjang cerita yang amburadul dan abu-abu. Meski Yoga Zen sebagai penulis di beberapa kata sudah cukup mumpuni memakai penamaan sesuai tupoksinya seperti penamaan mobil, penamaan ketel dan topi berburu, atau juga penamaan pohon dan arsitektur, namun di beberapa bagian malah lemah dan menjadikannya sebagai bumerang. Seperti, mengapa penulis memakai kata bergajul alih-alih menyebut preman sebagai parewa? Bukankah parewa lebih sinkron dengan Minangkabau dan lebih menunjukkan maskulinitas lelaki yang biasa duduk di lepau dan sesekali menangkap maling? Lalu, mengapa tokoh yang berjumpa dengan tokoh Aku menyebutnya dengan panggilan Anda? Bukankah di tanah matrilineal Minangkabau tidak ada yang memanggil orang dengan sebutan Anda? Kecuali baru kenal. Lalu pemakaian kata kamerad. Kamerad ini biasanya dipakai dalam panggilan sesama komunis atau di maksudkan untuk mengejek komunis, namun saya tak menemukan pentingnya memanggil kamerad kepada seseorang yang akan ditembak kepalanya. Itu hanya akan melemahkan dialog yang sedang tegang.
Sejauh pembacaaan yang saya lakukan, tentu saja ada plus minusnya. Minusnya diambil sebagai pelajaran karena tak ada gading yang tak retak, dan plusnya Yoga Zen telah menghadirkan sebuah novel yang membuat saya berpikir mendalam seperti siapa nama Mak Utiah sebenarnya? Apa alasan lelaki itu merawat Leman si pensiunan tentara? Saya akhirnya menjumpai alasan itu, atau alasan mengapa tokoh Aku memutuskan merawat mertuanya lagi setelah istrinya meninggal? Siapa nama istri tokoh Aku? Mengapa tokoh Aku merasa berhutang kepada Leman? Mengapa tokoh Aku seolah mengenal hutan tempat berburu seakan pernah mengunjunginya? Eureka … Eureka … Saya benar-benar menikmati itu sebagai seorang Yoga Zen nakal yang menulis dengan gradasi yang sangat halus. Jika bersua, saya akan menyalaminya lama sekali dan mengucapkan terima kasih telah menulis ini.
Terakhir, saya berhasil mendefenisikan gila yang sebenarnya, karena di dalam novel tersebut tak ada satupun tokoh yang waras, semuanya gila dengan defenisi kegilaannya masing-masing. Saat menamatkannya, saya menertawakan diri sendiri karena seperti telah menyaksikan film One Flew Over The Cuckod’s Nest dan membatin ternyata hanya pembaca saja yang tidak gila, namun dibuat gila setelah membaca. Judul novel ini begitu mencerminkan isi di dalamnya—dalam artian harfiah—mudah-mudah sulit menebak bagaimana penulis menghadirkan judul yang simbolik, magis, sekaligus manipulatif, pembaca akan kepayakan memposisikan Aku sebagai tokoh dan Aku sebagai aku yang lain (saya tidak akan spoiler). Sekali lagi, saya akan menyalami Yoga Zen dan mengucapkan terima kasih, lalu mentraktirnya segelas kopi pahit dan kami akan membicarakan mengapa ada satu kucing yang dibuat waras di dalam novel tersebut?
Hasbunallah Haris dilahirkan di Pakan Selasa, Kabupaten Solok Selatan, 29 Maret 2001, saat ini tengah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol, Padang. Anak bungsu dari dua bersaudara tersebut giat dalam menuliskan karya-karyanya dalam bentuk jurnal sejarah maupun fiksi sejarah. Karyanya seperti Novel Menembus Rantau (2022) berhasil menjadi nominator terbaik pertama dalam acara lokarya bersama Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat dan Taman Budaya. Juli 2023 kemarin, naskahnya yang berjudul Leiden (2020-1920) berhasil menyabet juara II dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Anda dapat mengenalnya lebih jauh di Instagram @hasbunallah_haris dan WhatsApp +62 822 8385 5009.