PADANG, KLIKPOSITIF –
Rencana pemerintah untuk membangun Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) Padang-Pekanbaru sepanjang 255 KM dengan alasan untuk memudahkan akses masyarakat ke dua provinsi dan mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi tentu bukan persoalan. Dimana masyarakat terdampak tersebut berharap pada pemerintah untuk mengalihkan jalur tol pada wilayah yang tidak padat penduduk dan lahan produktif seperti sawah dan ladang.
Menurut Walhi Sumbar jika pembangunan jalan tol dipaksakan, maka sawah dan ladang yang jadi sumber penghidupan masyarakat tersebut akan hilang. Tomi Adam selaku Manager Riset dan Database menjelaskan kondisi tersebut telah disampaikan kepada pihak terkait mulai dari tingkat Kabupaten, Provinsi bahkan Pusat.
“Pada waktu yang berbeda melalui salah satu media, Gubernur Sumatera Barat merespon akan mempertimbangkan permintaan warga untuk mengalihkan jalur tol yang melewati pemukiman padat penduduk dan lahan produktif masyarakat. Namun faktanya pada tingkat nagari, pihak pelaksana maupun Pemerintah Kabupaten terus berupaya mengaburkan aspirasi masyarakat,” ujarnya dalam Siaran Pers Walhi Sumbar No : 89/S. Pers/ED-WSB/X/2020
Menurutnya, seperti yang tersiar dalam chanel youtube Liputan Sumbar, dimana dalam video tersebut kadis PU Kabupaten 50 Kota menyebut masyarakat di nagari yang akan dilewati jalur jalan tol merespon baik rencana pembangunan jalan tol tersebut. Padahal faktanya pada setiap pertemuan dilakukan oleh pihak pelakasana pembangunan yang di fasilitasi pemerintah khususnya 4 nagari yang akan dilewati seperti Nagari Koto Baru Simalanggan, Taeh Baruh, Lubuk Batingkok dan Gurun meminta jalur tersebut dialihkan pada wilayah yang tidak padat penduduk dan lahan produktif.
“Bahkan sikap tersebut disampaikan secara lisa juga disertai dengan tulisan, sebaiknya harapan masyarakat menjadi bahan pertimbangan pemerintah untuk merubah jalur tol. Jika jalan tol tetap dipaksakan dibagun dilokasi tersebut tidak saja memindahkan masyakat tapi juga menghapus nilai social yang terbagun dan sumber penghidupan,” katanya.
Tomi menambahkan secara umum berkisar 300 rumah yang akan tergusur dan 91 Hektar lahan produktif yang hilang untuk 4 nagari tersebut. Menurutnya jika dihitung secara umum lebih 700 hektar lahan masyarakat akan hilang akibat pembangunan jalan tol dan sebaiknya pemerintah dapat mendengarkan apa yang menjadi aspirasi masyarakat karena apa yang menjadi dasar harapan masyarakat untuk memintak dialihkan jalur tol tersebut sangat logis dan dapat diterima.
“Apalagi kita berada pada daerah yang sangat menjujung tinggi nilai adat dan budaya sedangkan rumah dan tanah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat minang, beragam upaya telah dilakukan untuk meminta dialihkan jalur tersebut jika tetap dipaksakan tidak tertutup kemukinan akan memicu konflik,” ujarnya.
Sementara itu, Jasriman sebagai salah satu perwakilan masyarakat Nagari Koto Baru Simalanggang mengatakan bahwa diawal sosialisasi pembangunan jalan tol dilakukan, pihaknya telah meminta pihak perencana pembangunan dan pemerintah untuk memindahkan jalur tol karena berdasarkan peta lokasi yang dilihatkan pada saat sosialisasi. Sebab jalur tol berada pada wilayah banyak rumah penduduk dan sumber penghidupan masyarakat.
“Aspirasi tersebut telah kami sampaikan juga dalam bentuk surat yang ditanda tangani unsur perangkat masyarakat dan warga terdampak,” katanya.
Kemudian, Rahmad Syarif Datuak Patiah, perwakilan masyarakat Nagari Lubuk Batingkok juga menambahkan jika pembangunan terus dijalankan pada kampung setidaknya ada 40 rumah dan fasilitas umum yang digusur serta lahan produktif yang bakal hilang. Ironisnya ada dua pemukiman yang sepersukuan atau kaum yang akan hilang apabila jalan tol dibangun di tempatnya.
“Melihat kondisi tersebut tentu kami meminta pada pemerintah untuk mengalihkan jalur tol tersebut pada wilayah yang tidak padat penduduk dan lahan produktif,” kata Rahmad Syarif Datuak Patiah.
Selain itu, perwakilan masyarakat Nagari Gurun Maplindo mengatakan tanah yang ditempati dan juga ladang yang digarap awalnya merupakan hutan belantara dan diolah oleh orang tuanya untuk tempat tinggal dan peladangan sampai menghasilkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta biaya sekolah. Ia menjelaskan ia sekeluarga menggantungkan hidup dengan bertani pada lokasi tersebut.
“Jika lokasi tersebut hilang untuk pembangunan jalan tol, dari mana sumber penghidupan kami lagi, jika beralih profesi untuk memenuhi kebutuhan tentu tidak semudah diucapkan,” ujarnya.
Secara terpisah, Maspendrial Datuk Pobo sebagai salah satu perwakilan masyarakat Nagari Taeh Baru juga mengatakan pada prinsipnya masyarakat tidak menolak pembangunan apalagi anti terhadap kemajuan. Tapi pihaknya meminta jalur tol tersebut dialihkan pada wilayah yang tidak padat penduduk dan lahan produktif.
“Jika terus dipaksakan sudah dapat dipastikan memberikan dampak buruk terhadap kehidupan masyarakat mulai dari hilangnya sumber penghidupan, berpisahnya jarak antar saudara serta lenyanya histori kehidupan yang tercipta selama ini,” katanya.