Media Online dan Krisis Kepercayaan

Oleh Laila Marni: Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Andalas

KLIKPOSITIF — Dewasa ini perkembangan teknologi semakin memudahkan semua kalangan mengakses apapun yang diinginkan. Baik itu berita, informasi tentang pendidikan, pariwisata, juga hiburan. Perkembangan teknologi tersebut tidak melulu berdampak positif, ada dampak negatifnya juga seperti ditemukan konten negatif, hoaks, penipuan, ujaran kebencian, radikalisme dan lain sebagainya.

Selain membuncahnya konten negatif di ranah digital media sosial juga memiliki andil yang cukup besar untuk menyumbang konten negatif tersebut. Media online juga tidak ketinggalan, dikutip dari Kominfo.go.id ternyata Indonesia memiliki 43 ribu porrtal media online. Namun yang terverifikasi dewan pers belum mencapai angka tiga ribu.

Bisnis media online di zaman sekarang memang menggiurkan. Menggunakan analisis SWOT kita mengetahui bahwa tujuan orang memiliki media online beragam, salah satunya menghasilkan pundi-pundi rupiah. Berdasarkan Kekuatannya media online dapat menjangkau semua orang yang mengakses internet, sistem dilakukan secara online, tak ada batasan konten yang disajikan, pendapatan bisa double baik dari iklan google dan iklan individu. Media online memperoleh pemasukan dari pengikalna visual, kemitraan kilen, dari pembaca, dan dari google adsense. Yang patut digarisbawahi adalah berita merupakan kebutuhan di masa modren keberadaannya akan selalu dibutuhkan maka penting media memiliki inovasi, indenpedensi, kredibilitas dan kreatifitas.

Tak hanya itu media juga dapat menunjang bisnis yang dirintis oleh pemilik media itu sendiri, tak ayal banyak politisi juga yang melihat peluang ini. Apalagi media online jangkauannya lebih luas, selagi seseorang memiliki sinyal internet mereka akan dapat mengetahui informasi terbaru dari media online tersebut. Portal Berita online memiliki peluang yang besar dan bisa memperoleh keuntungan yang tinggi. Hal itu dikarenakan semua aspek baik ekonomi, pendidikan pariwisata membutuhkan media online untuk pengembangannya ke depan.
Kita bisa melihat dari segi pendidikan misalnya, belajar tatap muka bukan yang krusial lagi orang bisa sekolah atau kuliah via internet zoom, gogglemeet dan bahkan banyak web yang menyediakan bimbingan belajar seperti ruangguru. Kesempatan yang besar tersebut hendaknya dimanfaatkan sebaik mungkin. Kelemahan yang dimiliki media online tak banyak, biasanya kurang akurat dan komplit namun saat ini ada media online yang bisa menutupi kekurangan tersebut. Kemudian terjadinya praktik daur ulang konten, banyak ditemukan konten serupa di media online yang berbeda.

Hambatannya pada kepribadian manusia yang tidak mau berubah mengikuti perkembangan zaman. Kemudian media online sering lupa dengan elemen jurnalisme yang disampaikan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2004) dalam buku The Elements Of Journalism salah satunya kewajiban utama jurnalisme adalah pada kebenaran dan esensi jurnalisme adalah disiplin dan verifikasi. Media online nampak lebih mengutamakan kecepatan dari hal tersebut.

Kita tarik ke belakang, sebelum media online berkembang seperti sekarang Televisi adalah media yang paling diminati. Bahkan kebanyakan pemilik dari stasiun TV swasta di Indonesia dimiliki oleh para politisi. Kita mulai dengan TV One dan ANTV dimiliki oleh politisi Partai Golkar Aburizal Bakrie, MetroTV dimiliki oleh Politisi dari Partai Nasdem, Surya Paloh, MNC Grup juga dimiliki oleh politisi Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo. Itu baru tiga contoh media televisi belum lagi media lain, seberapa banyak media online yang juga menjadi milik politisi.

Sebenarnya, tak ada salahnya jika politisi memiliki media, asalkan media tersebut bisa dan mampu menerapkan kode etik jurnalistik dan patuh pada undang-undang pers. Media tersebut juga hendaknya bisa berimbang dan paham bahwa insan pers yang ada di media yang dimiliki profesional artinya menguasai bagaimana cara menulis, wawancara, investigasi, memiliki keterampilan jurnalistik dan sudah diuji kompetensinya.

