Makan Malam untuk Memperdaya Malaikat Maut

Oleh: Ragdi F. Daye

Klikpositif Iklan Hayati

Manusia berutang budi pada semua kepahitan dalam hidupnya, pada masa lalu, juga pada kenangan-kenangan yang hendak dilupakan, karena kebahagiaan tidak punya kekuatan yang lebih besar daripada kepahitan untuk mengubah hidup seseorang, juga nasibnya.” (hal. 139)

 

Judul buku : Rencana Besar untuk Mati dengan Tenang

Penulis : Wisnu Suryaning Adji

Penerbit : Bentang

Cetakan 1 : 2022

Tebal : 266 halaman

 

Blurb: Dia laki-laki Tionghoa yang tinggal bersama anak-anaknya melewati tahun 1965. Berbagai kejadian menguji kekuatan hidupnya. Dia bertahan. Dia hidup melewati zaman. Dia menua, hingga merasa telah hidup terlalu lama. Kini, dia cuma menginginkan satu hal: Mati. Ternyata, mati juga sama sulitnya.

Ncek, seorang lelaki Tionghoa tua berumur 76 tahun ketika memutuskan harus mati. Dia ingin menyusul istrinya yang telah lebih dulu wafat 16 tahun lalu. Tak ada lagi keraguan. Dia telah gagal berulang kali. Terutama gagal melindungi istrinya dan kali ini dia telah menemukan cara untuk melaksanakan niatnya, yakni mengundang malaikat maut ke sebuah jamuan makan malam supaya mencabut nyawanya.

Rencana Ncek tak kalah besar dengan rencana anak-anaknya yang berjumlah lima orang, sebut saja A, B, C, D, dan E—perempuan, laki-laki, laki-laki, perempuan, dan laki-laki. Mereka ingin menjual tanah dan rumah besar milik Ncek yang berkamar tidur 12 buah—1 kamar ditempati Ncek, 5 kamar anak dan menantu, 5 kamar para cucu, dan 1 kamar kosong. Hasil penjualan rencananya akan mereka bagi-bagi agar bisa keluar dari kemiskinan. Namun, Ncek tidak sudi. Sebelum meninggal, istrinya meminta Ncek berjanji untuk menjaga kelima anak mereka dengan sepenuh hidupnya. Dia menepati janji tersebut dengan menghidupi mereka di rumah besarnya hingga beranak-pinak. Sebuah toko plastik terpal menjadi sumber penghidupan yang tetap dikelola Ncek sambil menderita penyakit darah tinggi akut karena para anak tidak becus mengurus.

Bukan tanpa alasan Ncek ingin menyudahi hidupnya dengan rencana yang disusun sematang mungkin. Dia sudah mengalami penderitaan sejak kecil; dibuang orang tua sewaktu masih bayi, mengalami perundungan ketika tinggal di panti asuhan, menggelandang di pasar sebagai kuli panggul, diintimidasi karena dituduh komunis, menyaksikan anggota keluarganya dilecehkan di depan mata pada tragedi 1965, disiksa tentara, dan dijarah dalam kerusuhan 1998. Kehidupannya sudah luluh lantak. Menjadi masuk akal perilakunya yang cenderung defensif dan suka berkata kasar menyebut anak-cucunya sebagai manusia-manusia bodoh tak berguna. Berlapis-lapis peristiwa traumatik telah mengoyak-ngoyak jiwanya: “Ada dua kemungkinan mengapa kau bisa begitu mengingat masa kecil yang seharusnya terlupakan. Pertama, kau begitu bahagia. Kedua, kau begitu menderita. Aku yang kedua,” (hal. 162).

Wisnu Suryaning Adji sangat berhasil menghidupkan dua karakter ini: lelaki kuli panggul (yang kelak dipanggil Ncek oleh orang-orang di sekitarnya) dan sang gadis anak toke beras penggemar gula-gula asam (yang kelak menjadi istri Ncek dan meninggalkan kesan mendalam setelah kematiannya). Meski tidak diberi nama, termasuk tokoh-tokoh lain, namun mereka terasa hidup, nyata, dan memantik empati. Ncek yang terkesan sinis dan sarkas terhadap anak-anaknya, sesungguhnya memiliki hati yang lembut, tampak dari kepeduliannya kepada ibu berkerudung penjual nasi ampera yang di beberapa peristiwa seolah memiliki jejaring nasib dengannya, juga panti asuhan yang meski meninggalkan luka psikis mendalam namun tak bisa dimungkiri pernah menampung hidupnya selama sepuluh tahun. Karakter istri Ncek secara konsisten digambarkan sebagai perempuan yang tangguh, ulet, dan berhati baik, meski kekeraskepalaan jiwa muda membuatnya melawan orang tua. Ketangguhan perempuan itu terwujud dalam kerelaannya berpura-pura pulih dari luka demi mendukung sang suami yang juga trauma sehingga nyaris bunuh diri.

