Minggu, 11 Mei 2025 - 19:15 WIB
Klikpositif.com - Media Generasi Positif
Tidak ada hasil
Tampilkan semua hasil
  • 🏠
  • News
  • Ekonomi
  • Life
  • Cek Fakta
  • Cerpen Kato
  • Pariwisata
  • Semen Padang
  • Bola
  • Tekno
  • Olahraga
  • Pariwara
Tidak ada hasil
Tampilkan semua hasil
KlikPositif.com - Media Generasi Positif
  • 🏠
  • News
  • Ekonomi
  • Life
  • Cek Fakta
  • Cerpen Kato
  • Pariwisata
  • Semen Padang
  • Bola
  • Tekno
  • Olahraga
  • Pariwara
Tidak ada hasil
Tampilkan semua hasil
KlikPositif.com - Media Generasi Positif
Tidak ada hasil
Tampilkan semua hasil
  • 🏠
  • News
  • Ekonomi
  • Life
  • Cek Fakta
  • Cerpen Kato
  • Pariwisata
  • Semen Padang
  • Bola
  • Tekno
  • Olahraga
  • Pariwara
Home Cerpen Kato

Saksi Terakhir

Oleh: Hasbunallah Haris

Andika
Minggu, 11 Mei 2025 | 08:54 WIB
Share on FacebookShare on Twitter
Program MEDAL Of Honda Klikpositif

ISTRIKU akan segera melahirkan dan aku belum punya persiapan apa-apa. Untunglah petang itu Samsul berkunjung ke rumah dan mengajakku mengawaninya ke pedalaman PT D untuk mengantar seorang biduan orgen tunggal, hanya mengantar saja dan kami pulang dengan segepok uang. Aku menimbang-nimbang apakah harus ikut atau tidak. Jika ikut, istriku pasti tinggal dan siapa yang akan membantunya jika terjadi kemalangan? Jika tidak, apa yang dapat kukerjakan agar menghasilkan uang dengan cepat selain maling?

“Bagaimana?” Samsul kembali mendesak agar aku lekas memutuskan. “Kita berangkat sore dan sampai di sana malam, hari itu juga kita langsung pulang, apa yang kau cemaskan?”

Baca Juga

Gabin

Minggu, 27 Apr 2025 | 08:52 WIB
Ilustrasi/klikpositif

Cerita pada Dokter

Minggu, 13 Apr 2025 | 09:10 WIB

Sejenak, aku ingin berkata akan meminta pendapat Rotijah, istriku, lebih dulu, namun perempuan tangguh itu lebih dulu bicara sambil membawakan nampan berisi kue-kue kering dan dua gelas kopi panas dari dapur.

“Sudah, pergi sajalah, temankan Samsul, aku akan baik-baik saja. Besok akan kuminta Rosnah datang menemaniku,” katanya yakin.

Akhirnya di petang yang rinai itu kami sepakat bertemu kembali, Samsul akan menyinggahiku setelah menjemput perempuan biduan orgen tunggal yang dia maksud. Pukul delapan malam berikutnya, sebuah mobil SUV tinggi masuk ke pakarangan rumah, kaca depan mobil diturunkan dan dering klakson menggema seketika. Aku yang mendengarnya buru-buru mencium kening Rotijah dan sedikit mengelus perutnya yang sudah membesar, kata dokter tinggal menunggu hari H saja.

“Jangan ngebut, Sam.” Rotijah mengingatkan, kami bertiga memang sudah dekat sejak zaman sekolah SMA dulu. “Pulangnya sebelum pagi ya,” tambah istriku lagi, yang langsung diangguki Samsul sambil mengacungkan jempol.

Sepanjang jalan, aku sesekali melirik penumpang di deretan kursi belakang itu lewat kaca, seorang perempuan berkulit putih dengan riasan wajah yang sangat menor, dia memakai kemeja kotak lengan panjang, dengan dua kancing bagian atas sengaja dilepas untuk memamerkan belahan berahinya yang besar dan padat, celana jeans kuning gading ketat juga menambah kesan erotik yang sangat menggairahkan. Buru-buru kualihkan pandangan dan ingin sekali bertanya di mana Samsul mengenal perempuan cantik itu, namun nanti saja saat kami sudah di jalan pulang.

