“Di putih itu, di dalam seluruh hal-hal putih, aku akan menghirup napas yang kauhembuskan untuk terakhir kalinya.”
The White Book adalah novel terbaru Han Kang sesudah karya fenomenalnya, The Vegetarian dan Human Acts. Kedua buku tersebut telah mengantarkan Han Kang sebagai penerima penghargaan sastra bergengsi di dunia, yakni Man Booker International Prize dan Nobel Sastra 2024.
Apabila The Vegetarian dan Human Acts berlatar cerita di negara sang penulis, yakni Korea Selatan, novel The White Book berlatar Warsawa, Polandia, meski ide dan ruh cerita tetap berpijak pada sosial geografi negeri Korea, tanah kelahiran Han Kang.
The White Book tidak berkisah secara dramatis tentang tokoh-tokoh dengan alur peristiwa linear yang membangun realitas fiktif sebagai konkretisasi gagasan penulis. Novel ini hadir dan bergulir dari kepingan-kepingan kesan sang narator tentang kehidupan dan kematian yang disimbolkan dengan warna putih. Salah satu kata dalam bahasa Korea yang merujuk ke warna putih seperti permen kapas adalah ‘hoen’ yang juga mengandung makna kehidupan dan kematian.
Unsur-unsur putih yang bertalian makna dengan ‘hoen’ tersebut diurai oleh Han Kang menjadi fragmen-fragmen kisah yang bersimpul pada kematian seorang bayi yang lahir prematur usia delapan bulan dari rahim seorang ibu berusia 23 tahun yang menjalani proses persalinan seorang diri di tempat terpencil di tengah cuaca ekstrem. Bayi yang meninggal tragis setelah bernapas dua jam tersebut adalah kakak sang pencerita.
Han Kang dengan narasi duka yang emosional bercerita melalui kain bedung putih, air susu putih, kabut putih, kue beras putih, keping salju putih, garam putih, kubus gula putih, anjing putih, kupu-kupu putih, bangau putih, kertas putih, batu kerikil putih, cahaya putih, kota putih, serta berbagai benda dan materi putih lainnya.
Jantung kisah dalam buku ini tertuang di dalam halaman 28-29:
“Awal musim dingin ketika kristal es baru saja turun. Ibu yang berusia 23 tahun berjalan merambat ke dapur untuk merebus air dan mensterilkan gunting, seperti yang entah pernah didengarnya dari mana…. Akhirnya dia melahirkan sendirian. Dia memotong tali pusar seorang diri. Dia memakaikan baju bayi yang barusan dibuat ke tubuh kecil berlumuran darah. Kumohon, jangan mati. Dia terus bergumam sambil memeluk bayi sebesar kepalan tangan yang menangis dengan suara tipis…. Bayi itu mati sekitar satu jam kemudian.”
Gagasan bahwa sekiranya bayi prematur itu tidak mati yang diikuti kematian bayi prematur berikutnya setahun kemudian membuat narator dihimpit oleh semacam rasa bersalah. Sekiranya bayi itu selamat dan terus hidup dan tumbuh berkembang maka ia tidak perlu dilahirkan oleh sang ibu. Perasaan simpati atas kematian sang kakak-bayi tersebut cukup memilukan sekaligus mengerikan. Orang lain mungkin tidak akan memikirkan secara mendalam tentang saudaranya yang wafat pada usia bayi karena anak bayi belum mengenal rasa sakit dan setelah mati akan langsung masuk surga karena belum berdosa.
Rasa bersalah yang menekan jiwa Han Kang ini di dalam pengakuan proses kreatifnya juga pernah menjadi pemicu lahirnya novel Human Acts. Novel tersebut lahir karena Han Kang tertekan oleh rasa bersalah karena selamat dari tragedi Gwangju tahun 1980 disebabkan beberapa hari sebelum kejadian, keluarganya pindah ke Seoul. Jiwa sensitif Han Kang meyakini, sekiranya mereka tidak pindah, maka tentu akan ikut mengalami peristiwa pembunuhan massal. Han Kang merasa berutang nyawa pada korban-korban yang tewas di dalam tragedi itu.
Dengan narasi emosional menyerupai puisi, The White Book menunjukkan intensitas mencekam Han Kang dalam mencabik-cabik perasaan.
Keterangan Buku
Judul : The White Book (judul asli “Huin”)
Penulis : Han Kang
Penerjemah : Dwita Rizki
Penerbit : Penerbit BACA
Tebal : 205 halaman
Cetakan 1 : Januari 2025