JAPA Sumbar: RKUHP Memiliki Dampak Buruk bagi Perempuan, Pemerintah Harus Lakukan Perbaikan

Jaringan Advokasi Peduli Aids (JAPA) Sumbar menggelar diskusi RKUHP dan Dampaknya Bagi Perempuan, Jumat (10/12/2021).

JAPA Sumbar

JAPA Sumbar (istimewa)

Hayati Motor Padang

PADANG, KLIKPOSITIF — Jaringan Advokasi Peduli Aids (JAPA) Sumbar menggelar diskusi RKUHP dan Dampaknya Bagi Perempuan, Jumat (10/12/2021).

Diskusi tersebut digelar secara daring dengan narasumber Direktur WCC Nurani Perempuan Rahmi Meri Yenti, Aktivis HAM Wengki Purwanto, dan dari UIN Imam Bonjol Padang Aziza Meria.

Diketahui JAPA Sumbar terdiri dari

PKBI Sumbar, Yayasan Akbar, Taratak Jiwa Hati, WCC Nurani Perempuan, Pelangi Andalas, OPSI Sumbar,Bumi Ceria, Universitas Ekasakti, P2TP2A Kota Padang, LBH Padang, Jaringan Indonesia Positif, Komunitas dan Perempuan Minahasa Jati.

Perwakilan JAPA Sumbar Eva Herawati Damanik mengatakan, para narasumber membedah RKUHP.

Menurutnya, RKUHP memperkenalkan kriminalisasi perzinahan, hidup bersama sebagai suami istri, aborsi tanpa pengecualian hingga pemidanaan berdasarkan hukum yang hidup di masyarakat.

Ia menyebutkan, ada pasal-pasal yang akan berdampak pada perlindungi perempuan.

Pertama, lanjutnya, pengadopsian living law/hukum yang hidup di masyarakat sebagai dasar kriminalisasi di Pasal 2 ayat (1) RKUHP.

“Dengan pasal ini seseorang dapat dihukum/dipidana atas dasar “hukum yang hidup dalam masyarakat”. Dalam penjelasan RKUHP tersebut, hukum yang hidup di masyarakat akan didasarkan pada Peraturan Daerah yang akan dikompilasikan menjadi Peraturan Presiden. Sebagai catatan, sering kali aturan di masyarakat dan di tingkat daerah mendiskriminasi perempuan,” katanya.

Berdasarkan data Komnas Perempuan pada 2018, lanjutnya, terdapat 421 Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif terhadap perempuan, yang mengatur misalnya melarang perempuan tidak keluar pada malam hari atau mengatur cara berpakaian perempuan.

Hal ini akan mengkhawatirkan, nantinya Pasal 2 ayat (1) ini akan menjadi legitimasi munculnya kembali aturan-aturan tingkat lokal yang mendiskriminasi perempuan.

Kedua, tambah Eva, kriminalisasi setiap bentuk persetubuhan di luar ikatan perkawinan dan hidup bersama sebagai suami istri di asal 417 dan Pasal 418 RKUHP.

“Dengan pasal ini, seseorang yang melakukan persetubuhan di luar ikatan perkawinan akan dikriminalisasi, yang dapat mengadukan kriminalisasi tersebut adalah orang tua, anak, atau pasangan suami/istri,” ujarnya.

“Pasal ini bisa menjerat anak karena pasal tersebut tidak membatasi usia pelaku, berarti anak-anak yang berhubungan badan (bersetubuh) bisa dipidana atas dasar aduan orang tuanya,” sambungnya.

Ia melanjutkan, dalam kondisi ini, potensi kawin paksa, utamanya perkawinan anak bisa terjadi, karena apabila anak melakukan persetubuhan maka perkawinan bisa dianggap sebagai “jalan keluar”.

Perkawinan anak mayoritas terjadi pada anak perempuan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), di tahun 2018, 11,21 persen perempuan 20-24 tahun menikah sebelum mereka berumur 18 tahun.