Hingga pukul sembilan malam, mobil masih menapak di jalan aspal, namun saat rumah-rumah mulai sepi dan di kanan-kiri jalan mulai ditumbuhi tanaman sawit, jalan mulai rusak dan bertanah. Aku tidak begitu mengenal daerah ini, pun tidak pernah berkunjung meski tahu di dalam sana ada sebuah PT yang sangat besar untuk mengolah sawit menjadi minyak mentah, namun hanya beberapa orang yang berkepentingan saja yang boleh masuk.

Aku tersentak saat roda mobil menginjak lubang, jalan aspal sudah sempurna hilang, yang terbentang kini sempurna berupa jalur lurus perkebunan sawit dengan jalan tanah kuning yang ditimbun batu-batu kerikil dan sebesar tinju, beberapa kali Samsul menggerutu di sebelahku karena dia kepayahan mengendalikan stir.

“Gantian?” Aku menawarkan diri, namun Samsul menggeleng.

“Pas pulang saja,” jawabnya mengganti sorot lampu menjadi jauh.

Aku merasa masuk ke dalam labirin jauh ke rimba belantara yang tak berpenghuni, hanya ada sawit di mana-mana, jalanan tanah kuning itu mulai licin di beberapa bagian dan itu sangat menyulitkan, belum lagi cabang-cabangnya yang sangat banyak, beberapa kali penumpang kami yang mengarahkan untuk berbelok dan menghindari lubang di depan.

“Sehabis tikungan yang satu ini akan ada tanjakan, Bang,” katanya menunjuk. “Sehabis itu akan ada gerbang masuk.”

Benar saja, setelah menikung, sebuah pos jaga dari kayu mulai kelihatan, jalan masuk utama itu dipalang dengan sebuah besi sebesar peralon pamsimas. Seorang laki-laki bersarung menghampiri mobil kami, menyorotkan senter ke dalam mobil dan memeriksa.

“Ke mana?” katanya menyelidik. Meski wajahnya tak terlalu jelas karena senter yang dia genggam selalu terarah ke muka kami secara bergiliran, perempuan yang duduk di belakang menjelaskan kalau dia diundang menyanyi di rumah Kamto, kenduri anaknya. Lelaki itu menyipitkan mata sejenak, sebelum kemudian memberikan intruksi untuk melepaskan ikatan palang dan membiarkan kami masuk.

Setelah Samsul berbasa-basi dengan membunyikan klakson, mobil kembali melaju pelan. Deretan sawit kembali menemani kami, tikungan demi tikungan berhasil dilalui, sebuah tanjakan curam juga sudah lewat, aku harus mengingat-ingat ke mana kami jalan pulang nanti agar tidak tersesat sangat susah melihat di malam hari dengan pemandangan yang sama semuanya, hanya ada sawit di mana-mana.

“Nanti kalau abang jalan pulang tinggal lurus saja, keluarnya di persimpangan dekat pos ronda tadi.” Biduan orgen tunggal itu memberitahu saat aku celingukan menghafal jalan. “Nah, di sana, sebentar lagi kita sampai,” katanya kembali menunjuk.

Aku mengira dia pasti tidak kali ini saja bertandang kemari, jalanan dan kebun sawit ini seolah sudah dia kenal sepenuhnya. Tak jauh di depan, rumah-rumah mulai kembali kelihatan, lampu-lampu kembali benderang, aku melihat mobil-mobil truk terparkir sembarang tempat, orang-orang masih ada yang duduk di beranda rumah sambil membunyikan musik. Namun yang paling mencengangkan di depan kami terdapat sebuah bangunan besar dengan beberapa cerobong yang mengepulkan asap, kami sudah sampai ke jantung PT yang tidak semua orang bisa masuk. Kalau saja tidak malam, aku pasti sudah menjepret beberapa gambar untuk kutunjukkan pada Rotijah, namun kamera hp-ku tidak terlalu bagus jika malam hari.

“Di rumah yang depan itu saja, Bang,” ujar perempuan itu.

