Tak habis pikir, mengapa Ni Emi tega betul menebang pohon cengkeh di parak. Padahal dia juga sering mengambil hasil parak; pisang, cengkeh dan kelapa. Tapi hari itu, entah setan apa yang berbisik ke telinganya sehingga sebatang pohon cengkeh yang sedang berbuah lebat ia tebang. Ia tau itu adalah pohon cengkeh satu-satunya yang bisa diharapkan. Bahkan pohon cengkeh itu berbuah tak mengikuti musimnya.
Suatu malam, Ni Emi datang ke rumah. Dengan sekarung ukuran 20kg, kemudian ia menyerakkan cengkeh yang sudah dipisah dari tangkai. Ia kata dengan sedikit terbata, โterimalah jatah terakhir kalian ini!,โ sebutnya sambil terus menuangkan isi karung. Aku kaget, ayah duduk tenang sambil menatap dalam-dalam perlakuan Ni Emi. Di ruang tamu, ibu menyuguhi segelas teh panas dan sepiring goreng talas. Kata ibu, โcicipilah talas kami, Ni. Itu hasil parak belakang rumah.โ
Mendengar tawaran ibu, Ni Emi sontak berang. โO… sudah punya hasil parak sendiri kamu, ya!โ sebut Ni Emi.
โYa, kan tidak salah menyuguhi Uni hasil parak kami,โ jawab ibu tenang.
โSeolah-olah kau mau mengatakan bahwa kau juga punya warisan.โ
โHah! Sampai pula ke sana pikir, Ni Emi?โ tanya ibu.
โKau memang sudah sering berlagak kulihat. Mulai dari membeli motor, sampai menyekolahkan anakmu ke Padang.โ
โKeluarga orang malah berebut patungan untuk menyekolahkan anak-anaknya, Uni Emi malah berang kami sekolahkan anak tinggi-tinggi.โ
โKarena anakmu sekolah, suamimu jadi sering ke parak kami.โ
Mendengarkan perdebatan dua wanita itu, ayahku beranjak pergi. Aku menyaksikan adegan drama keluarga itu di ruang tamu. Ibu tetap bersikeras menolak pernyataan Ni Emi atas sekolahnya kakakku ke Padang. Ibu tetap dengan pendiriannya; jika ia tidak sempat mengenyam pendidikan, paling tidak anaknya tidak merasakan hal serupa. Tapi bagi Ni Emi, tamat SMA saja sudah cukup untuk melanjutkan hidup. Padalah kenyataannya, anak-anak Ni Emi nyaris semuanya sekolah di perguruan tinggi. Ada pula yang di luar Sumatra. Dan ayah adalah satu-satunya saudara Ni Emi yang mendukung penuh pendidikan ponakannya itu. Bahkan suatu waktu, ayah terpaksa memberikan jatah belanja kakak untuk ponakannya. Itu pula yang kadang-kadang jadi buah bibir ibu kalau-kalau sudah membahas masalah keluarga. โNi Emi itu memang maruk, semua warisan maunya dia yang menguasai, kalau soal susah-susah, barulah mamak dianggap ada.โ
***
Pagi yang murung, ketika matahari begitu terik dan udara menebar aroma perapian dari tungku ibu. Aku lihat ayah sedang mengasah ladingnya. Hari itu kami memang berencana untuk ke parak. Tahun ini sedang musim kuini, kebetulan kuini di parak ayah sedang berbuah. Aku sering menanyakan sebenarnya parak itu milik siapa. Kata ayah, itu adalah pusako. Memang secara adat, Ni Emi lah ahli waris tunggal, karena dia adalah satu-satunya perempuan di antara saudara-saudara ayah. Sedangkan anak laki-laki hanya dapat hak pakai. Hak pakai bersifat sementara saja, kalau-kalau hidup merasai. Anak perempuan memegang andil sepenuhnya untuk tanah pusako itu. Bila pusako rendah (pembelian orang tua) bisa saja dijual oleh Ni Emi itu. Tapi kalau pusako tinggi (warisan kaum turun temurun) rasanya tidak akan bisa, karena akan melalui persetujuan kaum atau suku kita. โTapi kan itu Ni Emi, bahkan, mungkin Tuhan saja tidak tau pikirannya.โ ucap ayah sembari mengusap-usap lading memastikan ketajaman.
