Caca adalah anak saya yang ketiga, yang paling kecil. Usianya baru tujuh tahun. Kelas satu SD. Sudah dua Ramadhan belajar puasa. Ramadhan tahun kemarin bocor, tidak tamat sampai maghrib, lima hari. Meski memaksa untuk puasa, tapi badannya panas. Saya membujuknya untuk makan dan minum obat. Bila sedang sehat, meski kelihatannya lemas, tapi dia tidak pernah mau berbuka. Ya, malah saya yang khawatir.
“Tidak apa, kalau dia tidak mau bocor berarti sanggup menahan lapar dan haus,” kata Kang Hasan, ayahnya, waktu saya mengatakan kekhawatiran.
Ramadhan tahun ini, hari pertama sampai hari ketiga berpuasa, Caca begitu bersemangat. Pagi-pagi membaca buku, bakda sholat zuhur membaca Al-Qur’an, sorenya baru bermain sambil ngaji di masjid. Tidak sekali pun Caca menyatakan lapar atau ingin makan. Tapi hari keempat, baru pukul sembilan pagi, Caca sudah merajuk ingin berbuka.
“Caca lapar?” tanya saya sambil berjongkok. Saya perhatikan wajah dan seluruh tubuh Caca, siapa tahu ada tanda-tanda anak itu sakit. Tapi sepertinya sehat dan segar.
Caca tidak menjawab. Tidak mengangguk, tidak menggeleng.
“Kenapa Caca ingin berbuka?”
“Pokoknya Caca ingin berbuka. Caca ingin nasi goreng,” katanya sambil mau menangis.
Takut Caca benar-benar merasa lapar, saya membuat nasi goreng, lalu disimpan di atas meja makan. Air satu gelas. Setelah selesai saya langsung ke tengah rumah lagi. Hanya sekitar lima menit Caca sudah datang lagi.
“Makannya sudah habis?”
Caca tidak menjawab, tidak mengangguk tidak menggeleng. Saya lihat ke dapur, nasi goreng tinggal piring kosong. Saya terdiam beberapa saat. Tidak mungkin anak tujuh tahun menghabiskan nasi satu piring hanya beberapa menit. Tapi ah kenapa mesti jadi pikiran. Saya kembali lagi ke tengah rumah, meneruskan pekerjaan yang tertunda.
Besoknya pukul delapan pagi Caca sudah merajuk lagi ingin berbuka dengan nasi goreng. Saya sedang membuka-buka marketplace, Tiktok, Instagram, Facebook, Twitter, dan blog, siapa tahu ada pesanan kerudung yang kemarin saya tawarkan. Terpaksa berjongkok, menatap wajah Caca sambil memegang tangannya.
“Bunda tidak mau membuatkan nasi goreng karena nasinya juga tidak dimakan oleh Caca. Buat siapa nasi gorengnya?” kata saya sambil menatap matanya.
Caca memegang tangan saya, mengajak saya ke dapur. Dapur rumah saya berbatasan langsung dengan jalan perumahan. Ada pintu yang bila dibuka langsung menghadap ke jalan. Suara motor, mobil, sepeda, atau orang berbincang di jalan itu pasti terdengar dari dapur. Caca menarik saya mendekati tembok, lalu telinganya ditempelkan ke tembok, saya pun mengikutinya.
Ada yang sedang berbincang, suara seorang anak perempuan dan seorang wanita tua.
“Sayang ya, Nek, yang punya rumah berpuasa,” kata suara anak-anak. “Bila mereka tidak berpuasa, kita bisa kebagian sisa sarapannya, seperti hari-hari biasa ya, Nek.”
“Sekarang itu kan waktunya umat muslim berpuasa, Cu,” kata suara wanita tua.
Saya terpana mendengarnya. Terkejut. Saya yang biasanya membereskan sisa sarapan. Sisa nasi atau roti biasanya dimasukkan ke plastik, lalu digantung di dekat tong sampah.
