Ketangguhan Cinta Seorang Ibu

Oleh: Ragdi F. Daye

Iklan -Klikpositif Program Februari Hayati

Ia benci semua orang. 

Ia ditinggalkan, ditelantarkan, 

dan diabaikan.

Ia ingin pergi.

Ke mana saja asal bukan di sini

Mula-mula Roman—salah seorang tokoh dalam novel Kemelut Rondasih dan Dua Anaknya ini—bercerita kepada kedua anaknya. Dari satu malam ke malam lain, ketika mereka menagihnya dengan kisah-kisah macam Malin Kundang dan Timun Mas, Roman mengalihkan cerita itu kepada kisah ini: tentang seorang perempuan, tentang seorang ibu. Sebagai seorang anak, tiap-tiap kita patut menganggap ibu kita sebagai bumi dan langit—tempat hidup, tempat pulang, tempat kita belajar dan merasakan kebahagiaan dan kesedihan sekaligus.

Mula-mula Roman mengajarkan mereka untuk mendengarkan. Sebab dunia ini terlampau gaduh bila semua orang gemar bicara, dan semakin sedikit yang mendengarkan. Lubang telinga memang kalah besar dibandingkan liang mulut, tapi akan lebih baik bila mereka mengandalkan telinga untuk perlahan-lahan belajar dewasa. Dari satu kisah ke kisah lain, dia ingin mereka paham tentang hidup, tetang bagaimana hidup sering menggiring manusia kepada hal yang itu-itu saja. Itulah takdir. Ia melingkar mengikat.

Bagaimana bisa Roman yang seorang ayah, seorang laki-laki, begitu betah mendongengi anak-anaknya dari malam ke malam? Tidak hanya itu, yang diceritakannya pun adalah kisah seorang perempuan dusun berbadan gemuk-pendek dengan tahi lalat di sudut bibir yang akan bergerak saat ia tersenyum. Sebabnya tak lain karena perempuan itu adalah Rondasih, ibu dari Roman dan saudara kembarnya, Rojaman. Jantung dari dongeng Roman. Ruh dari cerita ini.

Minanto berhasil membuat kening berkerut membaca prosa semesta desa ini. Bukan karena ceritanya membingungkan atau tak masuk akal, tapi karena silang sengkarut begitu banyak tokoh dengan nama-nama yang unik (maksudnya susah diingat) seperti Rondasih, Roman, Rojaman (tiga Ro), Doharoh, Durakman, Darim, Subangi, Manas, Kartamin, Salim, Saliningkem, Darmaji, Daud, Dirja, Marcelinna, Samiratunnasiha, Suhardi, Sri, Sirojudin, Bodin, Tuniati, Sumartini, Husni, Naridi, Golding, Idong, Ngatirah, Halimatussadiah…

Subhanallah! Kalau tokoh-tokoh itu hanya numpang lewat dalam cerita, ya mungkin tak perlu diingat secara detail. Namun, mereka semua merupakan bagian tak terpisahkan dari kemelut kehidupan Rondasih dengan kedua anaknya di Desa Singaraja, Indramayu, yang menjadi inti cerita ini. Mereka punya peran dalam merentang masalah, melempar fitnah, meributkan tahi, memancing benci, mempermainkan birahi, di samping juga memecah tawa, membakar nyali, dan menyalakan empati.

Sebelum Kemelut Rondasih dan Dua Anaknya ini, Minanto telah menerbitkan tiga novel, yakni Semang (2017), Dulatip Ingin Membenturkan Kepalanya ke Tembok Setiap Kali Diberitahu tentang Orangtua (2018), serta Aib dan Nasib (2020). Novel ketiganya berhasil menjadi pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2019 sekaligus menjadi buku sastra pilihan Tempo kategori novel tahun 2020, serta nomine penghargaan sastra Kemendikbudristek tahun 2021.

Di luar kerumitan nama-nama tokoh dengan latar sosial-geografis kampung yang bisa dikatakan masuk ke kawasan rural ekonomi , sebenarnya novel ini sederhana. Novel ini bercerita tentang perjuangan seorang perempuan yang hendak memperbaiki nasib, khususnya memperjuangkan kehidupan anak-anaknya supaya tidak bernasib buruk serupa dirinya. Nasib buruk itu berupa ketertinggalan dalam pendidikan, kekurangan makanan bergizi, tak mendapat kesempatan menentukan pilihan, kesulitan pemilikan tanah hak milik, susahnya mendapatkan pekerjaan, dan muaranya adalah kemiskinan yang akrab dengan penghinaan serta perlakuan sewenang-wenang.

