KLIKPOSITIF – Konflik Rusia dan Ukraina yang masih belum berakhir turut berdampak pada kenaikan harga minyak dunia, dimana Rusia merupakan salah satu pemasok minyak terbesar di dunia. Munculnya gejolak energi global ini berdampak pada perekonomian negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.
Ditengah risiko ketidakpastian perekonomian global yang eskalatif, pemerintah mengoptimalkan APBN sebagai shock absorber, yakni mengendalikan inflasi dan menjaga daya beli masyarakat, menjaga momentum pemulihan (mengurangi penganggaran & angka kemiskinan), serta menjaga belanja prioritas (penguatan produktifitas dan pondasi ekonomi nasional).
Dalam Perpres nomor 98 tahun 2022 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 104 Tahun 2022 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2022, pemerintah telah merespon risiko ketidakpastian perekonomian global ini dengan menetapkan anggaran subsidi dan kompensasi BBM yang semula Rp152,5T menjadi Rp502,4T, meningkat tiga kali lipat.
Masih tingginya harga minyak dan adanya peningkatan volume konsumsi BBM, menjadikan subsidi dan kompensasi BBM di tahun 2022 naik lebih besar. Pada Perpres nomor 98, total subsidi dan kompensasi solar sekitar Rp143,4 T telah dianggarkan di APBN. Sebesar 11% atau Rp15,8 T dinikmati untuk konsumsi rumah tangga, dengan porsi terbesar 95% atau Rp 15,01 T dinikmati oleh rumah tangga mampu. Hanya sebesar 5 % atau Rp0,79 T saja yang dinikmati oleh rumah tangga miskin (petani dan nelayan).
Sementara itu untuk pertalite, total alokasi kompensasi sebesar Rp93,5 T, dimana sebesar 86% atau Rp80,4 T dinikmati untuk konsumsi rumah tangga, kembali dengan porsi terbesar 80% atau Rp64,3 T dinikmati oleh rumah tangga mampu dan hanya 20% atau Rp16,1 T yang dinikmati oleh 4 desil terbawah.
Lebih dari 70% subsidi BBM masih dinikmati oleh kalangan masyarakat mampu. Dengan pertimbangan kondisi tersebut, pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM yang mulai berlaku sejak tanggal 3 September 2022.
Atas keputusan pemerintah ini, ada hal penting yang harus dipahami masyarakat bahwa kenaikan harga BBM bukan berarti pemerintah mengurangi atau bahkan mencabut subsidi, tapi mengalihkannya agar lebih tepat sasaran untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Ungkapan ini sebagaimana disampaikan oleh Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, pada saat acara Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di Solo, tanggal 4 September 2022.
Keputusan pemerintah menaikkan harga BBM akan berdampak pada tertekannya daya beli masyarakat miskin dan rentan, kenaikan tarif angkutan dan logistik, serta kenaikan pada harga barang atau jasa lainnya.
Untuk mengantisipasi kondisi ini, diperlukan sinergi kebijakan fiscal antara APBN dan APBD dalam memberikan supporting atas program-prgram perioritas pemerintah.
Sebagai policy response untuk mengantisipasi kondisi ini, Pemerintah Pusat telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan RI nomor 134/PMK.07/2022 tentang Belanja Wajib Dalam Rangka Penanganan Dampak Inflasi Tahun Anggaran 2022.
Dalam PMK 134 ditetapkan bahwa untuk mendukung program penanganan dampak inflasi, pada APBD 2022 daerah harus menganggarkan belanja wajib perlindungan sosial untuk periode bulan Oktober 2022 sampai dengan bulan Desember 2022. Belanja wajib tersebut dianggarkan sebesar 2% (dua persen) yang bersumber dari Dana Transfer Umum (DTU).
Pengalihan subsidi BBM berdampak juga pada peningkatan inflasi di Sumatera Barat. Pasca kebijakan pengalihan subsidi BBM, pada bulan Oktober 2022, inflasi tahunan Sumatera Barat tercatat 7,87% (yoy), menurun dibandingkan realisasi September 2022 sebesar 8,49% (yoy).