Kami sudah mengatur rencana ke parak setelah mendapat kabar bahwa Ni Emi akan menghadiri wisuda anaknya di Padang. Anak sulung yang kawin lari itu memberi kabar melalui surat yang dibawa oleh seorang kernek bus langganannya. Aku tahu betul cerita anak sulung Ni Emi itu. Sebagai keturunan orang terpandang di kampung, Ni Emi tidak mau anaknya menikah dengan perempuan yang tidak jelas bibit-bobotnya. Paling tidak punya suku. Anak sulung Ni Emi ini menikah dengan perempuan Jawa. Itu yang membuat Ni Emi berang, โMau anakmu tidak punya bako dan suku?โ Itu yang kerap disebut-sebut Ni Emi kepada sang anak. Ayahku sebagai mamak dalam situasi sulit, pertama sang ponakan memohon-mohon bantuan, kedua, Ni Emi ada benarnya karena dia adalah keturunan Puti di kaumnya. Berdarah biru begitu. Tapi ayah tidak bisa menolak permohonan ponakannya itu. โSi bujang sialan itu rupanya sudah dulu bertanam sebelum membajak.โ
Situasi itu juga diketahui Ni Emi, dia benar-benar tidak peduli. Kata Ni Emi, biarkan dia tetap memanen sawah tak dibajak itu, asal bukan kau penyabitnya. Sialan, Ni Emi sungguh kelewat nalar. Jelas sang anak tidak mau, akhirnya dia menikah tanpa kehadiran Ni Emi. Hal itu juga menjadi pemicu mengapa Ni Emi jadi mudah marah kepada ayah. Kalau sifat maruknya memanglah sudah perangai sejak lama. Ayah menjadi wali nikah anak Ni Emi, ayah tidak tega melihat ponakanya murung kelewatan, selain itu bagaimana sanggup ayah melihat si perempuan itu menyabit sawah sendiri. Terlebih aku juga punya saudara perempuan.
***
Suatu petang yang nyalang ketika matahari rebah dan rinai tiba-tiba jatuh. Kami pulang dari parak membawa sekarung cengkeh. Hari itu sengaja tidak kami pisah antara tangkai dan buah. Kami mau melepas tangkai dan buah di rumah, sebab tangkainya dibeli toke juga. Aku tidak tau persis, tapi pernah suatu kali toke mengatakan tangkai itu biasanya buat rokok-rokok rumahan atau semacam rokok murah begitu. Si toke sambil bercanda menunjuk ke arah rokok milik ayah. Sejak saat itu, aku selalu memungut tangkai yang sudah terpisah dengan cengkeh. Biasanya ayah memberikan tangkai itu ke seorang kerabat untuk sekadar membantu uang dapur. Namun, sejak aku mulai memungut tangkai cengkeh untukku jual, ayah jadi berang padaku. Katanya, โsudah serupa Ni Emi rupanya.โ
Parak yang sudah menjelma jadi pertengkaran itu awalnya ditanami pohon-pohon harapan, yang berbuah bila musim tiba, yang memutus buhul sulit saat mata pencaharian tersendat. Parak yang awal mulanya menurut ayah adalah tempat mengadu kalau-kalau orang tuanya tiada, kini menjadi janggal. Setelah kepergian nenek dan kakek, aku kerap mendengar bahasan tentang parak itu, yang murung bahkan aneh. Parak Gadang telah menjadi rebutan, baik ayah bersaudara maupun sepersukuan. Bagaimana tidak, sejak kematian kakek, parak itu semakin semak. Hanya ayah yang sesekali berusaha membersihkan. Setiap dibersihkan, tiap itu pula Ni Emi akan berujar, โambil lah kelapa agak satu untuk gulai.โ
Tak habis pikir, mengapa Ni Emi begitu terdengar arogan. Padahal saudara ayah lainnya sudah bersepakat, Parak Gadang boleh menjadi hak pakai anak laki-laki. Sedangkan parak lainnya, silakan dikuasai Ni Emi. Mau tidak mau kesepakatan itu harus dibuat, karena hanya ayah dan Ni Emi yang menetap di kampung. Kesepatakan yang sudah dibuat itu dan didengar Ni Emi pula, malah dialah orang yang selalu membuat ayah kian sulit dalam mengolah parak.