“Caca nggak mau puasa,” kata anak saya berbisik dengan mata seperti mau menangis.
“Kenapa?”
“Biar Nenek dan anak itu bisa makan sisa sarapan kita.”
***
Kang Hasan termenung waktu saya ceritakan Caca mogok puasa. “Biar Ayah yang akan mendongeng,” katanya, lalu beranjak ke kamar Caca. Saya mengikutinya. Di kamarnya, Caca sedang bermain boneka.
“Ca, tahu bagaimana caranya biar tidak batal puasa?” tanya Kang Hasan sambil berjongkok di depan Caca. “Caranya, kita berhitung matematika.”
Mata Caca berbinar. Ya, karena berhitung matematika adalah hobinya.
“Bila tidak berpuasa, Caca berapa kali makan?” tanya Kang Hasan.
“Tiga kali.”
“Bila berpuasa, makannya jadi dua kali, sahur dan saat berbuka. Jadi, hanya sekali waktu makan yang hilang. Betul?”
Caca mengangguk.
“Caca tidak mesti batal puasa. Makan sekali yang hilang itu kita kasihkan kepada Nenek dan cucunya itu. Jadi, Caca bisa berpuasa lagi. Nenek dan cucunya tetap mendapatkan makanan. Berapa rupiah, Bun, sekali makan Caca?”
Saya pura-pura menghitung. “Sepuluh ribu rupiah,” kata saya.
“Jadi bila kita berlima, Ayah, Bunda, Caca, Mbak Cici dan Kang Cece; lima puluh ribu rupiah harus disedekahkan setiap hari?” Caca menghitung dengan jarinya. Kang Hasan tersenyum. Saya yang mengerutkan dahi.
“Bila kita ada rejekinya, kita sedekah setiap hari. Sekarang kita bantu Bunda memasak dengan belanjaan seharga lima puluh ribu rupiah, lalu kita sedekahkan buat yang berbuka di masjid. Besok bila ada rejekinya kita sedekahkan kepada Nenek dan cucunya itu. Besoknya lagi bila ada rejekinya kita sedekahkan kepada siapa saja yang membutuhkannya.”
Caca tersenyum sambil mengangguk-angguk. “Caca besok ingin berpuasa lagi,” katanya.
Di kamar, saya protes kepada Kang Hasan.
“Bila setiap hari sampai hari Idul Fitri, satu juta lebih, Kang. Kita kan sedang butuh buat ongkos-ongkos, beli ini beli itu keperluan mudik,” kata saya.
“Bila ada rejekinya. Bila tidak ada ya, jangan dipaksakan,” kata Kang Hasan ringan.
Sorenya uang lima puluh ribu rupiah itu sudah jadi kolak pisang. Caca dan Cici begitu gembira mengantarkan makanan itu ke masjid. Besoknya uang yang lima puluh ribu rupiah itu saya sedekahkan uangnya kepada Nenek dan cucunya. Tapi mereka malah menatap saya, lalu menggeleng.
“Kemarin kan Nenek dan Nyai, cucu Nenek ini, sudah makan kolak pisang di masjid. Nenek sama Nyai sekarang berpuasa. Terima kasih,” kata Nenek. “Bagusnya buat lagi masakan saja, lalu kasihkan ke orang yang membutuhkan. Bila ada rejekinya, Nenek ingin mushaf Al-Qur’an.”
Saya mengangguk. Belajar puasa barangkali memang harus dilengkapi dengan sedekah. Tidak hanya menahan lapar dan haus, tapi juga berbahagia membuat orang tidak lapar dan tidak haus. Siapa tahu sekali waktu saya membutuhkannya, saya meminta alamat Nenek dan cucunya itu, ditulis di kertas selembar.