Angka perkawinan anak perempuan di Sumatera Barat di angka 6.0 persen. Sebagai catatan, Penelitian Koalisi 18+ (2019) mengenai dispensasi perkawinan di tiga daerah menunjukkan bahwa alasan tertinggi (89%) permohonan dispensasi perkawinan adalah karena kekhawatiran orang tua mengenai anaknya yang sudah berpacaran, terdapat asumsi orang tua bahwa anaknya telah melakukan hubungan di luar perkawinan.

“Dengan adanya pasal ini, orang tua akan memiliki “amunisi baru” untuk memaksakan perkawinan pada anak perempuan, menjadikan perkawinan sebagai solusi. Padahal banyak laporan telah menyatakan perkawinan anak membawa dampak buruk pada kesehatan fisik dan mental, pendidikan, dan partisipasi kerja. Pengaturan dalam RKUHP ini patut dihindari untuk mencegah diskriminasi terus menerus pada perempuan, utamanya anak perempuan,” kata dia.

Ia menyebutkan, dalam kasus dampingan WCC Nurani Perempuan, D (22) berkenalan dengan seorang laki-laki di Medsos. Lalu terjerat dalam hubungan seksual oleh laki-laki tersebut. Laki-laki tersebut meninggalkan D, menyebabkannya menjadi depresi. Dengan adanya RKUHP, nantinya D dapat terancam jerat pidana, misalnya jika orang tua laki-laki tersebut ataupun orang tuanya menghendaki pemidanaan. Hal ini menambah ketakutan korban.

Ketiga, kriminalisasi setiap perempuan yang melakukan pengguguran kandungan termasuk dengan indikasi medis dan korban perkosaan (Pasal 469 ayat (1), Pasal 471 RKUHP).

Dalam RKUHP, diatur pengecualian larangan aborsi hanya untuk dokter yang melakukan aborsi, sedangkan untuk perempuan dan tenaga kesehatan lain yang terlibat dalam aborsi tidak dikecualikan.

Pengaturan ini Bertentang dengan Pasal 75 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan Fatwa MUI No 4 tahun 2005 yang menjamin adanya hak aborsi bagi korban perkosaan dan kehamilan dengan indikasi kedaruratan medis. Dengan tidak diakomodirnya pengecualian bagi perempuan, maka pasal ini bersifat diskriminatif.

Hingga draft September 2019, tidak dimuat pengecualian bagi perempuan yang melakukan aborsi. Akan tetapi, dalam materi RKUHP yang ditampilkan Tim Perumus RKUHP dengan judul “Isu Krusial RUU KUHP” dan disosialisasikan di 12 Kota di Indonesia (Februari- April 2021), terdapat penambahan rumusan berupa satu ayat pada Pasal 469 yang asalnya terdiri dari tiga ayat, kini menjadi empat ayat, yakni:

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal perempuan yang menggugurkan kandungannya korban perkosaan yang usia kehamilannya tidak melebihi 120 (seratus dua puluh) hari atau memiliki indikasi kedaruratan medis.

Hal ini merupakan perkembangan yang baik dan patut terus dikawal. Namun, perkembagan draft ini sayangnya secara keseluruhan tidak dipublikasikan ke masyarakat, yang dipublikasikan melainkan draft RKUHP September 2019 dengan rumusan lama yang pada 2 tahun lalu, yang belum ada ketentuan ayat (4) tersebut di atas. Hal ini menimbulkan ketidakjelasan pengaturan dan ketidakterbukaan pemerintah dalam pembahasan RKUHP yang menyangkut hidup para perempuan dan kepastian apakah akan perbaikan perumusan tersebut.

Atas hal ini, JAPA Sumbar menuntut agar Pemerintah sebagai pemegang draft RKUHP saat ini untuk kembali meninjau dan melakukan perbaikan pada rumusan RKUHP, karena RKUHP masih berpotensi memberikan diskriminasi terhadap perempuan.

“Kemudian memberikan kepada publik draft RKUHP yang akan diberikan kepada DPR dan pertanggungjawabkan setiap perubahan yang dilakukan Pemerintah terhadap RKUHP,” pungkasnya.(rilis)

Exit mobile version