KLIKPOSITIF – Tuanku Imam Bonjol atau Muhammad Shahab, lahir di Bonjol pada tahun 1772. Ia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin (ayah) dan Hamatun (ibu).
Ayahnya, Khatib Bayanuddin, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota.
Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam.
Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol.
Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Riwayat Perjuangan
Melansir laman Cagarbudaya kemdikbud, Perang Padri selama sekitar 18 tahun pertama (1803-1821) pada awalnya didasari keinginan pemimpin ulama kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (bid’ah).
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang dtandatangani di Padang.
Sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau).
Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang.
Dalam hal ini Belanda melibatkan diri dalam perang karena “diundang” oleh kaum Adat.
Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai.
Dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824.
Tetapi kemudian perjanjian ini dlanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek.
Sejak awal 1833 perang di Sumatera Barat berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Agama melawan Belanda.
Menurut transliterasi oleh Sjafnir Aboe Nain dalam buku Memorie Tuanku Imam Bonjol sebuah sumber pribumi yang penting tentang Perang Paderi yang mencatat bagaimana kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda.
Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda.
De Salis dalam Het einde Padri Oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie menceritakan secara rinci perjuangan Tuanku Imam Bonjol bersama pengikutnya melawan Belanda.
Pada pertengahan 1837, setelah beberapa kali terlibat peperangan, akhirnya pemerintah kolonial Belanda berhasil meringkus Imam Bonjol, yang kemudian mengasingkannya ke beberapa tempat terpencil di nusantara.
Pemakaman Tuanku Imam Bonjol
Hingga pada 6 November 1864, Imam Bonjol wafat di pengasingan di tanah Minahasa, Sulawesi Utara.
Tuanku Imam Bonjol kemudian dmakamkan di Desa Lota, Pineleng, Minahasa, Sulawesi Utara.
Untuk menghormati jasa-jasanya yang telah berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, Imam Bonjol telah mendapat pengakuan sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia.
Makamnya dbangun sedemikian rupa sehingga masyarakat mampu mengenang dan menghayati perjuangan Imam Bonjol.
Makam Imam Bonjol bergaya arsitektur yang kental bernuansa Minang, yaitu pada atapnya yang berbentuk gonjong.
Bangunan makam yang berada di tengah-tengah pemukiman warga ini juga mengandung nuansa Islam.
hal tersebut terlihat dari adanya kaligrafi ayat alquran yang ada di bagian tengah makam.
Dalam makam yang berukuran sekitar 6ร10 meter tersebut hanya terdapat makam Tuanku Imam Bonjol.
Pada nisan makam tertulis; Tuanku Imam Bonjol wafat dalam pengasingan pemerintah kolonial Belanda karena berperang menentang penjajahan untuk kemerdekaan tanah air, bangsa, dan negara.
pada dinding makam terdapat lukisan marmer yang menggambarkan Tuanku Imam Bonjol sedang mengendarai kuda dalam peperangan.
Tidak jauh dari lokasi makam, pengunjung bisa menyaksikan sebuah mushola yang pernah dgunakan oleh Imam Bonjol untuk beribadah.
Dalam mushola tersebut terdapat batu besar yang menghadap kiblat.
Dari batu itulah Imam Bonjol menyepi dan mendekatkan diri kepada Tuhan dalam pengasingannya.
Melansir laman Indonesiakaya, Ibu Ainun, salah satu keturunan Imam Bonjol yang juga bertanggung jawab sebagai penjaga makam, menceritakan, ketika pengasingan oleh pemerintah kolonial Belanda ke Minahasa, Imam Bonjol membawa seorang pengawal.
Pengawal Imam Bonjol kemudian menikah dengan gadis Minahasa yang telah memeluk Islam, dan mempunyai keturunan hingga sekarang.
Makam Tuanku Imam Bonjol kerap dikunjungi orang-orang dari berbagai kalangan. Biasanya mereka datang dari luar Minahasa yang ingin mencari tahu tentang Imam Bonjol dalam tataran sejarah nasional Indonesia.
โBanyak orang datang kesini untuk penelitian dan belajar sejarah, selain ada juga yang hanya sekadar ingin berziarah,โ tutur Ibu Ainun.
Penghargaan
Perjuangan Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan.
Sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia,Tuanku Imam Bonjol dapat gelar Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.
Selain itu nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang publik bangsa sebagai nama jalan, nama stadion, universitas, bahkan pada lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.