MENTAWAI, KLIKPOSITIF – Kabupaten Kepulauan Mentawai terletak memanjang di bagian paling barat Pulau Sumatera yang dikelilingi Samudra Hindia. Pulau ini terdiri atas empat kelompok pulau utama, yaitu Pulau Siberut, Pulau Pagai Utara, Pulau Pagai Selatan, dan Pulau Sipora.
Banyak orang sudah mengenal Mentawai sebagai salah satu tempat spot surfing terbaik di dunia. Namun selain itu, di Kepulauan Mentawai juga terdapat kebudayaan yang unik dan masih sangat terjaga, begitu juga dengan alamnya yang masih eksotik.
Di Kepulauan Mentawai sendiri, terdapat suku yang namanya menyerupai nama daerah tersebut, yaitu suku Mentawai yang keberadaannya ada di pedalaman Kepulauan Mentawai. Salah satu yang menarik dari suku ini adalah “Sikerei” (sebutan seorang dukun di Mentawai,red).
Selasa (15/10) kemarin, KLIKPOSITIF .com bersama rombongan dari sejumlah Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan BUMN , berkesempatan untuk mengunjungi Sikerei yang tinggal di Dusun Buttui, Desa Madobag, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepuluan Mentawai.
Dusun Buttui berjarak sekitar 20 kilometer dari Dermaga Meilepet, Kecamatan Siberut Selatan, atau sekitar 22 kilometer dari Muara Siberut-Pusat Pemerintahan Kecamatan Siberut Selatan. Ada dua akses jalan untuk bisa sampai ke Buttui, yaitu melalui darat dan menyisiri sungai menggunakan perahu.
Namun kondisi kemarau yang sudah empat bulan lamanya terjadi di Pulau Siberut, membuat sungai yang mengalir dari Dermaga Meilepet ke Buttui menjadi dangkal. Alih-alih menggunakan sampan, kami pun bersama rombongan terpaksa melewati jalur darat dengan menggunakan sepeda motor.
Melalui jalur darat ternyata tidaklah mudah. Kondisi medan jalan yang bergelombang, berkerikil, dan berdebu, membuat perjalanan menuju Buttui begitu melelahkan, apalagi medan jalan setapak dengan batu sebasar parit melintang di badan jalan.
Untuk mengunjungi Buttui, kami berangkat dari base camp Yayasan Aksi Peduli Bangsa yang berada di Dusun Munte, Desa Munte, Kecamatan Siberut Selatan sekitar pukul 15.00 WIB. Dari base camp lembaga sosial pendidikan itu, kami menuju arah selatan Dusun Puro II dan terus ke Dusun Majobukuh.
Setiba di Majobukuh, kami pun menuju arah utara dan tiba Mangorut, dan terus lurus ke Dusun Rokdog, Kulukubuk. Sekitar 45 menit kemudian, sampailah kami di Dusun Buttui, Desa Madobag, tempat permukiman suku pedalaman Mentawai.
Bahkan setiba di sana, kami pun disambut oleh sejumlah Sikerei yang mengenakan pakaian khas Sikerei berupa tonggoro atau cawat yang terbuat dari kulit kayu yang berwarna merah, ikat kepala, gelang, kalung, dan jara-jara atau hiasan rambut yang terbuat dari bulu burung.
“Aloita (selamat datang,red)” kata salah seorang Sikerei sambil mengulurkan tangannya memberi salam begitu kami menginjakkan kaki di Dusun Buttui, sekitar pukul 18.30 WIB. Setelah sempat berkenalan, kami pun langsung menuju aula.
Di aula tersebut, anak-anak Sikerei menyambut kami dengan berbagai tarian pasambahan asal Mentawai. Bahkan, beberapa anak Taman Kanak-kanan (TK) Tunas Bakti Bangsa yang didirikan oleh Yayasan Aksi Peduli Bangsa , juga turut menghibur kami melalui nyanyian berhitung menggunakan Bahasa Inggris.
“Terharu melihat pertunjukan dari anak TK ini. Masih kecil sudah pandai Bahasa Inggris. Meski dari keluarga Sikerei, tapi mereka punya keinginan belajar seperti anak-anak pada umumnya,” kata Kepala Departemen Komunikasi & Hukum Perusahaan PT Semen Padang Oktaweri, yang ikut bersama rombongan.
Diancam pakai Parang
Kemajuan yang siginifikan yang dialami Sikerei beserta keluarganya, khususnya di Dusun Buttui, tidak terlepas melalui tangan dingin Arifin Jayadiningrat yang merupakan pendiri Yayasan Peduli Anak Bangsa.