Awal petaka itu adalah sebuah rumah di Tegalurung. Rondasih berhenti sekolah pada usia sepuluh tahun agar kakak lelakinya Subangi tetap bisa melanjutkan sekolah. Mak Doharoh, ibunya, sangat candu menonton orkes dangdut ke kampung-kampung tetangga sampai lupa pada suami dan anak-anaknya. Rumah pun menjadi neraka yang berbuntut pada perkawinan yang hancur. Kawin-cerai-kawin-cerai. Rondasih ingin menjadi perempuan yang tak seperti ibunya. Di hatinya ada bara amarah ketika bertemu Manas. Kepada pemuda canggung itu dia minta nikah. Minta dibawa pergi dari rumah. “Ke mana saja asal bukan di sini?” begitu permintaannya. Dia ingin membangun rumah sendiri, rumah yang bukan neraka.

Keinginan Rondasih pergi sejauh mungkin dari rumah orang tuanya, ternyata senada dengan harapan terpendam Manas; “Jika kamu ingin keluar dari rumah ini sebab orang tuamu, begitu juga denganku dari rumahku sebab orangtuaku,” (hal 19). Mereka sama-sama ingin menjauh dari orang tua masing-masing. Tapi sialnya mereka belum mandiri secara ekonomi sehingga harus menumpang pada Kartamin, ayah Manas. Hidup Rondasih pun terjebak di sana. Hingga melahirkan anak lelaki kembar, Roman dan Rojaman, anak-anak itu tumbuh, berkembang, menjadi remaja, dewasa… Namun, Rondasih tetap mesti tinggal di sepetak rumah di atas tanah milik Kartamin; bergenang air limbahan tahi dan gunjingan mulut tetangga yang berhati sedengki iblis.

Untungnya, Rondasih bisa menghadapi itu semua meski naik darah setiap hari. Dengan kesabaran yang setipis gorden jendela, dia fokus membesarkan anak-anaknya dengan nafkah dari Manas yang tak seberapa. Perempuan itu begitu nyinyir menyuruh anaknya sekolah, membantu orang tua, dan tidak bersikap nakal. Hal itu membuat si kembar menjadi tidak betah dan ingin pergi dari rumah. Manas pun menasihatinya “bahwa si kembar tidak selamanya anak-anak, bahwa mereka bukan semata milik Ro dan Manas, bahwa mereka milik semesta, dan bahwa mereka pada akhirnya berpisah dan pergi menempuh jalan masing-masing,” (hal. 128).

Menurut Roman, “Hati ibuku lembut, tapi mulutnya tidak,” (hal. 174). Kelembutan hati Rondasih terlihat dari kesediaannya memasak dan merawat sang mertua dan tetap memberi dukungan kepada sang anak yang dituduh sebagai pembuh oleh para tetangga, termasuk membela Roman yang digerebek massa karena kasus asusila. Baginya wajarlah anak-anak berbuat kesalahan yang penting ditegur dan ditunjuki. Bukan membenci, tapi beri kesempatan untuk memperbaiki diri. Itulah sebabnya meski sempat pergi dari rumah, Rojaman tetap kembali pulang, sembari membawa bibit tanaman lidah mertua yang ditanamnya di samping rumah sang ibu, “tanaman itu akan menjadi pengingat ia pernah tumbuh, sedang tumbuh, dan akan tumbuh pada tanah milik mertua ibunya,” (hal. 258). Lidah mertua atau sanseviera adalah tanaman yang tangguh bertahan hidup di lingkungan gersang, mampu memproduksi oksigen sepanjang waktu, dan memberikan kesejukan seperti cinta Rondasih kepada anak-anaknya. []

Keterangan buku:

Judul buku : Kemelut Rondasih dan Dua Anaknya

Penulis : Minanto

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan 1 : April 2024

Tebal : 263 halaman

 

Exit mobile version