Kami menurunkannya sesuai permintaan, membantu mengangkatkan barang-barang berupa koper merah besar dan tiga tas jinjing hitam yang juga sangat besar. Seorang laki-laki keluar dari dalam rumah dan membantu. Dia tak menatapku, namun langsung menuju Samsul dan memberikan ongkos, sempat kulihat mereka bersalaman dan saling melempar senyum, berbasa-basi dan berterima kasih, lalu lelaki itu mengajak perempuan masuk. Pekerjaan kami sudah selesai.

Di jalan pulang, Samsul diam seribu bahasa, dia bahkan tak membiarkanku menyetir seperti perjanjian semula. Begitu mobil kembali menapak di jalan aspal, dia menyetel lagu dan menekan pedal gas macam orang kesetanan, kami sampai kembali di rumah menjelang pagi, pukul setengah tiga. Aku menawarinya masuk dan tidur, namun Samsul menolak, dia hanya memberikan jatahku dan kemudian pulang tanpa banyak bicara. Kini, uang delapan ratus ribu tergenggam dalam tanganku. Bangsat, peristiwa apa ini? Mengapa hanya mengantar seorang biduan orgen saja segini besar ongkosnya? Namun saat itu aku tidak ambil pusing, aku masuk dan beristirahat.

Pagi berikutnya, saat aku membersihkan pekarangan belakang rumah dan merapikan bonsai yang menjadi pagar hidup kediaman kami, istriku memanggil-manggil dari jendela paling atas, rumah kami memang sengaja dibuat rumah panggung untuk menghindari binatang masuk, selain itu juga bagian bawahnya setengah dipakai untuk kandang ternak.

“Ke sini … ke sini,” panggil istriku melambaikan tangan.

Kuputuskan untuk meninggalkan gunting rumput sebentar, lantas naik ke atas rumah. Apakah sudah waktunya melahirkan? Namun terkaanku ternyata salah, Rotijah buru-buru mengajakku ke meja makan kami, tempat dia meletakkan koran yang baru selesai dia baca. Dia menunjukkannya padaku.

“Bukankah perempuan ini yang kau antar bersama Samsul beberapa hari lalu?” Rotijah menunjuk gambar hitam-putih sebesar KTP dan aku terkesima saat melihatnya berada di pengumuman orang hilang. Kurebut koran itu untuk memastikan, benar, dia adalah perempuan yang kami antarkan, biduan orgen tunggal itu.

“Aku sempat melihat perempuan itu sekilas sebelum kelian berangkat,” tutur istriku. “Saat melihat ini tadi aku langsung tahu. Kau mengantarnya ke mana bersama Samsul?”

Dari nada suara isrtiku, aku tahu dia mencemaskan keselamatanku, aku tahu dia sedang menyelidiki dan ingin secepatnya tahu apa yang terjadi malam itu. Kuceritakan padanya apa yang terjadi secara cepat, sampai keanehan yang dilakukan Samsul menjelang pulang. Begitu aku menyelesaikan kalimat terakhir cerita, Rotijah langsung menyambar hp dan memberikannya padaku.

“Telfon Samsul sekarang!” katanya tegas.

Telepon itu hanya berdering, aku mencobanya lagi dan nihil, tidak ada yang mengangkat. Kubaca lagi koran yang tadi disodorkan istriku, terakhir dilihat perempuan itu memang di hari yang sama kami mengantarnya untuk bernyanyi, itu berarti kamilah orang terakhir yang melihatnya. Jika polisi tahu, aku dan Samsul pasti akan dipanggil dan diminta keterangan.

Tiba-tiba pintu depan diketuk seseorang, aku langsung mengalihkan pandangan pada Rotijah, apakah dia sedang menantikan tamu? Namun air muka keheranan bercampur bingung menjawab semuanya, kami tidak sedang menanti siapapun. Apakah itu Samsul yang datang? Kami lantas buru-buru menuju pintu depan, dan begitu terbuka, dua orang polisi berseragam lengkap tersenyum pada kami.

“Selamat siang, Bapak dan Ibu, apakah ini rumah Bapak Patoni?”