Namun demikian, inflasi Sumbar masih mejadi wilayah dengan tingakat inflasi yang tinggi jika dibandingkan dengan inflasi secara Nasional yang masing-masing hanya sebesar 5.71% dan 5,95% maupun secara Regional Sumatera.
Dalam rangka evaluasi pelaksanaan PMK 134 di wilayah Sumatera Barat, pada tanggal 9 November 2022 Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Sumatera Barat telah menyelenggarakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dengan menghadirkan narasumber dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) dan Badan Keuangan Daerah Provinsi Sumbar.
Peserta FGD adalah perwakilan BPKD/BPKAD seluruh Pemda Kabupaten/Kota yang ada di wilayah Sumatera Barat.
Di Sumatera Barat, dari data DJPK tanggal 16 November 2022 baru 11 pemda yang sudah melakukan realisasi dan melaporkan penyaluran belanja wajib perlindungan sosial ke DJPK, dengan total realiasi sebesar Rp9,83 M atau 13,50% dari total alokasi belanja wajib perlinsos sebesar sebesar Rp72,83 M.
Dari kegiatan FGD yang dilaksanakan, terungkap beberapa kendala yang dihadapi pemda dalam melakukan realisasi penyaluran belanja wajib perlinsos.
Kendala tersebut antara lain terdapat pemda yang proses evaluasi Raperda APBD perubahannya lama di Kemendagri, seharusnya diterima dalam 15 hari kerja baru diterima pemda setalah 25 hari kerja, yang berdampak pada keterlambatan penyelesaian DPA perubahan, sehingga realisasi belanja wajib juga terlambat.
Pemda telah menganggarkan, tapi masih kebingungan dalam mengeksekusinya, disebabkan tidak memiliki data yang lengkap dan valid atas masyarakat yang berhak mendapatkan belanja wajib perlinsos, juga ada kekhawatiran terjadi tumpang tindih penyaluran bantuan yang sama seperti yang disalurkan oleh Kementerian Sosial maupun BPJS Ketenagakerjaan.
Untuk realisasi subsidi transportasi umum terkendala dengan penggunaan rekening belanja subsidi, karena terdapat Permendagri yang mempersyaratkan, harus ada peraturan kepala daerah yang mengatur belanja subsidi, dimana untuk menetapkan peraturan kepala daerah cukup memakan waktu yang lama, sehingga sulit belanja ini dapat terpenuhi dengan sisa waktu yang sudah menjelang akhir tahun.
Mengingat kurang dari dua bulan lagi, tahun anggaran 2022 akan segera berkakhir, dengan melihat realisasi yang masih rendah, dan kendala yang dihadapi tentunya percepatan penyaluran belanja wajib perlinsos oleh pemda di Sumatera Barat perlu terus didorong.
Karena PMK 134 tidak mengatur secara detil, untuk mempercepat dan menyamakan persepsi pemda dalam mengeksekusi belanja, diperlukan adanya petunjuk teknis dari Kementerian Dalam Negeri selaku pembina administrasi keuangan daerah.
Selanjutnya untuk menghindari terjadinya tumpang tindih penyaluran, perlu dipetakan terlebih dahulu dan koordinasi data penerima dengan institusi pemerintah lain yang sama-sama menyralurkan bantuan perlinsos.
Diperlukan juga peran yang kuat dari APIP dalam mengawal penganggaran dan pelaksanaan realisasi 2% DTU ini, supaya akuntabilitas tetap terjaga dan tepat sasaran. Tidak kalah penting, perlu adanya koordinasi dan sinergi yang kuat untuk pengendalian inflasi melalui forum TPID.
Harapan kita bersama, penetapan kebijakan belanja wajib perlinsos dan upaya-upaya pemda dalam merealiasikan penyaluran perlinsos ini, khususnya di Sumatera Barat dapat terealisasi maksimal sampai dengan akhir tahun 2022.
Sehingga kemanfaatan alokasi dana perlinsos ini benar-benar menjadi bantalan sosial serta dapat mempertahankan daya beli masyarakat.
Penulis: Asep Darna, Kasi Bidang PPA II C Pada Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Sumatera Barat
Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan instansi/organisasi tempat penulis bekerja.