Hal yang mesti menjadi perhatian pemilik media adalah tren turunnya kepercayaan atau krisis kepercayaan terhadap pers karena disebabkan adanya konglomerasi media dan adanya prefensi politik tertentu. Kita bahkan menyaksikan langsung berbagai kolom komentar media sosial yang mempertanyakan kredibilitas media. Banyak asumsi yang disebutkan mulai dari media sekadar mencari sensasi, ada agenda politik yang ingin menjatuhkan salah satu pihak, hingga media dinilai mustahil independen.

Belum lagi perihal persaingan antarmedia yang tidak lagi mengutamakan kualitas pemberitaan atau investigasi, namun lebih seberapa banyak media tersebut menghasilkan klik dan rating. Kita dapat saksikan seberapa banyak berita yang memiliki judul bombastis namun isinya tidak sesuai. Penulisan judul yang sedemikian hanya untuk menarik minat pembaca mengklik link tersebut dan akhirnya kepercayaan publik kepada media makin menurun.

Kemudian yang paling parah, ditemukannya insan pers yang ada di balik media online bukan orang yang kompeten. Jika dulunya profesi jurnalis adalah suatu yang menantang dan tak semua orang bisa melakukannya disebabkan dituntut kemampuan investigassi dan mendalam, saat ini semua orang dapat menjadi jurnalis karna dinilai hanya sekadar menyalin ulang pernyataan pejabat dan isu yang hangat yang sedang dibicarakan.

Agar media kembali memperoleh kepercayaan publik ada beberapa langkah yang mesti dilakukan.

1. SDM di Media Harus Berkualitas

Sumber Daya Manusia (SDM) baik reporter, editor, redaktur hingga pemimpin redaksi harus berkualitas dan kompeten. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya kartu kompetensi dari dewan pers, latar pendidikan yang mumpuni.

2. Pekerja Media harus Sejahtera

Kebanyakan media menjadi tidak profesional karena kurangnya pemasukan media. Akhirnya pekerja media melakukan hal yang dilarang demi memenuhi kebutuhannya. Maka dari itu pemilik media harus memperhatikan kesejahteraan insan pers yang bekerja.

3. Produk Jurnalistik Digarap Secara Profesional

Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers Yadi Hendriana mengatakan bahwa produk jurnalistik memiliki identitas tersendiri ada perlindungan dari undang-undang pers. Jadi produk jurnalistik adalah produk yang digarap secara profesional. Yang dilindungi undang-undang pers adalah jurnalis profesional dan media yang profesional. Jurnalis harus patuh pada Kode Etik Jurnalistik.

4. Kesadaran Penuh Terhadap Tugas Jurnalistik

Pemilik media menanamkan pada jurnalisnya untuk memiliki tanggungjawab dan kesadaran penuh terhadap tugas jurnalistiknya, tidak hanya untuk mengumpulkan fakta dan data saja, namun melaksanakan kode etik jurnalistik, memahami undang-undang pers, dan paham penggunaan bahasa jurnalistik, serta memiliki keterampilan komunikasi demi menghasilkan karya yang baik.

5. Memiliki ciri khas

Nyatanya pembaca suka hal yang unik dan berbeda, untuk itu pemilik media harus memiliki ciri yang khas seperti Mojok diminati karena suguhan berita yang jenaka, Tirto yang didirikan oleh Atmaji Sapto Anggoro menyajikan berita secara online namun tidak sama dengan media online lainnya yang berpacu pada kecepatan. Tirto.id memanfaatkan data berwujud foto, kutipan, rekaman peristiwa, serta data statistik yang ditampilkan lewat infografik. Menurut Sapto tulisan yang bagus itu mampu mempengaruhi orang berpikir dengan menempatkan pembaca bukan sekadar objek tapi sebagai subjek membaca dengan otak, fikiran dan kecerdasannya, jadi yang disampaikan tidak hanya kata-kata tapi juga data pendukung.

Selain hal di atas pemerintah hendaknya melakukan pengawasan yang ketat agar meminimalisir konten negatif, hoaks, penipuan, ujaran kebencian, radikalisme, dan hal negatif lainnya. Harus ada standar tertentu yang dipenuhi agar individu yang hanya menarik keuntungan untuk diri sendiri dan merugikan orang lain kian berkurang.

Exit mobile version