KLIKPOSITIF – Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto masih mengingat kata-kata ibunya yang mengiringi taburan kacang goreng di atas tikar rumah 59 tahun yang lalu. Kala itu jelang malam, wanita bernama Aminah baru pulang dari warung membawa kacang goreng sebanyak satu slop rokok dan langsung menaburkannya ke tikar yang digelar di atas lantai palupuah (lantai dari bambu).
Musra dan saudara-saudaranya langsung berebut. Ada yang dapat banyak, ada yang dapat sedikit. Bocah berusia 8 tahun itu kemudian mengadahkan telapak tangan kepada ibunda untuk meminta tambahan kacang.
“Manga ang ndak kuek bausaho!” (Kenapa kamu tidak berusaha lebih gigih!)
Ia mengaku terkejut mendengar jawaban sang ibu kala itu. Sekali lagi, Aminah menaburkan kacang di atas tikar dan kembali dikerubungi anak-anaknya. Kali ini Musra dapat banyak. Lantas Aminah berkata, “aaa kan! Kuek ang bakarajo banyak rasaki ang!” (Ya kan! Ketika kamu bekerja keras maka rezekimu akan lebih banyak).
Mak Katik, sebagaimana pria itu kini akrab disapa, dibesarkan di tengah-tengah keluarga dengan pemahaman Adat Minangkabau dan Agama Islam yang kental. Ayahnya Ridwan Katik Rangkayo Endah adalah seorang pemuka agama sekaligus orang yang memahami seni dan adat budaya Minangkabau. Ketika Mak Katik masih kecil, ayahnya sering meletakkan kertas-kertas berisi petatah-petitih adat Minangkabau di lantai rumah. Tujuannya supaya Mak Katik membaca-baca tulisan itu selagi duduk hingga akhirnya punya kesadaran untuk mempelajarinya.
Menginjak usia 10 tahun, Mak Katik sudah mulai mendalami adat-adat dan seni budaya Minangkabau. Di sela-sela membantu orangtua berjualan dan bekerja di sawah, Mak Katik berguru dengan sang Ayah, kakek dan orang lain di kampungnya di Subang Anak, Nagari Batipuh Baruah, Kecamatan Batipuh, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat.
“Waktu itu banyak sekali yang memahami adat dan budaya Minangkabau. Tidak seperti sekarang,” kata satu-satunya lelaki dari 8 bersaudara itu.
Mak Katik kemudian mewariskan pengajaran-pengajaran yang diperolehnya semasa kecil kepada keempat anak yang dikaruniai Tuhan untuk dia dan seorang wanita yang ia nikahi pada tahun 1967, seorang gadis Batipuh bernama Sri Indrawati. Sebagaimana orangtuanya dulu membesarkan ia menjadi seorang pekerja keras dan mandiri, ia juga melakukan hal sama kepada semua anak-anaknya.
Kata Mak Katik, ada satu hal yang menjadi pantangan di dalam rumahnya. Di dalam bahasa Minangkabau disebut dengan “Baunjuik jawek”, artinya bersambut tangan atau langsung memberikan sesuatu, misalnya uang, ke tangan orang yang dituju. Mak Katik mengaku tak pernah memberikan uang langsung ke tangan anak-anaknya ketika mereka sudah mulai pandai meminta uang, sekitar usia 3 tahun. Ia mencontohkan, jika anak berada di ruang tamu, maka ia akan meletakkan uang di dalam kamar. Ia meletakkan uang berada jauh dari jangkauan mereka.
“Mereka harus berjalan 8 langkah, 11 langkah untuk mendapatkan rezekinya,” ujar dosen tamu di Universitas Andalas itu.
Menurut Mak Katik, anak-anak harus diajari bekerja keras sejak kecil agar mereka tumbuh menjadi orang-orang yang pantang berputus asa.
“Bajariah dulu mangko makan!”
Ia menyebutkan pepatah Minangkabau yang dalam Bahasa Indonesia berarti “berusaha dahulu agar bisa makan”.
Selain itu, pengajaran lain yang berlaku di dalam rumah Mak Katik adalah “Maminta indak sabanyak kandak.” Mak Katik menerapkah pepatah Minangkabau ini dengan tidak memberikan apa yang diminta anak-anaknya sebanyak yang mereka inginkan. Ia mengumpamakan, jika anak meminta 10, ia memberi 7. Pada kesempatan lain jika anak minta 10 maka ia memberi 20. Dengan kata lain, anak-anak tak selalu mendapatkan semua yang mereka inginkan. Kadang kurang, kadang lebih. Dengan ini, Kata Mak Katik, anak-anak akan tumbuh menjadi orang yang bisa berfikir dan memahami bahwa adakalanya orangtua mereka berada di kondisi sulit dan adakalanya berada di kondisi lapang. Mereka tidak menjadi anak-anak yang hanya tahu mengadah tangan dan minta uang.
“Ketika anak minta 10 dikasih 7; minta 10 kasih 20, nalar anak jalan,” kata Mak Katik.
