Ondeh! Malin merutuki bulan sekerat dan kecipak riak yang kian menggelegak. Sambil menuruni undakan bebatuan di tepian danau, ia terus saja menyumpahi malam yang tak berpihak.
โSaruo sudah dipasang, riak datang!โ
Senja raya tadi ia telah memasang saruo, perangkap ikan bada. Tidak hanya empat seperti biasa, tapi tujuh sekaligus! Telah ia pinjam saruo Damik, dengan kesepakatan bagi hasil. Sepertiga untuk pemilik, selebihnya untuknya.
Harga ikan-ikan kecil penghuni Danau Maninjau itu memang tengah tinggi. Yang basah dihargai lima puluh ribu, dan yang sudah disalai bisa empat kali lipatnya. Penyebabnya tentu tak lain karena orang-orang berada dari rantau sedang banyak yang pulang kampung. Mereka tentu sudah sangat rindu ingin menikmati ikan bada bertelur yang dimasak dengan sambalado hijau.
Sudah menjadi adatnya bahwa orang rantau pulang membawa banyak duit. Kalau duit di kantong hanya pas-pasan, mana berani mereka pulang. Tak bisa membelikan orang yang duduk di kedai sebatang dua batang rokok akan membuat mereka malu.
Dan ikan bada! Itu adalah bagian dari hidup orang-orang yang berkampung di pinggir danau ini dari kecil. Tak akan lengkap perjalanan ke kampung halaman tanpa makan ikan bada dan membawanya kembali ke tanah rantau sebagai buah tangan. Bada salai atau goreng kering akan terus menautkan hati mereka dengan kehangatan kampung halaman.
Dengan alasan itulah, sudah menjadi kesepakatan pula di antara para nelayan di kampung, setiap kali para perantau pulang, harga ikan bada akan dinaikkan dari harga biasa.
Orang dari rantau juga sebenarnya sudah tahu, dan mereka pun tak pernah merasa keberatan. Mungkin begitulah cara mereka menghargai orang-orang kampung dan membagi-bagi rezeki yang berlebih.
Itu pulalah yang membuat Malin begitu bersemangat memasang saruo hingga tujuh buah, meski sejak pagi orang-orang di kedai sudah membicarakan tentang kemungkinan badai malam itu.
Di Danau Maninjau ini, badai datang sesuka hatinya. Memang ada musim-musim tertentu yang menjadi langganan badai, tapi tak jarang pula angin dari arah Tiku datang tanpa pertanda.
Malam kemarin, ikan bada menepi dalam jumlah besar. Malin tentu hanya mendengar ceritanya saja dari Damik, yang pagi tadi menjual bada segar tiga baskom penuh ke salah satu perantau. Mungkin tujuh kilo lebih. Dikalikan lima puluh ribu. Dengan uang sebanyak itu kau tak perlu risau lagi memikirkan belanja kebutuhan dapur hingga sepekan ke depan.
Andai tadi malam Malin tak harus menghadiri acara syukuran di rumah Pilik, salah seorang kemenakan jauh yang pulang dari rantau, ia tentu juga sudah menjual beberapa kilo bada ke para perantau. Namun, apa mau dikata. Sebagai pemangku adat, pembawa gelar sako Malin Karajan, menghadiri undangan kemenakan sekaum adalah bagian dari tugasnya. Apa kata orang jika seorang penghulu suku tak hadir ke acara di rumah kemenakan hanya gara-gara ikan bada?
โWahid yang tak pernah memegang tangguk saja bisa dapat satu ember penuh.โ Damik menyebut nama salah seorang perantau yang baru pulang dari Jawa. โDari rumah Pilik, ke mana saja kau sampai tengah malam? Sudah kupanggil-panggil ketika lewat di belakang rumahmu, tapi tak ada yang menyahut. Rugi besar kau tak turun ke danau tadi malam!โ
Sebenarnya ia tak akan rugi-rugi amat jika Pilik juga membagi-bagikan amplop sebagai uang pembeli rokok, seperti yang sudah menjadi kebiasaan para perantau setiap kali menggelar acara di kampung. Sudah sangat lazim hal seperti itu dilakukan sejak lama. Jika pun tak bisa membagikan amplop ke semua hadirin, setidaknya kepada pemangku adat seperti dirinya sudah cukup.
