Jumatan di Masjid Tian Mu, Tianjin

Oleh: Khairul Jasmi


Masjid itu disirami matahari siang. Kota Tianjian tetap sibuk, tapi tidak di sini, Masjid Tian Mu. Ini Jumat (30/8/2024), waktunya jumatan.

Saya menaruh hormat yang takzim pada umat Islam di sini. Mereka sendirian, anak-beranak, generasi ke generasi, menjaga kepercayaan mereka dari gempuran berita bohong, yang diproduksi dari luar China. Atau mungkin pernah juga ada ancaman dan intimidasi.

Jumat ini, penjaga agama Islam di negeri komunis itu, penganut Mazhab Hanafi tersebut, mulai datang satu persatu ke masjid. Jalan kaki, naik sepeda, pakai motor dan mobil.

Semua separuh baya dan tua, 95 persenlah, sisanya anak muda. Tapi, 100 persen memakai topi haji. Saya yakin mereka sudah pergi ke Mekkah. Ada 7 orang ulama bersurban, masuk serempak. Ujung surban menjuntai sampai melampaui pinggang. Satu jadi imam, satu khatib.

Jemaah yang masuk, langsung duduk bersimpuh, yang tua membentangkan kakinya. Duduk rapi, di atas tikar berbalut kain. Tempat tikar dibuat lebih rendah sehingga saat ditutup tikar, sama tingginya dengan marmer tempat sujud. Marmer itu tak pernah diinjak, jika tak sengaja akan dilap.

Inilah Masjid Tian Mu dengan 73 tiang warna merah. Kok 73? Tak usah pula dipikirkan. Berdiri di areal seluas kira-kira 2,5 hektare. Di komplek itu ada beberapa bangunan. Ketika kami datang, mesti berwudhuk dulu dan diarahkan ke sebuah ruangan panjang. Di depan kran ada tempat duduk panjang dari kayu.
Sehabis berwuduk saya diberi alas kaki sebab tak ada yang berkaki ayam masuk ke masjid. Mau masuk, di tangga terakhir saya buka alas kaki dan jejak kaki basah saya terlihat di lantai semen. Saya diingatkan agar memakai sandal sampai ke tepi tikar dekat pintu masjid, agar tetap suci.

Semua yang masuk, pakai kaos kaki. Saya pasang pula, apa susahnya, di Masjidil Haram saja orang pakai sepatu kaos, maksudnya model sepatu tipis sebenarnya bukan sepatu. Saya punya dua tapi lupa tarok dimana. Enak pula berkaos kaki dalam masjid.

Sebagaimana jamaknya masjid ada bagian depan untuk jemaah pria dan belakang, perempuan. Di antara keduanya dibatasi tirai tinggi yang waktu berjumat ditarik ke tiang-tiang.

Saya dan rombongan masuk, terdengar suara, mungkin doa, salawat atau apapun itu, diakhiri dengan aamiin. Baru kemudian khatib membaca khutbah. Yang saya tahu “Muhammad Sallalahu alaihiwassaman” dan “Allah Subhanawataala.” Selebihnya blank.

Sehabis khutbah, jemaah shalat sunat, 4 rakaat. Habis itu baru shalat Jumat tanpa “aamiin,” dan tak ada menunjuk waktu membaca tahiyat awal dan akhir. Bacaan ayat Al Qu’an nya sama cuma melapazkannya berbeda. Ini karena lidah. Lidah sudah berhasil membentuk ribuan suku bangsa di dunia, sebab lidahlah yang menyebabkan kita bisa berbicara. Karena bicara lahir bahasa dan karena geografi dan hembusan angin serta deru-derai suasana suatu daerah, maka berbedalah bahasa satu sama lain.

Setelah khutbah, mereka shalat sunat empat rakaat, setelah jumat 10 rakaat, tak pernah saya saksikan hal semacam ini sebelumnya. Tapi di sini saya nikmati.

Para pria China yang “lurus” beragama itu, belum juga meninggalkan masjid, kecuali setelah imam pergi. Mereka, jika selesai shalat sunat yang 8 atau 10 rakaat itu, akan bersimpuh lagi. Seorang jemaah atau pengurus sejak kami datang sudah menyalami. Memotret, ngajak bicara, angguk-amgguk balam saja saya.

Islam di China

Islam di China telah jadi kabar. Kabarnya buruk-buruk saja. Temuan kami di Tianjin malah sebaliknya, bagus-bagus. Tianjin bukan resume China tapi Islam di China saat ini baik-baik saja. Pada 2023 ada 17 juta pemeluk Islam usia dewasa di negeri itu.

Pemeluk Islam terbanyak di Provinsi Xinjiang. China Global Television Network (CGTN), Xinjiang melaporkan, memiliki populasi Muslim yang beragam. Sebut saja seperti Uighur, Hui, Kazak, Dongxiang, Kirgiz, Tajik, Uzbekistan hingga Tatar. Angkanya 17 juta jiwa. Berikut Ningxia, dengan suku muslim Hui, 35 persen dari total penduduk Ningxia. Jumlah muslim 2,5 juta.

Selanjutnya Gansu, jumlahnya tidak ada laporan tapi disebut 6,5 persen dari jumlah penduduk.

Selanjutnya, Qinghai di Barat Laut China, terkurung di daratan, ada pemeluk Islam di sini. Lalu di Henan juga ada muslim.

Yang pasti, Islam sudah tua di Tiongkok. Menurut catatan, Islam di Tiongkok telah ada sejak 1.400 tahun dari. Secara terinci, saat ini, umat Islam di sana. Di Xinjiang yang 17 juta itu ada 24 ribu masjid. Kemudian ada 4.000 masjid di Ningxia. Di Tianjin ada 180 ribuan muslim.

Dari angka ini yang 17 juta jiwa dibanding total penduduk Tiongkok yang 1,4 miliar, hanya secuil. Sejauh itu tidak ada kabar buruk tentang muslim di sini yang “meletus” di luar. Bisa jadi benar muslim di Xinjiang dikerjain oleh pemerintah, bisa juga tidak, karena saya tidak di sana. Sepanjang yang ada di Tianjin, mereka baik-baik saja. Penganut mazhab Hanafi ini, adalah muslim yang memberi warna lucu pada rombongan besar jemaah haji setiap tahun di Tanah Suci.

Jumatan selesai sudah, perut sudah kenyang sebab tadi makan dulu di restoran muslim. Lalu mobil Jepang itu melarikan kami kembali ke kantor Sinoma. Kami: Komisaris Semen Padang, Werry Darta Taifur, Dirut Indrieffouny Indra, Sekper Iskandar Lubis dan pejabat Semen Indonesia, Boy Aditya Prakarsa dan penulis. Lalu apa lagi? Rapat dong, hehehe.

Exit mobile version