PARIAMAN, KLIKPOSITIF– Kasat Lantas Polres Kota Pariaman – Sumbar itu bernama Albert Inez Goetora Hutagalung. Pria kelahiran Kota Medan 18 Juni 1991 yang kini berpangkat IPTU, ternyata pernah tergabung dalam petugas penjaga perdamaian PBB di Afrika Tengah.
Seperti apa perjalanan hidupnya semenjak terjun ke-dunia Kepolisian hingga kisahnya saat bertugas di Afrika, negara yang sedang konflik saat itu? Simak kupasan berikut ini.
Albert Inez Goetora Hutagalung merupakan anak semata wayang dari pasangan Samuang Hutagalung dan Ulina Sihombing.
Sedari kecil, Albert (panggilan) sudah bercita-cita menjadi polisi. Namun cita-cita itu tidak mudah diwujudkan, dia pernah gagal namun perjuangan terus menerus membuat ia dapat menggapai itu semua.
“Saya lahir dari keluarga yang sederhana, pekerjaan orangtua sebagai wiraswasta. Sementara cita-cita saya ingin menjadi seorang polisi,” ungkap IPTU Albert, saat ditemui di kantornya, Kamis 4 Februari 2021.
Lebih lanjut, pria yang pernah menempuh pendidikan dasar di SD Budi Murni 3 Medan itu menuturkan, tiga bulan sebelum kelulusan di SMAN 7 Medan (2008), ia telah bersiap diri untuk ikut Akpol (Akademi Kepolisian).
“Namun saat ingin mendaftar, ternyata perekrutan Akpol saat itu hanya menerima tamatan S1. Lulus sekolah saya ikut tes pada sekolah dinas yang lainnya. Namun sudah banyak pula yang datangi, hasilnya nihil, tidak ada yang lulus,” sebut alumni SMPN Putri Medan itu.
Tak jua masuk pada sekolah dinas, ia memutuskan untuk kuliah S1 Keperawatan. “Di tengah perjalanan kuliah (setahun), Akpol kembali dibuka untuk tamatan SMA. Kesempatan itu saya ambil dan menunda perkuliahan,” jelas Kasat Lantas yang berperawakan bule itu.
Saat itu tahun 2009, Albert menjalani tes dari Medan hingga Semarang. Tahapan tes AKPOL dijalaninya dengan mulus bahkan dia memperoleh nilai yang tinggi. Hal itu membuat Albert percaya diri bahwa dia akan lulus AKPOL.
“Saya yakin lulus AKPOL dengan segala nilai tes yang saya peroleh. Namun semua nilai bagus itu tidak menjamin kelulusan. Pas saat pantukhir (pemantauan akhir) saya gagal,” ulasnya.
Anak Medan itu terkejut dengan hasil pantukhir, dia kecewa dengan kegagalan tersebut.
“Saya stres dengan keadaan itu. Kenapa saat penentuan akhir saya gagal,” katanya.
Dari Semarang, Albert pulang membawa kegagalan itu ke Medan. Dia mengakui tahun itu merupakan tahun kegagalan baginya. Perlahan-lahan orangtuanya memberikan dukungan kepada anak tunggal mereka itu.
“Di Medan, saya tak lagi bisa meneruskan kuliah lantaran sudah banyak proses yang tertinggal. Saya kerja serabutan, bahkan saya pernah bekerja sebagai pelayan KFC. Ya saya harus bekerja untuk kebutuhan sehari-hari,” ungkap IPTU Albert.
Dalam perjalanan tersebut, Albert juga mendapat rezeki dan ia memutuskan untuk kuliah dengan jurusan komputer.
“Itu sekitar tahun 2010, saya kuliah sambil bekerja. Masuk pada semester dua, Akpol buka lagi. Namun saya dilema untuk mengambil kesempatan itu lantaran sebelumnya gagal saat Pantukhir,” jelas Albert.
Dorongan cita-cita menjadi polisi mengalahkan dilema Albert. Meskipun separuh hati dia ikut juga tes Akpol tanpa sepengetahuan orangtuanya.