Meski kepingan-kepingan peristiwa di dalam novel ini disusun secara acak yang menuntut konsentrasi penuh agar memahami konstruksi realitasnya, novel ini tetap menarik dinikmati. Khususnya untuk menelusuri dinamika sejarah sosial etnis Cina di Indonesia dalam perspektif sastra. Ketegangan dan konflik mewarnai dinamika ini. Pilihan yang cerdik juga ketika Wisnu tidak memberi nama tokoh-tokohnya sehingga apa yang mereka alami menjadi pengalaman relevan dengan orang-orang yang terkait dengan peristiwa sejarah tersebut. Pengalaman individual yang sekaligus representasi general.

“Usiaku baru kira-kira 10 tahun waktu tiba di pasar lain, bukan pasar induk tempatku berdagang saat ini. Itu hanya perkiraan saja karena di panti asuhan, tanggal lahir adalah tanggal seorang bayi ditemukan atau sesuka-suka orang tua asuh saja. Saat itu, kusadari bahwa orang-orang sepertiku banyak bertebaran di pasar—jadi pedagang kelontong, minyak, beras, plastik, atau apa pun yang bisa dijual. Sayangnya, tiada satu pun yang jadi kuli panggul sepertiku. Mungkin, aku anak haram yang dibuang ke comberan,” (hal. 109).

Deskripsi ini memberi gambaran kecenderungan aktivitas ekonomi orang Cina sebagai pedagang dan mengusai pasar. Orang Cina jadi identik sebagai pengusaha atau orang kaya sehingga sosok ‘aku’ yang bekerja sebagai kuli panggul menjadi semacam anomali sampai secara bertahap dia merintis bisnis plastik terpal yang membuatnya setara dengan mayoritas orang Cina lainnya, meskipun sebagai pribadi dia merupakan manusia tersendiri dengan keunikan perjalanan hidupnya. Deskripsi ini juga memberi pandangan bahwa sebagaimana orang dari etnis lain, orang Cina juga membutuhkan perjuangan untuk sampai pada kemapanan; bekerja disiplin, jeli memilih strategi, dan irit.

Potret sosial masyarakat Tionghoa tersebut dijalin Wisnu Suryaning Adji dengan konflik berdarah yang meninggalkan trauma berlarat-larat. Tokoh Ncek mengalami gangguan kesehatan mental yang parah. Dari narasi dalam bab demi bab novel ini kita digiring pada perilaku ganjil Ncek yang mempersiapkan makan malam kematian secara apik, seperti memesan bakmi dan hidangan lainnya dari chef hotel berbintang dengan tingkah begitu cerewet, memesan dekorasi megah untuk menghias kamar kosong, dan mengirim surat undangan untuk anak dan menantunya yang tinggal di rumah yang sama menggunakan jasa kantor pos, meski acara makan malam itu hanya dihadiri sebelas orang: Ncek ditambah sepuluh anak dan menantunya; Sekali lagi hanya sebelas orang—angka ini semacam kode yang kita temui di halaman 94 dan 259-266 untuk memahami plot twist dari pengarang.

Sampul buku ini sangat menawan yang dilukis oleh Sukutangan menggambarkan sesosok laki-laki sedang membelakang dibingkai tanaman bakau berbunga dengan warna jingga keemasan. Hutan bakau adalah bagian penting dari kisah Ncek dan istrinya. Abu jenazah kedua mertua Ncek dilarungkan di hutan bakau sepi yang menjadi semacam oase bagi keluarganya kecil mereka. Abu jenazah istri Ncek yang disimpan di dalam tabung logam yang dipandang dan dibelai lelaki tua itu setiap usai terbangun pukul 04.00 pagi semestinya juga akan dilarungkan di sana—bersama abu Ncek. Namun, semua itu tergantung keberhasilan rencana makan malam kematian yang juga telah dilengkapi Ncek dengan surat wasiat pada pengacaranya terkait pembagian warisan dan dua buah eulogi—ucapan atau tulisan pujian penghormatan untuk orang yang telah meninggal dunia.

“Mati dengan tenang adalah kemewahan,” kata Ncek (hal. 77), dan itu sesulit menjalani kehidupan. “Aku sudah terbiasa di neraka. Kami memang sudah berada dalam neraka,” rutuk Ncek lagi (hal. 254). Itulah yang menyebabkannya ingin segera mati; Mati setelah malaikat maut memenuhi undangan makan malamnya di kamar kosong, atau di pantai berhutan bakau ditemani tabung logam berisi abu jenazah istrinya. Mati dengan tenang agar segala kepedihan hidup berakhir atau bersulih bentuk jadi batang dan ranting-ranting bakau yang dijilati ombak untuk mencegah abrasi—kehancuran lain yang niscaya. []

Exit mobile version