Aku mengangguk, menjawab dengan suara tercekat. “Ya, saya sendiri, Pak, ada yang bisa dibantu, Pak?”

Polisi yang seorang lagi, yang lebih muda dan tinggi, mengangkat koran di tangannya. “Apakah bapak mengenal Bapak Samsul? Beliau sudah lima hari menghilang, kami ingin mengonfirmasi mungkin bapak pernah bertemu dengan beliau akhir-akhir ini?” (*)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hasbunallah Haris lahir di Pakan Selasa, Kabupaten Solok Selatan, pada 29 Maret, saat ini tengah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol, Padang. Karyanya seperti Novel Menembus Rantau (2022) berhasil menjadi pemenang pertama dalam lomba penulisan novel lokalitas yang diinisiasi Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat dan Taman Budaya. Juli 2023 kemarin, naskahnya yang berjudul Leiden (2020-1920) berhasil menyabet juara II dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Anda dapat mengenalnya lebih jauh di Instagram @hasbunallah_haris

Tags: cerpencerpen kato

Berita Lainnya

Gabin

Minggu, 27 Apr 2025 | 08:52 WIB
Ilustrasi/klikpositif

Cerita pada Dokter

Minggu, 13 Apr 2025 | 09:10 WIB

Hari-hari Sepasang Pensiunan

Minggu, 30 Mar 2025 | 09:15 WIB

Pledoi Ni Emi untuk Warisan

Minggu, 16 Mar 2025 | 08:03 WIB
Selanjutnya

Beri Perlindungan Hukum Masyarakat Adat, Kementerian ATR/BPN Gelar Sosialisasi Pendaftaran Tanah Ulayat di Padang Panjang

Tinggalkan komentar
Classy FM

Berita Hangat.

Sekolah di Padang Masih Ditemukan Gelar Perpisahan di Hotel dan Sewa Gedung, Ini Kata Disdikbud

Senin, 05 Mei 2025 - 16:39

Gaji ASN Kabupaten Solok Terlambat, Ini Penyebabnya

Minggu, 04 Mei 2025 - 17:54
Tangkapan layar yang memperlihatkan momen Bupati Mentawai ngamuk ke petugas kapal pengangkut turis asing

Bupati Mentawai Buka Suara Usai Ngamuk di Kapal Pembawa Turis Asing, Begini Katanya

Sabtu, 10 Mei 2025 - 15:38

Tim Pembina Samsat Provinsi Sumatera Barat Adakan Rapat untuk Optimalisasi Pelayanan Kesamsatan

Kamis, 08 Mei 2025 - 12:49
Tangkapan layar yang memperlihatkan momen Bupati Mentawai ngamuk ke petugas kapal pengangkut turis asing

Heboh! Turis Asing Diduga Tak Bayar Pajak Surfing, Bupati Mentawai Ngamuk

Jumat, 09 Mei 2025 - 21:30
iklan menara agung kotak
Iklan Pln Klikpositif
KlikPositif.com - Media Generasi Positif

Gedung Serba Guna Lt. II PT.Semen Padang,
Indarung - Padang, Sumatera Barat,
Indonesia
Telp. (0751) 202761, 74999,
Fax. (0751) 74999
Email: [email protected]

Follow Us

Informasi

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Hubungi Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Iklan
  • Terms Of Use
  • Privacy Policy
  • Disclaimer

Kategori

  • 🏠
  • News
  • Ekonomi
  • Life
  • Cek Fakta
  • Cerpen Kato
  • Pariwisata
  • Semen Padang
  • Bola
  • Tekno
  • Olahraga
  • Pariwara

Networks

  • 🌎 KlikPositif
  • 🌎 KataSumbar
  • 🌎 Classy FM
  • 🌎 Classy Production
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Hubungi Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Iklan
  • Terms Of Use
  • Privacy Policy
  • Disclaimer

© 2022 Klikpositif - Media Generasi Positif by Classy Corp.

Tidak ada hasil
Tampilkan semua hasil
  • 🏠
  • News
  • Ekonomi
  • Life
  • Cek Fakta
  • Cerpen Kato
  • Pariwisata
  • Semen Padang
  • Bola
  • Tekno
  • Olahraga
  • Pariwara