Namun dasar kemenakan yang satu itu pelitnya minta ampun. Selepas acara makan-makan dan berdoa selesai, tak ada gelagat sama sekali bahwa Pilik akan membagi-bagikan amplop. Mungkin karena tamu masih banyak yang duduk-duduk di beranda, pikir Malin. Dan ia pun bertahan lebih lama, menunggu orang-orang pulang. ย Ia tanyakan macam-macam hal kepada kemenakannya itu, berharap Pilik akan mengerti dan segera mengeluarkan amplop dari sakunya. Namun sampai malam berembun, yang diharapkan tak juga jadi kenyataan. Pilik malah asyik dengan kameranya, mengambil video entah apa sambil sesekali tampak tertawa tak jelas. Bahkan, ia sempat pula meminta Malin melambai-lambaikan tangan ke kamera.
โSenyum, Mak[i]. Ini nanti masuk ke yutup. Banyak yang nonton!โ seru Pilik.
Sepanjang jalan pulang, Malin tak henti-hentinya mengumpat. Apalagi ketika istri dan anak perempuannya โ yang membantu urusan dapur dan ikut bertahan sampai tengah malam bersamanya โ mengatakan bahwa mereka juga tak dikasih apa-apa selain bungkusan gulai rebung dan kue-kue sisa syukuran.
Jika tadi malam ia turun ke danau, mungkin ia bisa menjual bada lebih banyak dari Damik. Tujuh kilo yang didapat laki-laki itu hanya dengan menangguk, karena ia lupa memasang saruo. Bayangkan, berapa banyak yang bisa ia dapat jika Malin ikut menangguk dan memasang saruo?
โWahid katanya masih ingin membeli bada, karena mau dibawa ke Jakarta juga. Kau carikanlah dia malam ini. Farida anaknya Angku Jamin juga sedang mencari banyak bada basah untuk rumah makannya di Bandung,โ ujar Damik pagi itu di kedai.
โKau tak ke danau nanti malam?โ Malin melempar tanya.
โMasih belum hilang benar penat di badanku. Sampai jam satu aku menangguk bada. Kau bayangkan saja.โ
โYa, jangan semua bada di danau buat kau, Damik! Sudah cukup itu tujuh kilo buatmu!โ Terdengar seorang pengunjung kedai berseloroh.
โKami juga dikasih jatah!โ Yang lain ikut menimpali. โBelum ada kurasakan uang orang rantau!โ
โTapi Malin Karajan mungkin tak perlu turun ke danau untuk dapat uang orang rantau,โ suara yang lain pula, yang diiringi oleh gelak berderai dari pengunjung semuanya. โUang kemenakan dari Jakarta pasti belum habis!โ
Malin tak tahu harus berbuat apa selain membalasnya dengan senyum terpilin.
โKatanya Pilik sudah punya tiga petak toko ya, Malin, di Tanah Abang?โ
โMungkin,โ jawab Malin singkat sambil menarik sebatang rokok dari bungkusnya dan menyulutnya segera. Butuh beberapa kali kerekan baru rokoknya menyala.
โBukan cuma di Tanah Abang. Kudengar juga dia sudah punya ruko di tempat lain.โ Damik ikut menanggapi. โBenar itu, Malin?โ
โBisa jadi begitu,โ balas Malin. Ia isap rokoknya dalam-dalam lalu mengembuskan asapnya ke langit-langit.
โAda juga yang bilang dia buka toko onlen. Apa itu namanya yang berdagang di internet?โ Kali ini Mawan si pemilik kedai yang bersuara.
