BUKITTINGGI, KLIKPOSITIF – Dalam periode Agustus-Oktober 2023, pelaku kekerasan remaja meningkat tajam pada wilayah kerja Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas II Bukittinggi. Hal itu terlihat dari meningkatnya permintaan pendampingan anak yang berkonflik dengan hukum (ABH).
Kepala Bapas Kelas II Bukittinggi Elfiandi mengatakan, jika biasanya permintaan pendampingan ABH rata-rata per bulan sebanyak 8 kasus, pada periode Agustus-Oktober tahun ini meningkat menjadi 10 hingga 12 pendampingan ABH setiap bulannya.
“Adapun kasus yang menonjol adalah kasus kekerasan yang dilakukan oleh anak usia remaja awal. Jumlahnya 30 persen dari total permintaan pendampingan. Tentunya, sebagai tugas dan fungsi Bapas, pendampingan dilakukan terhadap anak yang belum berumur 18 tahun,” kata Elfiandi, Selasa (17/10/2023).
Sejak Januari hingga Oktober ini, menurut Elfiandi, kasus yang paling menonjol adalah kasus kekerasan. Baik itu pengeroyokan dan penganiyaan yang dilakukan sendiri ataupun bersama-sama yang korbannya adalah anak ataupun orang dewasa.
“Kita tetap berkomitmen untuk menghindarkan ABH dari pemidanaan dan mengutamakan pemulihan berupa keadilan restoratif yang mendapat dukungan penuh dari mitra kerja aparat penegak hukum (APH) lainnya,” jelas Elfiandi.
Menurutnya, kasus kekerasan ini disebabkan konformitas negatif tumbuh dalam diri ABH yang terlibat tindak pidana kekerasan. Banyak tindak pidana yang dilakukan oleh anak ini terjadi karena konformitas negatif yang muncul sebagai bentuk penyesuaian diri dengan norma kelompok.
“Baik dengan acuan maupun tidak ada tekanan secara langsung yang menjadi tuntutan tidak tertulis,” ungkap Elfiandi yang akan dimutasi sebagai Kepala Rutan Batusangkar dalam waktu dekat ini.
Selain kasus kekerasan, dari 90-an permintaan pendampingan ABH yang masuk dari 8 kabupaten dan kota wilayah kerja Bapas Bukittinggi, kasus pencurian menduduki posisi kedua sebagai tindak pidana yang banyak dilakukan ABH dengan 24 kasus. Kemudian, diikuti kasus narkotika, pencabulan/persetubuhan dan kecelakaan lalu lintas.
Sebagai target kinerja untuk menghindarkan ABH dari pemidanaan, Elfiandi menekankan kepada jajaran Pembimbing Kemasyarakatan akan pentingnya hal tersebut. Secara kuantitas, ia mengakui jumlah permintaan pendampingan dan penelitian kemasyarakatan untuk rekomendasi di pengadilan atau diversi.
Namun, sebagai pengemban amanat UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengamanatkan pemidanaan adalah upaya terakhir untuk sanksi bagi ABH.
“Pemidanaan untuk anak adalah ultimum remidium bagi anak. Untuk itu, sebagai salah satu elemen strategis dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), Bapas Bukittinggi terus berupaya semua pihak untuk menghindarkan dari pemidanaan,” tekad Elfiandi.(rel/*)