“Diam-diam saya ikut Akpol lagi. Tahapan proses yang saya jalani berbanding terbalik dengan proses pertama. Jika sebelumnya saya peroleh nilai yang bagus, namun pada proses Akpol yang kedua nilai saya hanya pas-pasan saja,” sebut IPTU Albert.
Saat Pantukhir, kata Albert lagi, baru ia mengabarkan pada orang tuanya bahwa ia akan tes akhir Akpol sembari meminta restu.
“Saya bersiap-siap untuk tes akhir ke Semarang. Satu hari sampai di Semarang, KTP saya tinggal di Medan. Terpaksa orangtua yang mengantarkan dari Medan ke Semarang,” jelas Albert.
Singkat cerita, Albert dinyatakan lulus saat itu. Dia menjalani pendidikan pada 2013 dan pada 2014 tugas pertamanya menjadi seorang polisi di Polres Pasaman Barat. Pada 2018 Albert menjadi Kapolsek di Sicincin.
Seperjalanan kariernya, pada Juni 2019, Albert tergabung dalam Formed Police Unit (FPU). Bersama 139 anggota Polri lain, ia bertugas sebagai pasukan penjaga perdamaian di Bangui, Afrika Tengah.
“Saya bergabung di misi ini tahun 2019. Memulai pelatihan dari tahun 2018, melaksanakan tes di awal pendaftaran, lalu pelatihan 18 bulan dan pada 27 Juni 2019 satgas FPU 1 Indonesia diberangkatkan 140 orang,”ungkap Kasat Lantas itu.
Dari jajaran Polda Sumbar, tidak hanya Albert yang diutus, tiga orang personil Polda Sumbar lainnya juga ikut dalam misi PBB itu dan bertugas selama 15 bulan.
“Kami ditugaskan sebagai tactical troopsdansecurity camp di daerah yang tengah konflik itu. Misi FPU itu merupakan misi pertama dari Indonesia,” ungkap IPTU Albert.
Bagi Albert, itu merupakan misi perdamaian pertama dalam sejarah hidupnya. Setibanya di Afrika Tengah, mental 140 personil itu mulai diuji.
“Setibanya di sana, kami dihadapkan dengan situasi serba baru. Kami harus membangun area camp dari awal, di tengah negara yang sedang perang itu. Sebelum camp dibangun, di sana belum ada bangunan untuk kami, hanya lapangan luas,” jelasnya.
Albert dan personil lainnya terpaksa membangun camp dari awal hingga layak huni. Tambah lagi dengan kondisi cuaca yang kerap berubah, hujan petir bahkan banjir datang menerpa mereka.
“Misi kami bertambah, selain menjaga perdamaian kami juga harus survive (bertahan) dengan kondisi cuaca. Butuh waktu tiga bulan untuk beradaptasi dengan cuaca di sana,” katanya.
Selama misi, ia harus berhadapan dengan kelompok bersenjata di daerah Bangui. Posisi mereka di tengah, sementara itu pada tiap wilayah terdapat kelompok yang saling tembak menembak.
“Saat peluru melesat ke dalam camp, kami tiarap. Bahkan saat patroli kami pun sempat beberapa kali dihadang oleh kelompok bersenjata,” kenang Albert.
Dikatakannya juga, pada suatu ketika, dia menjadi ketua patroli. Saat patroli dengan anggotanya, terjadi gencatan senjata antara kelompok sementara posisi mereka di tengah-tengah.
“Gencatan senjata ketika itu menelan korban sebanyak 25 orang,” ungkapnya.
Kendatipun demikian situasinya, menurut Albert, hal yang paling memilukan baginya bukan soal konflik senjata namun lebih kepada kemanusiaan.
“Di mana anak-anak busung lapar tengah berlindung dari gencatan senjata. Di sana sulit mencari makan, air minum, tidak ada sekolah. Misi ini lebih kepada misi kemanusiaan,” ungkap Albert.
Begitulah cerita IPTU Albert selama 15 bulan di Afrika Tengah. Setibanya di Indonesia Albert merasa bersyukur dengan kondisi negara ini.
“Di sini kita masih bisa makan dengan kenyang, minum dengan puas, berjalan kemanapun dengan tenang. Hal ini tidak kita temukan di sana,” sebut IPTU Albert.