โPesbuk?โ Tanya yang lain.
โYutup?โ
โKalau yutup lain pula. Dia memang juga punya yutup. Anakku sering menonton yutup Pilik. Macam-macam saja video yang dia buat. Tapi kata anakku, kalau skreber dan yang nonton banyak, kita bisa dapat banyak uang dari yutub.โ
โBukan skreber namanya, tapi member!โ
โEntahlah. Pokoknya yang di internet itu.โ
โTak heran. Otonya juga baru kulihat.โ
โTebal pastinya amplop dari Pilik ya, Malin?โ
โTak perlulah Malin Karajan ke danau dalam sebulan,โ cemooh yang lain.
Merah telinga Malin. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa. Mencemooh dan dicemooh adalah hal biasa jika kau datang dan duduk di kedai. Cukup kau ikut tertawa, dan senda gurau berbungkus cemoohan itu akan beralih ke orang lain.
Begitu ia tak lagi jadi sasaran pengunjung kedai, lamat-lamat Malin bertanya pada Damik. โKalau kau memang tak turun ke danau nanti malam, bolehkah aku pinjam saruomu?โ
Malin sudah menghitung-hitung, jika ia memasang empat saruo miliknya ditambah tiga saruo dari Damik mungkin ia bisa mendapatkan bada sampai belasan kilo. Apalagi jika ia turun menangguk, sudah pasti bada yang didapat akan makin banyak.
Mendapat persetujuan dari Damik, Malin langsung pulang dan bersiap-siap menggali pasir dan kerikil di tepian danau untuk tempat memasang saruo.
Sampai tengah hari barulah Malin selesai membuat dasar untuk menaruh saruonyo. Ia bergegas ke rumah Damik, mengangkut tiga saruo yang sudah ia pinjam, lalu menjejerkannya bersama saruo-saruo miliknya. Ia amati satu persatu saruo itu, mencari lubang atau kerusakan di setiap bagiannya. Ikan bada bertubuh kecil memanjang dan licin, sangat pintar mencari celah untuk meloloskan diri. Sedikit saja ada lubang tak wajar, ikan-ikan bersisik keperakan itu akan kabur ke tengah danau.
Namun, karena memang biasanya saruo-saruo itu dirawat dengan baik, tak banyak yang harus diperbaiki Malin selain bagian kawat di beberapa sisi yang perlu dieratkan dengan tang. Setelah itu, ia memindahkan saruo itu ke tepian danau, siap untuk dipasang ketika senja tiba.
Selain di sekitar muara Sungai Lumuik di balik tanjung sana, tepian di belakang rumah Malin yang landai dan berpasir dengan kerikil-kerikil bersih oleh sapuan anak sungai dari gunung juga menjadi tempat tujuan ikan-ikan bada menggesek-gesekkan perut mereka yang penuh telur.
Di kedua sisi anak sungai yang muncul dari rongga bebatuan itulah Malin memasang saruonya. Tentu saja ia tak segesit dulu lagi. Butuh hampir dua jam baginya memasang semua saruo itu dengan sempurna di dudukannya masing-masing. Dulu dengan kaki saja ia bisa menyibakkan kerikil dan pasir di tepian danau jika dudukan saruonyo masih belum dirasa pas, sehingga pekerjaannya bisa dilakukan dengan cepat. Namun kini ia harus bolak-bolak mengukur saruo, memastikan kedalamannya, dan menggali tepian danau dengan cangkul untuk menutupi semua sisi perangkap ikan bada itu.
Begitu menutup bagian atas saruo dengan bilah seng bekas dan daun kelapa kering, Malin berdoa semoga bada kembali menepi dalam rombongan besar dan masuk ke perangkap yang sudah ia pasang. Bakda Isya ia akan kembali ke danau, mengecek saruo-saruo itu dan menangguk ikan bada yang menepi.
