Oleh: Syuhendri
Sekuel demi sekuel dalam adegan sang hawa karya Koreografer Eri Mefri, membawa kembali ingatan saya pada lintasan peristiwa seni di tahun tahun 80-90 an. Oedipus dikolonus naskah Yunani, pertunjukan dari salah satu grup teater kota Padang pada saat itu.
Naskah Oedipus Dikolonus menceritakan tragaedi kemanusiaan di zaman Yunani, tragedi percintaan antara ibu dan anak, sehingga kota itu oleh peramal Theresias, telah dikutuk oleh dewa dengan mengirim penyakit cacar yang tak tersembuhkan.
Ingatan ini muncul begitu saja saat menonton adegan sang hawa yang begitu intim ditarikan oleh Angga Jamar yang berperan sebagai ibu dengan Rio Mefri yang berperan sebagai Anak.
fenomena psikologis yang menggambarkan kondisi ketika anak laki-laki tertarik secara emosional atau seksual kepada ibunya, juga telah diperkenalkan oleh Sigmund Freud dalam teorinya tentang perkembangan psikoseksual.ย Fenomena psikologis menurut freud ini, bila diteliti lebih dalam tentu dapat saja terjadi dalam budaya mana saja, termasuk Minangkabau.
Namun bila kita cermati teks teks yang meluncur dari penari, didendangkan dalam irama keluh, tidak mencerminkan hubungan yang demikian seperti yang dibaca dalam teks Oedipus karya Shopokles maupun seperti teori yang disampaikan oleh Sigmund freud. ย Bujang marantau bukan tak bakarano, Pilihan Kato Nan salah pakai, Warih Nan tajawek di adat Nan tapakai, Jalan ko dialiah urang lalu. Cupak kok dipapek urang manggaleh. Disinan bana mufakaik basangketo. Diksi โdiksi tradisional ini tak lebih dari kecemasan sang hawa, atau ungkapan pengharapan terhadap sesuatu yang ideal dari seorang ibu sebagai pengawalan dalam proses pendewasaan terhadap anak lelakinya.
Lalu seperti apakah hubungan psikologis yang terjalin antara ibu dan anak dalam budaya Minangkabau. Budaya yang telah terikat dalam satu adagium adat dan syara’, pertanyaan semacam ini tentu mengundang banyak jawaban. Ibu dalam tradisi Minangkabau ditahbiskan menjadi perempuan kuat, sebagai penjaga warisan semut terpijak tidak mati, tertarung alu patah tiga.
Warisan utama yang menjadi penjagaan bagi para ibu bukanlah materi semata, namun dibalik itu mewariskan tradisi dalam bentuk pengajaran sebagai ibu atau Bundo sebagai sumber adab dari pusaka.
Pusaka yang bertumpu pada kata atau ucapan dan tergambar dalam perilaku atau perangai. Bahwa para perempuan atau ibu lebih mencemaskan anak lelaki dari pada anak perempuan, itu adalah fakta.
Kecemasan ini dipicu oleh marwah kaum, ibu tidak akan mencemaskan apakah anak lelaki mereka terbuang atau terjebak dalam penderitaan yang panjang, dan segala macamnya. Tapi ibu lebih mencemaskan harga diri anaknya, bila terlindas di kampung atau rantau orang. Marwah ibu akan terusik, saat anak lelaki yang dilepas berumah tangga, menikah dengan orang diluar kaumnya bila tak berharga.
Apalagi bila anak lelakinya itu tak mampu bertanggung jawab baik dalam hal ekonomi ataupun adab dalam berumah tangga. Mempertahankan adab supaya tak tercela diluar kaumnya itulah kecemasan utama para ibu pada putranya.
Sisi lain terhadap anak perempuan akan diayomi oleh para suami yang datang sebagai semenda, ada orang yang akan membimbing selama perjalanan rumah tangga mereka.
Perantauan adalah proses pematangan, jangan kembali bila belum berpengetahuan, begitu adagium adat menyatakan. Pergeseran rantau dari dunia pengetahuan lalu menjebakkan diri semata dalam rantau perekonomian, agaknya inilah pemicu berbagai persoalan.
Kecemasan para ibu akan berlabuh pada marwah anak lelakinya yang tidak matang. Saat pulang bukan kekayaan yang jadi pertanyaan, adakah anak bujang Amak sehat saja, dan berapa cucu amak hanya itu. Tak ada pertanyaan tambahan, rumah sudah berapa, mobil mereknya apa atau sekarang sudah berpangkat apa.
Pada dasarnya ibu dengan anak lelaki disatukan oleh rasa dan periksa, kasih sayang ibu tak lepas untuk menjaga marwah anak lelakinya, agar tak terinjak ditengah gelanggang dunia. Menyadarkan juga bahwa para lelaki adalah abu diatas tunggul di kaum istrinya, apalagi bila harga dirinya juga sudah tak ada, hanya itu.
Bila bicara soal relasi ibu dan anak lelakinya dalam kultur Minangkabau tak lepas dari soal pengetahuan, adab dan budaya. Sentuhan pada pundak atau usapanan rambut dikepala sebagai pengganti kasih sayangnya.Takkan sanggup seorang anak lelaki bila sampai mendongakkan kepala bertatap mata dalam waktu lama pada ibunya.
Karya sang Hawa yang dipentaskan dilantai IV gedung dinas kebudayaan pada sabtu 12 Desember 2024, pada dasarnya menggunakan idiom tradisional, silek, randai, dendang, pepatah petitih dan sebagainya. Namun semua idiom itu seperti tidak melekat pada dua penari mauapun adegan yang dibangun dalam karya sang hawa. Dua penari yang bergejolak gelisah, berdendang resah, tak lepas dari keresahan psikologi lelaki dan perempuan semata. Kurang tergambar sosok ibu dan anak seperti yang dimaksud oleh koreografer, keresahan ibu Minangkabau dalam budaya Matrilinial yang dimaksud.
Gerak gerak yang cenderung akrobatik membutuhkan daya tahan penari, cenderung menggambarkan persoalan problematika emosional antara pria dan wanita semata. Agaknya dengan memberi judul hawa Eri Mefri masuk kepada wilayah dan perspektif yang lebih luas tentang perempuan.
Minangkabau telah memberikan identitas kepada ibu sebagai Bundo kanduang yang tetap bersandar pada kemandirian, seperti Kunti pada Karna atau seperti Yuhayid pada Musa.