Kejaksaan Belum Eksekusi Bupati Pessel, Ini Kata Pakar Hukum Tata Negara Unand

Dalam prinsip negara demokrasi, jika sebuah pemerintahan mendapat mandat dari rakyat, maka pemerintahan itu sah

Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Unand Padang, Khairul Fahmi

Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Unand Padang, Khairul Fahmi (istimewa)

PESSEL, KLIKPOSITIF– Pakar Hukum Tata Negara Unand Padang, Khairul Fahmi menilai sikap Kejaksaan Negeri Painan Kabupaten Pesisir Selatan, Sumbar dalam menunda pelaksanaan eksekusi Rusma Yul Anwar sudah benar.

Menurutnya, faktor stabilitas keamanan daerah mesti jadi pertimbangan, meski ada tanggung jawab dan perintah tugas terhadap pelaksanaannya. Dengan demikian, asas kemanfaatan sebagai salah satu bagian dari azaz hukum dapat tercapai.

“Pessel punya sejarah ribut saat Pilkada 2005. Saya rasa pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Pesisir Selatan sangat paham akan hal itu,” ungkapnya menjawab wartawan di Padang beberapa waktu lalu.

Ribut Pilkada 2005, terjadi saat pelantikan Bupati dan Wakil Bupati ketika itu. Warga memblokir jalan masuk Gubernur Sumbar saat itu menuju Painan, tepatnya di kawasan Koto XI Tarusan dan Gubernur yang akan melantik-pun gagal masuk ke Kota Painan.

Warga yang memblokir jalan menuju lokasi acara menentang pelantikan tidak dilakukan terkait dengan dugaan manipulasi suara dalam pilkada saat itu.

Secara administratif, lanjut Khairul Fahmi, Rusma Yul Anwar sah sebagai bupati. Itu sesuai dengan Surat Keputusan (SK) yang Menteri Dalam Negeri (Mendagri), sekaligus dilantik Gubernur Mahyeldi.

Setelah dilantik sebagai bupati, bagi Rusma Yul Anwar sudah melekat Undang-undang 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang 10 tahun 20216 tentang Pilkada tidak bisa diberlakukan lagi pada Rusma Yul Anwar, karena Pilkada telah usai.

Artinya, secara hukum tidak ada masalah dengan jabatannya. Segala kebijakan yang diambilnya sah sebagai bupati. Apalagi, semua orang memahami harapan masyarakat Pesisir Selatan sangat tinggi padanya.

“Ya, soal keamanan, jaksa sah-sah saja menunda eksekusi. Jaksa harus melihat asas kemanfaatan hukum,” tuturnya.

Ia menambahkan, saat ini harus ada solusi terbaik dari negara demi kelangsungan pembangunan di Pesisir Selatan. Supaya tidak terjadi perdebatan hukumnya.

Harus ada solusi hukumnya, sehingga tidak ada yang tergadaikan. Aspek hukum tidak terlanggar dan kepentingan orang banyak pun tidak terabaikan. Berdasarkan UUD 1945 NKRI, hukum bertujuan mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial.

Terpisah, tokoh masyarakat Pesisir Selatan menilai kemenangan Rusma Yul Anwar sudah jelas pada Pilkada 2020. Mantan wakil bupati itu menang telak di 14 Kecamatan, dari 15 kecamatan yang ada. Perolehan suaranya lebih dari 128 ribu atau 58 persen dari keseluruhan suara sah.

“Dalam prinsip negara demokrasi, jika sebuah pemerintahan mendapat mandat dari rakyat, maka pemerintahan itu sah,” jelas Ketua Koalisi Masyarakat Selamatkan (Komas) Pesisir Selatan, Bambang Marah Sampono.

Lanjut, Sampono, jika kehendak pribadi dan kelompok kecil tetap dipaksakan, ia khawatir terjadi konflik horizontal. Keamanan daerah jadi kacau. Roda pemerintahan akan lumpuh. Apalagi, perolehan suara Rusma Yul Anwar tidak saja legitimasinya sebagai pemenang Pilkada, tapi sekaligus pemegang kedaulatan rakyat.

“Kami minta, semua pihak dapat menahan diri demi terlaksananya pembangunan di daerah yang kita cintai ini. Mari sama-sama kita hargai demokrasi dan hasil demokrasi. Jika masyarakat saja siap berdemokrasi, kenapa para elit tidak,” ujar Bambang.

Seperti diketahui, Pengadilan Negeri Kelas 1A Padang menjatuhkan vonis 1 tahun dan denda Rp1 miliar, subsider 3 bulan penjara terhadap Rusma Yul Anwar. Ia dinilai telah melanggar pasal 109 UU 32 tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup.

Persoalan hukum Rusma berawal dari laporan Bupati saat itu Hendrajoni ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kejaksaan Agung, perihal perusakan hutan mangrove di Kawasan Mandeh Kecamatan Koto XI Tarusan.

Exit mobile version