KLIKPOSITIF – Museum Istano Basa Pagaruyung dibangun tiga lantai dengan 72 tiang dan 11 gonjong yang dilengkungkan serupa tanduk kerbau serta 26 ton serat Ijuak yang menghiasi atapnya.
Menurut Penulis Buku Rumah Gadang yang Tahan Gempa (2018), Gantino Habibi, menyebutkan bahan dasar atap Rumah Gadang Minangkabau berasal dari Ijuak.
Kemiringan atap yang sangat tajam memudahkan air hujan jatuh dengan cepat mengalir sehingga atap akan cepat kering. Kemudian karena kemiringan yang sangat tajam menyebabkan atap melengkung, sehingga mengurangi daya serap energi matahari.
Atap Ijuak berfungsi menyerap sinar matahari pada siang hari dan malamnya akan membawa hawa hangat ke dalam rumah gadang. Dikarenakan tekanan suhu udara dingin menekan panas, kondisi ini menyebabkan suhu udara siang hari akan sejuk dan pada malam hari lebih panas.
Pemikiran ini didasarkan karena Sumatera Barat merupakan daerah pegunungan dan udara pada malam hari sangat dingin sehingga penghuni Rumah Gadang tidak akan merasa dingin.
Sementara menurut Penulis Buku Rumah Gadang (2013), Agusti Efi Marthala, menyebutkan bahan untuk atap rumah gadang dipakai bahan Ijuak yang diambil dari pohon Enau. Ijuak bentuknya seperti rambut kasar dan mempunyai saga atau lidi-lidi keras berwarna hitam, yang pada atap disusun rapat dan padat satu arah yang dinamakan susunan Badamudiak.
Kumpulan Ijuak yang padat dengan susunan Badamudiak ini dapat memberikan perlindungan pada rumah ketika panas dan hujan sehingga penghuninya dapat terlindung dengan aman di dalam rumah. Atap dengan susunan Badamudiak ini adalah lambang kekuatan bersama.
Bentuk atap yang melengkung dan runcing ke atas juga sering disebut dengan kata Gonjong, maka tak heran jika dijuluki Rumah Bagonjong.
Bentuk gonjong yang runcing diibaratkan seperti harapan untuk mencapai Tuhan. Desain atap yang melengkuk juga berfungsi untuk menahan curahan hujan dan tidak membebani bangunan di bawah nya.
Bila dilansir dari laman kumparan.com, menyebutkan atap Rumah Gadang yang terbuat dari Ijuak yang menjulang berbentuk tanduk kerbau menandakan bahwa rumah adat ini dibuat dengan material yang ramah lingkungan.
Sementara dilansir dari dekoruma.com, menjelaskan banyak keunggulan dan keistimewaan atap ijuak yakni serat alami dengan ketahanan yang awet. Tidak jarang, atap Ijuak bisa bertahan digunakan hingga 80-100 tahun lamanya. Atap ijuak juga tahan terhadap asam, rayap, dan bisa menyerap air maupun panas.
Kemudian, atap ijuak tergolong relatif murah dibandingkan dengan desain atap sejenisnya, misalnya atap rumbia yang lebih sulit didapatkan di pasaran. Otomatis, harga atap ijuak menjadi lebih murah.
Atap ijuak memberikan keteduhan karena menyerap sinar matahari sekaligus membuat sejuk suasana di sekitar. Dengan warna hitam pekat yang khas, atap ijuak selalu terlihat alami, mengkilap dan punya kesan baru yang indah. Dengan penataan yang rapi, warna hitam legam dari ijuak kian menambah keasrian budaya.
Jadi, material ijuak pada atap Istana Basa Pagaruyung diibaratkan sebagai mahkota dalam suatu Rumah Gadang. Selain itu juga melambangkan kemegahan, memberikan hawa kesejukan, ketahanan dan ramah lingkungan. (*)
OPINI: Irfan Taufik