Kendati begitu, Arifin dalam membangun peradaban Sikerei, butuh perjuangan dan kesabaran, apalagi Sikerei sendiri hingga kini masih dianggap sebagai orang yang memiliki kekuatan supranatural. Bahkan semakin banyak tubuh Sikerei diberi tato, maka semakin tinggi kekuatannya.
“Pertama kali saya datang ke Buttui di medio 2012, saya diancam pakai parang oleh kepala suku-nya. Bahkan parang tersebut sudah diarahkan ke kepala saya,” kata Arifin Jayadiningrat saat ditemui di base camp Aksi Peduli Bangsa.
Alumni Universitas Al Azhar, Kairo yang kini berprofesi sebagai Ustad itu mengaku tak gentar dengan ancaman dari kepala suku tersebut, karena kedatangannya ke Buttui untuk memberi kehidupan bagi Sikerei.
“Ketika itu saya memang gak ngerti bahasa Mentawai, tapi melalui penerjemah namanya Islan yang kini aktif di Aksi Peduli Bangsa, disampaikan lah bahwa saya laksana cahaya matahari, air dan udara yang tidak membutuhkan manusia, tapi manusia yang membutuhkannya. Itu filosofi yang saya sampaikan ke kepala suku,” ujarnya.
Setelah kedatangannya diterima, Direktur Islamic Character Development (ICD) itu kemudian mulai melakukan pendekatan sembari membangun peradaban di Buttui secara perlahan-lahan. Awalnya, sebut Arifin, membangun pendidikan dengan mendirikan PAUD dan TK di Buttui. Setelah itu didirkanlah masjid, aula, klinik kesehatan, dan taman baca.
Satu persatu dari keluarga Sikerei kemudian mulai terbuka dengan dunia luar, dan sudah mengenal pendidikan. Bahkan sebagian besar dari Sikerei itu sudah mulai mengenakan baju, terutama yang perempuan. “Kalau sekarang, Sikerei yang sudah tua-tua yang masih memakai pakaian khas Sikerei, namun sesekali, mereka juga mengenakan baju,” bebernya.
Setelah membangun pendidikan, Arifin juga menyebut bahwa satu persatu dari Sikerei kemudian memeluk Agama Islam, begitu juga dengan kepala suku beserta keluarganya yang telah menjadi mualaf. “Memang sebelum kami masuk (Buttui) ada juga yang Islam, tapi mereka tidak melaksanakan kewajiban umat Islam. Kalau sekarang, sudah mulai ada yang salat,” tuturnya.
Sejak masuknya Aksi Peduli Bangsa, anak-anak Sikerei ternyata tidak kalah jauh dibandingkan anak-anak yang ada di kota pada umumnya. Buktinya, sebagian dari anak-anak Sikerei yang dibina oleh Aksi Peduli Bangsa, di ada yang di sekolahkan ke beberapa pondok pesanter terkenal di Pulau Jawa. “Saat ini, banyak dari mereka yang hafiz quran,” ungkap Arifin.
Kemudian ketika ditanya apa yang membuat dirinya terpanggil untuk membangun peradaban di pedalaman Mentawai, Arifin mengaku bahwa Mentawai yang ia kenal pada awalnya merupakan daerah tertinggal, terdepan dan terluar atau yang disebut sebagai daerah 3T, namun ternyata di pedalaman Mentawai, masih ada sekelompok primitif yang hidup berpindah-pindah dari hutan ke hutan lainnya.
Tentunya, hal itu tidak bisa dibiarkan begitu saja dan harus butuh perhatian serius semua pihak. Oleh sebab itu, ia pun pada medio 2012, datang dari Jakarta ke Mentawai. Setiba di Padang, dia pun menumpangi kapal barang dari Muaro Padang menuju Mentawai. Setiba di Mentawai, tepatnya di pedalaman Pulau Siberut, dia pun melihat langsung dengan mata kepala tentang keberadaan suku pedalaman Mentawai yang hidup berpindah-pindah dari hutan ke hutan lainnya.
“Negeri ini kaya, tapi kenapa masih ada orang Indonesia yang sehari-hari masih telanjang dada. Ini yang membuat nurani saya terpanggil untuk membangun peradaban di pedalaman Mentawai. Saya ingin mengabdi buat negeri,” ujarnya. Setelah datang ke Mentawai, Arifin kembali ke Jakarta dan menceritakan perjalanannya ke Mentawai hingga bertemu dengan Sikerei kepada sejumlah jamaahnya,” imbuh Arifin.
Setelah menceritakan pengalamannya di Mentawai, Arifin kemudian mengajak para jamaahnya untuk membangun peradaban di pedalaman Mentawai. Tidak hanya itu, bahkan Arifin harus rela menjual sejumlah asetnya, termasuk mobil demi mewujudkan keinginan untuk membangun pedalaman Mentawai. “Apa yang saya lakukan ini semuanya karena Allah SWT. Sebab hidup ini dituntun kematian,” katanya.
