KLIKPOSITIF — Seniman Gusmen Heriadi menggelar pameran tunggal. Ini adalah pameran tunggalnya yang kesepuluh. Tapi tampak beda. Kali ini, seniman asal Sumatera Barat atau Ranah Minang ini mengerahkan karya-karya terbaik yang dia buat dalam rentang 25 tahun proses kreatif perjalanannya berkesenian. Ini adalah pameran restrospektif.
Pameran tunggal retrospeksi (mengingat kembali) ini diberi tajuk “Belum Selesai”. Digelar di Jogja Gallery selama tiga minggu, 7 — 30 November 2021. Tak kurang dari 150 potong karyanya dipamerkan. Terdiri dari sketsa, drawing, lukisan, hingga karya tiga dimensi. Gusmen menunjukkan kekayaan teknik dan keberagaman tema yang diangkatnya.
Untuk memperkaya pembacaan dan tafsir atas karya-karyanya, Gusmen mengundang orang-orang terdekatnya untuk menulis. Tak kurang dari delapan penulis dari berbagai latar dilibatkan. Mereka adalah AA Nurjaman (penulis seni rupa), Sudjud Dartanto (kurator dan dosen seni rupa ISI Yogyakarta), Heru Joni Putra (sastrawan), Yaya Marjan (jurnalis), Wenri Wanhar (sejarawan dan jurnalis), Rijal Tanmenan (etnomusikolog), Syam Terrajana ( perupa dan jurnalis) dan Syofiardi Bachyul Jb, penulis dan jurnalis yang tak lain kakak kandung Gusmen Heriadi.
Tajuk “Belum Selesai” sengaja dipilihnya, sebagai penanda pergumulan proses kreatifnya yang terus-menerus bereksplorasi. Tanpa dikekang batas, tema, ataupun sesuatu yang jadi ciri khas.
“Bagi Gusmen, suatu ciri khas kesenimanan tidaklah penting, yang penting justru mengembangkan hasrat berkarya yang kemudian diarahkan melalui kekuatan konsepsinya. Kekuatan dorongan hasrat inilah yang kemudian mampu mengkonseptualisasikan untuk 'berbeda' dan 'menjadi', yang dikaitkan dengan keterbukaan seiring perubahan sistem-sistem,” tulis AA Nurjaman dalam salah satu pengantarnya.
Menurut AA Nurjaman, pada periode awal proses kreatifnya (1995-2004), Gusmen sudah menunjukkan keragaman gaya. Itu seperti mempertegas kebebasannya dari kungkungan ciri khas kesenimanan. Suatu ketika ia menampilkan lukisan realistik, di saat lainnya bergaya surealistik, kubistik, bahkan abstrak.
“Seperti seorang pekerja nomad, Gusmen tidak peduli dengan pengkategorian gaya-gaya lukisan ala Barat. Klasifikasi para filsuf Barat terhadap karya seni hanya berakibat mempersempit daya imajinasi seniman,” tulisnya.
Sedangkan pada periode kedua (2005-2021) Gusmen mulai membuat karya-karya seri tematik, antara lain: seri kotak kaca, seri kota, seri kembang alam, seri kabar, seri kitab, seri tamu, seri fashions, seri hening, seri puncak, seri bunyi, dan seri semesta intuisi. Lukisan-lukisan seri tematik Gusmen juga menampilkan beragam gaya atau style, mempertegas kebebasannya dari kungkungan ciri khas kesenimanan.
Sejarawan dan jurnalis, Wenri Wanhar, yang didapuk jadi perespon untuk karya serial “Kitab” dan “Kembang Alam” menilai Gusmen bukan sekadar pelukis. Tapi juga filsuf.
Melalui fragmen lukisan Seri Kitab, Gusmen mempertontonkan hamparan buku, wajah-wajah para pemikir yang mempengaruhi selapis peradaban dunia. Jika buku adalah lambang pengetahuan, semakin manusia menceburkan diri ke dalamnya, maka harapannya relasi manusia dengan semesta semakin baik. Karena yang memimpin adalah ilmu pengetahuan.
Sedangkan pada Seri Kembang Alam, Gusmen merepresentasikan kenyataan berkebalikan. Ia menggunakan simbol satwa—termasuk manusia, dan yang tak terlihat– pada ruang hidup yang seolah menanti kemusnahan di ujung jalan.
“Dua seri lukisan ini mengajak kita membaca kontradiksi. Landskap kehidupan yang berjalan menuju arah saling membelakang. Manusia merasa bergerak maju dengan ilmu pengetahuannya, namun keselarasan alam raya malah mengalami kemunduran. Ada relasi yang rusak. Ada kausalitas yang sesat,” tulisnya.
