KLIKPOSITIF — Dinas Kebudayaan Sumbar melalui UPTD Taman Budaya meluncurkan antologi cerpen “Tentang Harimau Suamiku” bertepatan dengan peringatan 100 tahun AA Navis, Sabtu, 23 November 2024.
Antologi tersebut merupakan kumpulan cerpen yang dipilih hasil dari lomba cerpen yang digelar sebelumnya.
Total ada 23 kumpulan cerpen yang dijadikan antologi yang terdiri dari 5 karya pemenang dan 18 karya yang dipilih untuk dibukukan.
Menurut dewan juri yang terdiri dari Ivan Adila, Raudal Tanjung Banua, dan Yetti A. KA, panitia menerima sebanyak 173 naskah.
“Tidak hanya dari Sumatera, tapi juga dari NTT, Papua, Aceh, dan beberapa provinsi di Jawa,” ujarnya.
Dewan juri menetapkan “Tentang Harimau Suamiku” karya Iin Farliana sebagai pemenang pertama. Karya ini juga dipilih sebagai judul buku antologi.
Cerita ini berasal dari Pasaman Barat. Cerpen dengan latar perkebunan sawit ini bercerita tentang munculnya seekor harimau di lokasi perkebunan, menjadi perlambang rusaknya ekosistem.
Seorang yang terteror oleh harimau yang kehilangan habitat itu adalah petugas perkebunan. Kehidupan di perkebunan beserta teror seekor harimau, ia kabarkan kepada istrinya melalui telepon dengan sinyal timbul-tenggelam.
Si istri, sebagai watak orang kota, sebenarnya tak tertarik pada harimau. Namun, cerita berulang si suami membuatnya berpikir ulang, dan lama-lama harimau merasuk ke dalam pikirannya.
Ketika sang suami hilang diterkam harimau dan sisa jasadnya tak ditemukan, beban psikologis si istri memberat. Sampai-sampai ia melihat kehadiran seekor harimau bersama suaminya di rumah.
Bukan sekadar berkelebat lewat, melainkan mewujud bagai seekor kucing peliharaan. Bersama sang suami, si harimau malah biasa pergi bersama-sama naik kendaraan pribadi lalu pulang ke rumah seperti kucing kembali dari rumah tetangga.
Di satu sisi, hal ini merebut kebersamaan suami dari sang istri, tidak dengan berdarah-darah tetapi dengan semacam hubungan mesra-tapi-aneh. Di sisi lain, inilah cara menjinakkan realitas. Sang suami hilang diterkam harimau, dan kejadiannya pasti meneror karyawan perkebunan dengan ketakutan berdarah.
Namun, setelah itu dapat diduga siklus kembali lumrah: harimau itu akan diringkus, dan kehidupan perkebunan normal lagi.
Sebaliknya, sang istri memang tidak pernah menunjukkan sikap terkejut atau terteror, dan sikap itu lebih terkesan dingin ketimbang menerima. Celakanya, sikap itulah yang meneror dengan cara lain, sedikit demi sedikit, pelan, tapi terus berulang dalam hari-hari penantiannya yang tak pasti dan panjang.
Menurut juri, strategi bercerita seperti ini telah membuka arus plot dengan deras, memasuki jeram dan palung tak terduga.
Bahasanya yang kekinian menambah segar seolah air dari lubuk yang cepat bersalin arus sehabis pusaran. Ini hasil nyata dari upaya menyiasati tema, kemudian mengalirkannya melalui eksplorasi bahasa dan psikologi tokoh.
Selain Iin Farliani, juara 2 adalah Boni Chandra,, Afri Meldam juara 3, kemudian Roby Satria harapan 1 dan Aldino Adry Baskoro meraih harapan 2.
Menurut juri, dasar pilihan untuk karya-karya tersebut adalah kekuatannya sebagai cerita. Pilihan itu bukan sampel berdasarkan tema, usia penulis, maupun daerah asal.
Yang jelas cerpen-cerpen yang dipilih tersaji dengan berbagai gaya dan acuan. Alur kisahnya tak kalah menarik, tokoh-tokohnya hidup dan merasuk ke dalam suatu tatanan (termasuk pohon, hewan, air, angin dan benda-benda yang diproyeksikan sebagai tokoh).
“Semua itu diwadahi olah bahasa yang sangat memadai, beberapa bahkan sangat piawai. Mereka menyajikan masalah kemanusiaan yang sealur dengan visi dan karya-karya A.A. Navis,” ujarnya.