PESSEL, KLIKPOSITIF– Pengajar Sosiologi Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) IB Padang, Muhammad Taufik menilai, persoalan Bupati Pesisir Selatan (Pessel), Rusma Yul Anwar adalah kecelakaan akibat kekosongan hukum dalam UU 10 2016 tentang Pilkada.
“Benar, di satu sisi, UU membolehkan maju. Di lain sisi, tidak ada jaminan negara agar mereka bisa menunaikan tugas setelah terpilih. Nah, disinilah kekosongan hukum itu terjadi,” ungkap nya kepada awak media.
Menurutnya, kekosongan hukum itu secara tidak langsung mengangkangi konstitusi negara, sehingga keputusan politik rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di negara demokrasi menjadi terabaikan dan membuat keputusan politiknya tergerus begitu saja.
Padahal, kasusnya hanya masalah perizinan dan prosesnya-pun terkesan dipaksakan dan kental dengan muatan politik. Sehingga kondisinya, secara otomatis dipastikan berdampak pada kinerja pembangunan, juga terjadi sentimen politik antar pendukung di tengah masyarakat yang akan terus meningkat.
“Karena saya yakin, kalau pertarungan ini (dalam kasus Rusma Yul Anwar) tidak hanya pertarungan di level hukum,” terangnya.
Muhammad Taufik menilai, segala bentuk perdebatan bisa berujung pada konflik horizontal. Lebih jauh, tidak tertutup kemungkinan berujung pada huru-hara, dan hal itu pernah terjadi di Pesisir Selatan saat Pilkada 2005.
“Hendaknya negara tidak mengabaikan masa depan masyarakat di daerah. Biarkan mereka berdaulat dengan apa yang telah mereka putuskan, sesuai prinsip yang dianut negara kita,” ujarnya.
Ia melanjutkan, negara harus hadir mengisi kekosongan hukum itu dan harus ada solusi terbaik demi terwujudnya demokrasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga pembangunan bisa berjalan sesuai target yang ditetapkan.
“Jika tidak, persoalan-persoalan seperti ini akan terus terjadi. Azas demokrasi di Indonesia hanya akan menjadi retorika belaka. Tidak ada lagi penjaminan terhadap hak politik warga negara. Daerah menjadi rawan konflik horizontal,” ucapnya.
Ke depan, dirinya menyarankan UU Pilkada harus segera direvisi sebagai antisipasi berulangnya kejadian serupa, jangan sampai berbenturan dengan produk hukum lainnya. Sebagai regulasi pelaksanaan demokrasi, ia harus mampu menjamin keputusan politik rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi.
Diketahui, setelah kasasinya ditolak MA pada 24 Februari 2021, Rusma Yul Anwar kini melakukan upaya hukum luar biasa, yakni PK. Proses pencarian keadilan itu kini tengah berproses di MA.
Kasusnya berawal atas ada pelaporan yang masuk ke Kementerian Lingkungan dan Kehutanan RI dan Jaksa Agung, mulai 2016. Kasusnya antara lain dilaporkan dengan diteken Bupati Pesisir Selatan, Hendrajoni tertanggal 27 April 2018.
Laporan bernomor surat 660/152/DLH-PS/2018 kala itu, perihal Pengrusakan Lingkungan Hidup di Kawasan Mandeh disampaikan ke Kementerian Lingkungan dan Kehutanan RI dan Jaksa Agung. Waktu itu, Rusma Yul Anwar merupakan wakil dari Hendrajoni.
Dalam eksepsi sebelumnya, ada tiga nama lain dalam kasus tersebut. Ketiganya antara lain dan mantan pejabat Pessel dan seorang pengusaha, dengan luas kerusakan yang lebih parah.
Namun, yang bergulir hanya dirinya seorang dan dalam kasusnya ia divonis satu tahun penjara dan denda Rp 1 miliar oleh PN Klas 1A Padang. Dikarenakan hal ini dinilai terkesan tebang pilih.
Pasal yang dikenakan 109 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atas melakukan kegiatan usaha tanpa memiliki izin lingkungan, bukan soal perusakan Mangrove.