Ayah pernah tidak mau lagi mengurus soal pusako itu. Tapi Ni Emi memang aneh orangnya. Kalau-kalau ayah tidak ke parak kurun waktu sebulan, dia malah memohon pula minta tolong untuk memerhatikan parak. Entahlah, mereka sudah serupa dua arah yang berlawanan. Masa-masa mereka akur hanya ketika Ni Emi meminta bantuan mengurus urusan anak-anaknya. Setahuku, ayah tidak pernah menolak sekalipun bila Ni Emi minta tolong menyoal anak-anaknya. Tapi kalau sudah menyoal pembagian uang kontrak tanah yang dikontrakan pada sebuah perusahaan komunikasi, tak tanggung gigihnya. Bahkan Ni Emi pernah kesurupan dan menggila. Bagian ini yang paling dibenci ibu. Ibu sangat mengutuk bagian ini kalau-kalau kakak beradik itu berdebat. Ibu tahu bahwa Ni Emi di masa lampau pernah mengalami kejadian mistik, Ni Emi dipercayai menjadi pewaris tunggal kaumnya; benda dan tak benda. Tapi ibu kan lain pula, semakin menjadi Ni Emi melihatkan perangainya, semakin kencang pula ibu mengabaikan. Kata orang-orang, โsuku ayah dan ibu memang serupa langit dan bumi, jadi Ni Emi tidak akan pernah mau merasa di bawah. Apalagi menuruti kata ibu.โ
Ayah tidak banyak bicara kalau-kalau Ni Emi datang ke rumah dengan tujuan memancing debat dengannya. Ni Emi tahu betul, itu sebabnya ia kerap mendatangi rumah hanya untuk berkomentar atau mengadu nasib sialnya saat sanak kerabat menentangnya. Ni Emi memang tak pandang bulu kalau berang, bahkan hanya menyoal satu buah kelapa saja. Ia mau beribut-ribut sepanjang kampung. Entah bagaimana sifat maruk dan egois itu melekat padanya. Padahal secara silsilah keturunan, ia benar-benar keturunan seorang Puti (keturunan raja atau anak raja). Ibunya, Rosini, tidak memiliki perangai serupa. Memang juga pemberang, tapi tidak maruk. Apalagi terhadap warisan. Ibu Ni Emi lebih bijaksana, tak heran beliau jadi panutan orang di kampung. Sekarang, setelah beliau tiada, hanya tinggal segannya saja. Barangkali itu alasan utama orang tidak meladeni Ni Emi ketika ia meracau.
โSegan kita sama Bundo Rosini, dia yang membantu anak kemenakan kita sekolah.โ
โIya, mengalah saja. Anggap saja balas budi kita kepada ibunya.โ
โTapi, kadang-kadang terlalu kelewat maruk. Dulu semasa Bundo hidup, kita masih dapat meminta agak satu buah kelapa buat menggulai, memiuh ruku-ruku, memetik limaunya.โ
โYa, kan seimbang. Toh, juga ada adiknya sebagai pengganti Bundo Rosini yang selalu mau membantu kita.โ
Barangkali, Ni Emi adalah babak lain dari cerita mereka dengan Bundo Rosini. Dan ayah mengikut dalam babak itu sebagai pengimbang segala laku yang pernah ada semasa ibundanya hidup. Meski Ni Emi tidak pernah ikut menanam tumbuhan yang ada di parak, dia seolah tahu betul bagaimana proses penanaman tumbuhan di parak. Jelas-jelas sudah ada pembagiannya. Tapi Ni Emi sungguh tak termakan nalar. Baginya tidak ada pusako tinggi dan rendah. Jika kedua orang tua sudah mati, maka anak perempuan lah yang memiliki hak seutuhnya. Bahkan saudara laki-laki pun tidak diperbolehkan menaruh hak apapun di sana.
***
Tak pernah seberang itu ayah kepada ibu. Setelah kedatangan Ni Emi malam itu sambil menyerakkan cengkeh di ruang tamu. Ibu mengkal, dan menarik Ni Emi keluar. Kata-kata ibu benar-benar tak termakan ayam, tak terluluh itik. Malam yang murung, ketika ayah bersiap pulang ke rumahnya untuk melihat keadaan Ni Emi, aku memerhatikan ibu nampak murung. Bahkan ia juga buru-buru ke dapur, entah apa yang dimasak. Asap mengepul, dari luar aku lihat dapur sudah serupa kebakaran. Bunga api sesekali mengikuti arah angin. Sekeliling menyeruak aroma cengkeh, cengkeh yang tak bertembakau, tak dibakar dengan sigap serupa ayah.
Arif Purnama Putra, lahir di Surantih, Pantai Barat Sumatra. Buku tunggalnya yang telah terbit โSuara Limbubuโ (JBS, Yogyakarta 2018) dan sebuah novel โBingaโ (Purata Publishing, 2019). Karya-karyanya pernah dimuat beberapa media, seperti Suara Merdeka, Haluan, Solopos, Rakyat Sultra, Minggu Pagi, Tempo, Kompas.id, Bacapetra dan lainnya. Sekarang berkegiatan di komunitas Serikat Marewai, website marewai.com. Beberapa karya tergabung dalam Penulisan Esai Sejarah Jalur Rempah di Pantai Barat dan Timur Sumatra (2021, BPCB Sumbar), Penerima Anugrah Sastra Andalas 2022 Penulisan Cerpen Bahasa Minangkabau, Penulisan Cerpen Konfercab Maroko (2016), 10 Terbaik Resensi Buku Sastra Melayu, (Sampena Malaysia 2018), Pemenang Lomba Menulis Essay Festival Silat Tradisi Nusantara (2024), Pemenang Puisi Visual Payakumbuh Poetry Festival 2022, Emerging Ubud Writers and Readears Festival UWRF 2024 dan lainnya.
Temui saya di; pemikiranlokal.blogspot.com, instagram: @arif_p_putra facebook: Arif P Putra