“Saya membangun pedalaman Mentawai hanya untuk mencari kain kafan yang wangi, sehingga saya kembali kepada Allah SWT dengan bekal yang banyak. Saya sedang berdangang dengan Allah SWT, dan itu dijelaskan dalam Surat At-Taubah ayat 111 yang berbunyi; sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka,” ungkap Arifin.
Bersinergi dengan BUMN
Selain uang yang dikeluarkan untuk membangun pedalaman Mentawai berasal dari zakat jamaah, Arifin juga menuturkan bahwa dirinya melalui Yayasan Aksi Peduli Bangsa , juga bersinegri dengan sejumlah perusahaan BUMN . Diantaranya Semen Padang , Bank Mandiri, Patra Jasa, Asuransi Jasindo, dan Perusahaan Pengelolaan Aset.
Sinergi tersebut dilakukan untuk membangun insfrastruktur berupa TK, aula, masjid, klinik, dan sejumlah fasilitas lainnya yang ada di Dusun Buttui. Saat ini yang sedang dibangun, adalah Asrama Putri bagi pelajar dari pedalaman Mentawai. Asrama Putri itu dibangun, di Dusun Munte, Desa Munte, Kecamatan Siberut Selatan. Bantuan pembangunannya berasal dari Semen Padang .
“Bantuan yang diberikan Semen Padang berupa semen sebanyak 3500 sak. Alhamdulillah, semen sebanyak itu bisa membangun asrama putri dua tingkat,” katanya. Pembangunan asrama bagi pelajar itu dilakukan, karena selama ini banyak anak-anak pedalaman Mentawai yang tidak bisa melanjutkan pendidikan hingga ke tingkat SMA.
“Di daerah pedalaman Pulau Siberut ini, sekolah paling tinggi itu hanya sampai tingkat SMP. Sedangkan untuk SMA, berada di daerah pesisir timur Pulau Siberut, sehingga untuk ke sekolah, mereka harus menempuh perjalanan sekitar 2 jam dengan sepeda motor. Sedangkan jalan kaki, bisa mencapai delapan jam. Makanya, banyak dari anak-anak yang tinggal di pedalaman Mentawai yang putus sekolah,” katanya.
Sementara itu, Kepala Departemen Komunikasi dan Hukum Perusahaan PT Semen Padang Oktoweri menuturkan bahwa bantuan semen itu, merupakan bentuk kepedulian perusahaan terhadap pendidikan di Mentawai. Oktoweri berharap dengan adanya bantuan semen ini, maka proses pembangunan asrama putri untuk pelajar yang tinggal di pedalaman Mentawai cepat selesai.
Oktoweri juga menyampaikan bahwa PT Semen Padang tidak hanya mendukung program pendidikan di Mentawai, tapi juga mendukung program syiar Agama Islam di Kepulauan Mentawai dengan mengirim sekitar 50 da’i binaan dari Unit Pengumpul Zakat (UPZ) Baznas Semen Padang .
Kemudian di samping itu pada 2018 kemarin, perusahaan melalui UPZ Baznas Semen Padang juga telah melegalkan pernikahan lebih dari 600 pasangan suami-istri melalui sidang itsbat secara gratis. “Sebelumnya, ratusan pasangan suami-istri itu hanya menikah secara siri,” ujarnya.
Terpisah, Kepala Suku Aman Lau-lau yang ditemui di kediamannya, mengakui bahwa dirinya memang sempat mengancam Arifin Jayadiningrat , karena dirinya khawatir kedatangan Arifin di Buttui merugikan suku pedalaman Mentawai. “Saya ancam Arifin, karena ketika itu saya curiga kalau Arifin bersama rombongannya, hendak merampok tanah kami dan mendirikan pabrik di kampung kami ini,” katanya.
Apa yang diperbuat Arifin Jayadiningrat di pedalaman Mentawai, tambah Aman Lau-lau, tentunya sangat menguntungkan kaumnya. Apalagi dengan adanya sekolah PAUD dan TK yang didirikan Aksi Peduli Bangsa, termasuk bantuan beasiswa pendidikan untuk anak Sikerei agar bisa melanjutkan sekolah yang lebih tinggi.
“Kami bangga dengan Arifin dan Aksi Peduli Bangsa pada umumnya. Terimakasih telah mengajarkan kami banyak hal, termasuk mengenalkan kepada kami dan anak-anak kami tentang dunia di luar sana. Kami berharap agar Aksi Peduli Bangsa terus membangun pedalaman Mentawai,” pungkasnya.(*)
Penulis: Riki Suardi