Meski mulai ada yang bergetar di dalam hati, namun saya pesimis, mungkin hanya beberapa hari bisa sedekah lima puluh ribu rupiah itu. Selanjutnya sudah tidak ada anggarannya. Ternyata pesimis saya keliru. Hari kesepuluh ada yang kirim pesan lewat WhastApp yang isinya seperti ini: Sudah transfer 5jt buat kerudung 100 pc, terima kasih.
Saya terpana membacanya. Gembira, tidak percaya dengan penglihatan sendiri, juga salah tingkah dalam beberapa menit. Saya cek di internet banking, takut di WA itu sekedar bercanda atau penipuan, ternyata uang 5 juta itu sudah masuk. Setelah saya tenang kembali, langsung saya hubungi konveksi langganan untuk menyiapkan 100 pc kerudung.
***
Hari minggu, tiga hari sebelum Hari Raya Idul Fitri, kami sekeluarga mudik. Bukan mudik jauh, hanya dari Jakarta ke Sumedang di Jawa Barat, jadi santai saja. Caca begitu gembira waktu dikasih tahu akan mampir dulu ke kampung Nenek dan Nyai. Emak Indung, begitu nama Nenek yang tertulis di kertas selembar yang pernah ditulisnya.
Memasuki zuhur kami sampai di kampung yang dituju. Kampung itu agak terpencil di pinggir hutan. Mobil rental diparkir di bawah rumpun-rumpun bambu. Waktu saya bertanya, kami disuruh menyusuri jalan setapak menurun yang akhirnya sampai ke pesawahan. Pesawahan yang luas sejauh mata memandang. Tapi saya tidak melihat ada rumah di pesawahan itu. Ada juga beberapa gubuk.
Di belakang sebuah gubuk ada pancuran berair bening. Saya melongok ke dalam gubuk, ada sarung dan baju menggantung, sejadah, mukena. Sepertinya ini bukan gubuk, tapi tajug, masjid kecil.
Waktu itu datang seorang kakek.
“Bapak dan Ibu ini siapanya Emak Indung?” tanya si kakek saat saya bertanya kepadanya.
“Bukan siapa-siapanya, hanya pernah bertemu saja,” kata saya.
“Sepertinya memang gubuk ini yang dimaksudnya. Orang-orang dulu menyebut gubuk ini Tajug Indung.” Kakek itu berkisah. “Dulu, waktu saya masih kecil, Emak Indung hampir setiap hari ke pesawahan ini. Ngambil siput, eceng, ikan impun, dan apa saja yang bisa dijual ke pasar. Bakda duhur biasa istirahat di gubuk ini. Bila sudah sholat duhur, tidak pernah keluar lagi dari gubuk ini sampai maghrib.”
“Tentu sekarang Emak Indung sudah tua sekali,” kata saya memotong.
“Dulu, ada kabar Mak Indung mau ke Mekah, menunaikan ibadah haji. Rencana naik haji jaman dulu, semua orang kampung pasti tahu. Apalagi Mak Indung karena puluhan tahun dia menabung untuk ongkosnya. Tapi sebelum berangkat, ada longsor di kampung tetangga. Banyak yang jadi korban tidak punya makanan. Mak Indung pun membantunya. Katanya uang untuk naik haji itu habis. Dan saat Mak Indung memangku seorang anak yatim piatu di tempat longsor itu, datang lagi longsor susulan, keduanya tertimbun dan tidak ditemukan sampai sekarang.”
Saya, Kang Hasan, Cici, dan Cece saling memandang. Tiba-tiba ada yang merinding di dalam hati. Sementara Caca tampak betah bermain di dalam tajug. Al-Qur’an yang sudah buram dan sobek-sobek dibukanya selembar demi selembar. Saya teringat dengan pesanan Mak Indung.
“Saya membawa dua buah mushaf Al-Qur’an buat di tajug ini,” kata saya sambil mengeluarkan mushaf Al-Qur’an dari tas gendong Caca.
“Alhamdulillah… dari siapa Ibu tahu para petani yang biasa shalat di tajug ini sudah lama menginginkan Al-Qur’an?” ***