Sketsa Penjara
Di antara ratusan karyanya itu, Gusmen menyisipkan babak kecil dalam perjalanannya berkesenian. Itu berupa sketsa-sketsa yang dibuatnya saat mendekam selama satu setengah bulan di penjara di Yogyakarta. Peristiwa itu terjadi 1997 silam. Gusmen masuk bui karena terjaring operasi razia senjata tajam. Polisi mendapati sebilah rencong dalam tasnya di kawasan Malioboro. Padahal rencong itu adalah cenderamata dari kawannya asal Aceh.
Di penjara, Gusmen membuat belasan sketsa. Menggambarkan suasana kehidupan orang-orang pesakitan. Kertas dan bolpoin dia peroleh dari Ibrahim. Kawan sesama perupa dan mahasiswa ISI Yogyakarta.
“Ada satu hal kuperoleh dari pergaulanku dengan sesama napi; rata-rata dari mereka tak merasa benar-benar bersalah dan pantas dihukum. Dalam penjara, aku juga mahfum. Hukum bisa dibeli. Seorang jaksa menemui kawanku. Meminta sejumlah uang untuk meringankan hukumanku,” tulis Gusmen dalam pengantar karya sketsa penjara yang dia beri tajuk “rencong”.
Gusmen Heriadi lahir di Pariaman, 18 Agutus 1974. dia menamatkan pendidikan di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Padang Panjang, Sumatera Barat (1994) dan melanjutkan studi ke Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Dia tamat pada 2005.
Sejumlah penghargaan bergengsi yang dia raih antara lain “Best Works BAKABA #6 Sakato Art Community, Yogyakarta, Indonesia” 2017. “Special Appreciation of Jakarta Art Award, Indonesia” 2006. “CP BIENNALE Jakarta, Indonesia” 2003, “Finalist of Indofood Art Award, Indonesia” 2002. “Finalist of Philip Morris Art Award, Indonesia” 2000–1998, The Best Acrylic Painting, ISI Yogyakarta, Indonesia” 1997, “The Best Watercolor Painting, ISI Yogyakarta, Indonesia” 1996.
Kakak kandung Gusmen Heriadi, Syofiardi Bachyul jb mengenang adiknya itu sebagai anak nakal. “Mungkin pengaruh ia lahir bulan Agustus dan berbintang Leo. Bisa juga campuran nakal dengan keingintahuan yang tinggi. Waktu masih bisa merangkak ia pernah hanyut dan nyaris digilas truk fuso,” tulisnya.
Gusmen juga pernah diusir Guru Fisika dari kelas dan disuruh menghormat bendera di lapangan hingga jam pelajarannya usai. Ia dihukum karena saat Bu Guru menerangkan pelajaran Gusmen kedapatan asyik menggambar.
Kesukaan membaca komik juga berpengaruh besar kepada Gusmen untuk menjadi pelukis.
“Saya sering memintanya membuat ilustrasi untuk halaman cerpen yang saya kelola,” tulis Syofiardi yang berprofesi jurnalis dan menyukai karya sastra.
Ayah dan Ibu, tulis Syofiardi, bukanlah orang terpelajar dalam pengertian mengenyam sekolah formal. Mereka tidak tamat sekolah dasar. Keluarga besar Gusmen Heriadi juga tidak ada yang seniman. Ayahnya seorang tukang.
“Tetapi Ayah seseorang yang menghargai karya, meski dalam bentuk karya pertukangan. Ia tidak pernah menceritakan hasil pekerjaannya dari jumlah uang yang ia dapatkan, melainkan mengagumi bentuk dan kekuatannya. Ia tak kenal lelah dan juga tidak menyukai ada kekurangan pada ciptaanya. Terkadang ketika melihat Gusmen melukis, saya teringat Ayah mengerjakan pembuatan pintu rumah, meja, atau menghaluskan plester dinding. Mungkin dari situlah darah itu mengalir dengan medium yang berbeda: ketekunan, keinginan sempurna, dan tak kenal lelah,” tulisnya.
Penulis Sudjud Dartanto mengatakan Gusmen adalah sedikit perupa yang tak perlu diragukan lagi soal penguasaan teknis, terutama pada caranya melahirkan rupa puitik dari percakapan dan pengamatan atas objek dan fenomena sosial-budaya.
“Ia adalah aset perupa Indonesia yang mewartakan spirit universal, dalam arti karya-karyanya dapat diapreasiasi oleh manusia tanpa batas,” katanya.
Pameran retrospeksi merupakan program Jogja Gallery. Ditawarkan pada seniman yang memiliki rentang waktu proses kreatif minimal 25 tahun. “Tujuannya, untuk merekam dan melakukan pembacaan utuh atas karya-karya yang dihasilkan seniman dalam rentang waktu itu. Gusmen Heriadi mendapatkan kehormatan, jadi seniman pertama dalam program ini,” ujar General Manager Jogja Gallery, Daru Artono.(*)