KLIKPOSITIF – Gagasan agar pemerintah pusat mengambil alih pembayaran gaji ASN dan PPPK lahir dari realitas yang tidak nyaman: ruang fiskal daerah menipis, layanan publik terancam, dan belanja modal sering tersisih oleh belanja pegawai. Pada permukaan, usul ini tampak sederhana dan masuk akal. Pusat menanggung payroll, daerah mendapat napas untuk membangun. Di balik ide yang menggoda itu, ada pertaruhan besar terhadap disiplin fiskal nasional, tata kelola kepegawaian, dan kualitas belanja publik beberapa tahun ke depan.
Pertama, sentralisasi penuh gaji ASN/PPPK berisiko menciptakan beban permanen pada APBN. Begitu tagihan gaji dipindahkan ke pusat, fleksibilitas fiskal menyusut. Saat siklus ekonomi memburuk, ruang manuver untuk menjaga belanja prioritas—perlindungan sosial, kesehatan, pendidikan, infrastruktur—mengecil. Kebijakan ini bagai mengunci pengeluaran di tingkat pusat tanpa kepastian bahwa produktivitas layanan ikut naik. Stabilitas makro menuntut pemerintah berhati-hati menambah kewajiban yang tidak mudah dikurangi saat pendapatan negara melambat.
Kedua, ada pertaruhan besar pada disiplin formasi pegawai. Siapa memegang kewenangan rekrutmen cenderung lebih longgar saat pihak lain yang membayar. Tanpa pagar yang tegas, sentralisasi gaji mendorong moral hazard: kepala daerah merasa aman menambah formasi karena beban utama pindah ke APBN. Dalam jangka panjang, negara menanggung struktur pegawai yang gemuk, sementara indikator layanan tidak bergerak sepadan. Kita tidak membutuhkan birokrasi yang lebih besar; yang dibutuhkan ialah birokrasi yang lebih tajam, lebih cepat, dan lebih terukur dampaknya bagi warga.
Ketiga, memindahkan beban ke pusat tidak otomatis memperbaiki mutu layanan. Kualitas layanan bergantung pada manajemen di lapangan: distribusi guru dan tenaga kesehatan, insentif kinerja, supervisi, dan alat kerja yang memadai. Jika arsitektur tetap seperti sekarang—perencanaan di daerah, gaji dibayar pusat—garis akuntabilitas bisa kabur. Siapa dimintai tanggung jawab saat layanan macet? Pusat yang membayar, atau daerah yang mengatur penugasan? Kebijakan baik harus menjaga agar siapa yang merencanakan dan mengelola layanan tetap memikul konsekuensi anggarannya.
Di sisi lain, menutup telinga terhadap kesulitan APBD juga keliru. Banyak daerah memang terjepit oleh struktur belanja rutin. Tanpa penyangga, mereka terpaksa memangkas belanja modal dan menunda proyek yang memutar ekonomi daerah. Layanan dasar terdampak, proyek padat karya tertunda, dan kontraktor lokal kehilangan arus kas. Dalam horizon pendek, pusat membayar gaji tampak seperti katup pengaman agar layanan publik tidak tersengal pada awal tahun anggaran.
Jalan keluarnya tidak biner. Pilih jalur tengah yang menyelamatkan stabilitas pusat sekaligus memberi oksigen ke daerah. Perkuat mekanisme dukungan penggajian yang sudah ada, besarkan porsi yang “ditandai” khusus untuk gaji PPPK, dan sediakan buffer nasional yang cair saat beban melonjak. Biarkan pembayaran tetap melalui kas daerah agar akuntabilitas layanan tidak tercerabut. Dengan rancangan ini, pusat tetap menjadi jangkar saat fiskal daerah menegang, sementara daerah tetap memegang tanggung jawab operasional.
Pasang pagar formasi yang tegas. Tetapkan kuota nasional berbasis kebutuhan layanan dan rencana tenaga kerja multi-tahun. Setiap penambahan formasi harus lolos uji kemampuan fiskal gabungan dan peta kebutuhan riil. Samakan database kepegawaian, terapkan verifikasi bulanan, dan beri sanksi pada pelebaran formasi di luar rencana. Prinsipnya jelas: yang merekrut bertanggung jawab, yang membayar mengawasi, dan keduanya berbagi data yang sama.
Sinkronkan dukungan pusat dengan kontrak kinerja daerah. Jika pusat menambah dukungan gaji, daerah wajib mengonversi ruang fiskal yang bebas menjadi belanja yang memutar ekonomi: proyek mikro padat karya, perbaikan layanan dasar, penguatan rantai pasok lokal, dan dukungan UMKM. Tautkan dukungan dengan indikator hasil—penurunan pengangguran, inflasi yang terjaga, mutu layanan yang naik, penyerapan belanja modal yang cepat. Dorong daerah berlomba pada outcome, bukan sekadar menangis di meja perundingan.
Hindari langkah besar yang serba sekaligus. Uji coba sentralisasi terbatas pada klaster kritikal—guru dan tenaga kesehatan—di provinsi yang paling tertekan. Jalankan dua tahun, audit dampak ke layanan, cek efek ke defisit, pastikan belanja modal daerah benar-benar naik. Jika hasilnya solid, perluas bertahap. Pendekatan ini menutup risiko kebijakan zigzag, menjaga kredibilitas fiskal, dan memberi waktu untuk memperbaiki sistem data, SOP, serta pengawasan.
Transparansi menjadi penopang utama. Tayang-kan dashboard publik: proyeksi transfer ke daerah, komposisi dukungan gaji, kebutuhan payroll per daerah, realisasi layanan, serta penggunaan ruang fiskal yang terbebas. Informasi yang setara menurunkan kebisingan politik, meningkatkan kepercayaan pasar, dan menjaga disiplin di dua sisi sekaligus. Komunikasi semacam ini bukan kosmetik; ini bagian dari kontrak kepercayaan antara pusat, daerah, dan warga.
Esensinya pusat bisa memberi oksigen tanpa merusak paru-paru fiskal. Sentralisasi penuh gaji ASN/PPPK terlalu mahal risikonya untuk diadopsi sekaligus. Desain yang masuk akal ialah mempertebal dukungan yang sudah ada, memasang pagar formasi yang ketat, menyalurkan dana berbasis kebutuhan dan kinerja, serta menuntut konversi ruang fiskal ke belanja produktif. Dengan resep ini, negara menjaga stabilitas makro, daerah mempertahankan layanan, dan ekonomi lokal memperoleh dorongan yang nyata—bukan sekadar kelegaan sesaat yang berujung pada beban jangka panjang.