Pengajaran lainnya yang diterapkan Mak Katik kepada anak-anaknya adalah melakukan salah satu dari dua pilihan ketika jajan di warung. Pilihan pertama, menghabiskan makanan dengan duduk di warung atau pilihan kedua membungkus makanan dan menghabiskannya sambil duduk di rumah. Tidak ada kebiasaan mengonsumsi makanan sambil jalan. Menurut Mak Katik, orangtua sering mengabaikan hal ini. Tak jarang juga orangtua yang tengah duduk-duduk di warung, misalnya, melihat anaknya tengah melintas lalu memanggil mereka dan menawarkan makanan. Lantas setelah mengambil makanan, anak-anak dibiarkan saja makan sambil jalan.
Bagi Mak Katik, ada dua hal yang diajarkan dari kebiasaan ini. Pertama mengajarkan anak tidak beradab dan kedua mengajarkan anak-anak menerima apa yang tidak mereka butuhkan.
Kata Mak Katik, orangtua jangan terbiasa memberi segala sesuatu kepada anak tanpa diminta oleh mereka. Hal ini akan membuat mereka menjadi anak-anak yang pasif. Sebaliknya, orangtua harus pandai memancing anak-anak untuk menumbuhkan inisiatif dan perasaan membutuhkan terhadap sesuatu, sebagaimana yang dilakukan orangtua Mak Katik dengan menebarkan buku-buku berisi petatah petitih Minangkabau di lantai rumahnya dulu. Kebiasaan inilah yang kemudian memunculkan rasa ingin tahu pada diri Mak Katik hingga ia memutuskan untuk mendalami petatah-petitih itu seiring bertambahnya usia, karena ia merasa butuh belajar adat Minangkabau.
Dengan segala pembelajaran yang telah ia dapatkan, Mak Katik menilai sebuah keluarga dikatakan berhasil mendidik anak ketika mampu mengamalkan ajaran Minangkabau. Di Minangkabau dikenal istilah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” yang artinya nilai dan ajaran di Minangkabau bersumber dari ajaran Agama Islam.
Penjabaran nilai-nilai Islam menjadi ajaran Minangkabau juga tergambar dalam falsafah Minangkabau “Alam Takambang Jadi Guru”. Alam dengan segala bentuk, sifat, serta segala yang terjadi di dalamnya merupakan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai pedoman, ajaran dan guru. Dalam Islam, alam yang sangat luas dengan segala isinya ini adalah ciptaan Allah SWT dan menjadi ayat-ayat sebagai tanda kebesaran-Nya. Maka di Minangkabau, segala petatah-petitih yang ada didasarkan pada kehidupan di alam semesta. Petatah-petitih ini kemudian dijadikan sebagai aturan, hukum, dan ketentuan adat untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Inilah yang dinamakan ajaran Minangkabau.
“Sehingga wajar seorang profesor di Universitas Hawaii pernah mengatakan bahwa sistem pendidikan Minangkabau adalah yang terbaik di dunia,” kata Mak Katik yang pernah jadi dosen tamu di University of Hawaii At Manoa Amerika Serikat selama 2000-2001.
Kecintaan dan kebanggaannya pada adat Minangkabau telah membawa Mak Katik menapaki Sumatera Barat hingga pelosok, daerah-daerah Sumatera, juga Jawa dan daerah lain di Indonesia. Ia berbagi pengetahuan soal seni, adat dan tradisi Minangkabau termasuk peran keluarga dalam mendidik anak berdasaran ajaran Minangkabau. Ia juga pernah berdiri di depan kerumuman pendengar internasional di benua Asia, Amerika dan Eropa, bicara tentang seni dan budaya Minangkabau.
Kini Mak Katik sudah berumur 67 tahun. Bocah tak tamat Sekolah Rakyat yang suka berebut kacang goreng dengan saudara-saudaranya dulu itu, kini sedang menikmati rentetan kesuksesannya sebagai orangtua. Kata Mak Katik, ia tak punya defenisi kapan orangtua dikatakan sukses mendidik anak. Baginya, kesuksesan tiap orang berbeda-beda dan tak pernah berhenti.
“Ketika anak lulus SD, kita merasa sukses. Lulus S1 kita merasa sukses. Anak sudah bekerja kita merasa sukses. Anak lulus S2 kita merasa sukses,” katanya.
Anak pertama Mak Katik, Sil Ebri Pifiane merupakan lulusan Universitas Andalas dan pernah bekerja di Kedutaan Besar RI di Malaysia. Ia dipinang oleh pria asal Inggris dan kini menetap di negara itu. Anak keduanya Sil Vikadewi juga lulusan Unand. Anak ketiga Salmond Pilima lulusan Unand yang kini tengah bekerja di PT Semen Padang. Sementara si bungsu Sri Meutia Elvalina telah menamatkan S2 di Universitas Negeri Padang.
[Elvia Mawarni]