KLIKPOSITIF – Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan mata uang utama dunia bukanlah sekadar fenomena ekonomi biasa. Di balik fluktuasi angka, tersembunyi dinamika global yang kompleks serta sinyal-sinyal kegelisahan struktural dalam perekonomian nasional.
Menurut Dr. Endrizal Ridwan, pakar ekonomi dari Universitas Andalas, nilai tukar dewasa ini telah bertransformasi menjadi lebih dari sekadar alat tukar. “Mata uang seperti rupiah kini berfungsi sebagai aset. Bisnis rupiah adalah bisnis trust, karena secara intrinsik, rupiah tidak memiliki nilai—semuanya bergantung pada kepercayaan,” tegasnya.
Rupiah dalam Arus Ketidakpastian Global
Ketidakpastian global yang bersumber dari konflik geopolitik, perang tarif, dan pelarian modal internasional, turut mengguncang stabilitas mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia. Namun menurut Dr. Endrizal, bukan hanya faktor eksternal yang berperan. “Situasi fiskal dalam negeri—belanja besar tanpa diiringi penerimaan pajak yang memadai, serta sinyal politik ekonomi yang ambigu—memperparah sentimen negatif terhadap rupiah,” ungkapnya.
Fenomena capital outflow dalam beberapa bulan terakhir memperlihatkan kecenderungan investor melepas aset rupiah dan beralih ke instrumen lindung nilai seperti emas atau dolar AS. Tak hanya pelaku global, kelas menengah Indonesia pun ikut membeli emas demi menjaga nilai kekayaan mereka.
Pentingnya Konsistensi Fiskal-Moneter
Dalam menghadapi tekanan ini, Dr. Endrizal menekankan pentingnya stabilitas kebijakan. “Pemerintah harus berhenti mengirim sinyal-sinyal ambigu ke publik. Komunikasi kebijakan harus konsisten dan kredibel agar kepercayaan tetap terjaga,” ujarnya.
Untuk jangka panjang, beliau menekankan pentingnya disiplin fiskal: pemerintahan yang ramping, pengurangan ketergantungan pada utang, dan optimalisasi belanja masyarakat sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi. “Dengan demikian, ruang fiskal kita akan lebih berdaulat dan tahan terhadap guncangan eksternal,” tambahnya.
Proteksionisme Global dan Ancaman terhadap UMKM
Di tengah arus proteksionisme yang dipicu kebijakan tarif dari pemerintahan Trump, Indonesia perlu waspada. Amerika Serikat merupakan pasar ekspor terbesar kedua setelah Tiongkok. Produk seperti pakaian dan alas kaki—yang banyak diproduksi UMKM—berpotensi terdampak langsung.
Namun, alih-alih terpuruk, Indonesia justru bisa mengambil peluang dari pergeseran strategi dagang AS yang kini mengarah ke hubungan bilateral. “Inilah saatnya Indonesia merevitalisasi kerja sama Asia-Afrika yang dulu pernah digagas di era Presiden Sukarno,” kata Dr. Endrizal. Ia juga menekankan pentingnya memperkuat integrasi pasar ASEAN dan melakukan diversifikasi ekspor agar tidak terlalu bergantung pada satu negara tujuan.
Peran Bank Indonesia: Fokus pada Stabilitas Harga
Terkait peran Bank Indonesia, Dr. Endrizal mengusulkan pendekatan yang lebih jernih. Menurutnya, karena Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang, intervensi terhadap kurs sebaiknya dibatasi. “Biarkan pasar menyesuaikan nilai tukar. Fokus BI sebaiknya pada kestabilan harga dalam negeri,” tuturnya.
Ia menilai intervensi terhadap kurs sering kali lebih bernuansa politis ketimbang ekonomis, terutama untuk menjaga rasio utang luar negeri. “Lebih baik cadangan devisa digunakan langsung untuk membayar utang, bukan untuk menopang kurs secara artifisial,” tandasnya.
Reformasi Struktural dan Daya Saing Bangsa
Dalam menghadapi era global yang kian kompetitif, Dr. Endrizal menekankan bahwa daya saing nasional harus berakar pada produktivitas tenaga kerja dan inovasi. Hal ini hanya dapat terwujud melalui pembukaan kompetisi di berbagai sektor, termasuk pendidikan dan kesehatan, yang selama ini dikuasai oleh negara.
“Pemerintah sebaiknya mundur dari kegiatan ekonomi yang bisa dijalankan oleh masyarakat. Fokus saja pada peran-peran inti seperti penegakan hukum dan menciptakan arena yang adil bagi semua pelaku ekonomi,” jelasnya.
Menurut beliau, semakin kecil peran negara dalam membelanjakan pendapatan nasional, semakin besar peluang masyarakat untuk menggerakkan ekonomi secara mandiri dan efisien.
Menuju Ekonomi yang Berdaulat
Di tengah badai ketidakpastian global dan disorientasi arah kebijakan, suara kritis seperti yang disampaikan Dr. Endrizal Ridwan menjadi sangat penting. Rupiah bukan hanya alat tukar, tapi cermin kepercayaan publik dan internasional terhadap arah bangsa ini.
Jika pemerintah dan otoritas moneter dapat membangun tata kelola yang konsisten, transparan, dan berbasis produktivitas, maka Indonesia tidak hanya akan bertahan—tapi justru tumbuh lebih kuat di tengah dunia yang sedang mencari arah.