Namun, demikianlah, bulan sepotong muncul begitu saja. Lalu angin dari arah Tiku betiup dengan kencang. Pohon-pohon kelapa yang tumbuh di belakang rumahnya tampak seakan mau roboh diterjang angin. Kain basahan yang tadi ia sampirkan di jemuran belakang berkibar-kibar menghantam dinding rumah.
โOndeh!โ Malin merutuk sambil menuruni undakan bebatuan menuju tepian danau. Kalau ia tak segera mengeratkan lilitan sarung di lehernya, mungkin kain itu sudah melayang entah ke mana.
Bergegas ia menuju saruo-saruo yang sudah ia pasang. Baru beberapa langkah, ia dengar suara benda keras seperti beradu dengan batu. Tak salah lagi, bilah seng yang ia pakai untuk menutupi bagian atas saruo telah diterbangkan angin danau. Dan tak menunggu lama hingga bilah-bilah seng yang lain juga ikut terangkat dan terbang menghantam batu atau batang pohon di tepian.
Kecipak danau, sementara itu, terdengar semakin keras.
Gawat, pikir Malin. Ia harus segera mengangkat semua saruo yang telah ia pasang. Jika badai tak kunjung reda, saruo-saruo itu bisa hancur atau diseret ombak ke tengah danau. Namun, jika ia memaksakan diri ke sana sekarang, bilah-bilah seng itu bisa saja kembali diterbangkan angin dan melukainya.
โKomi! Siti! Ke sinilah!โ Di tengah kepanikan yang melanda, Malin memanggil istri dan anaknya. Namun, ia sendiri pun tak yakin apakah mereka mendengar suaranya di tengah desing angin yang berpulun-pulun.
Ber geleber pang! ย Bilah seng kembali terdengar menghantam bebatuan di pinggir danau. Dan, dari kejauhan, diterangi binar muram bulan sepotong, Malin melihat beberapa saruo lepas dari dudukannya dan terapung-apung diseret ombak.
Naluri belaka yang mendorong Malin belari menuju saruo yang terseret ombak. Tinggal beberapa langkah lagi hingga ia bisa mencapai saruo itu ketika tiba-tiba saja setandan besar kelapa jatuh tepat menimpa kepalanya.
Ia terperenyak. Telinganya berdenging hebat. Sebelum kesadarannya benar-benar hilang, sayup-sayup Malin mendengar seseorang berteriak dan berlari ke arahnya. Kepalanya yang pusing bertambah berat ketika lampu entah apa menyorot bola matanya.
โGais, ini parah banget! Kayaknya dia baru saja tertimpa setandan kelapa. Kita harus segera membawanya dari sini. Ikuti terus siaran langsung gue…โ ujar suara itu.
Kemudian ia tak mendengar apa-apa lagi.
***
Bangun-bangun, Malin mendapati dirinya sudah berada di salah satu ruang puskesmas. Kepalanya yang terlilit kain entah apa terasa berdenyut-denyut.
โUntung ada Pilik yang sedang mengambil video tak jauh dari tepian kita. Kalau tidak, mungkin Kak Tuo juga ikut diseret ombak ke tengah danauโฆโ Komi bercerita kepadanya.
โSaruo-saruo itu hanyut semua?โ Ia paksakan bertanya.
โJangankan saruo, keramba saja banyak yang hanyut!โ
Mendengar itu, kepala Malin terasa kian pengar.
โBukan untung, malah utang yang kudapat.โ Malin masih bisa merutuk.
โTapi ini sengsara membawa nikmat,โ kata istrinya kemudian.
โSuamimu seperti ini kau bilang nikmat?โ
Komi mengambil sesuatu dari bawah kasur. โTadi malam Pilik kasih ini.โ Ia menunjukkan sebuah amplop kepada Malin. โSudah kubuka. Satu juta isinya!โ
Belum sempat Malin mencerna kata-kata Komi, istrinya itu melanjutkan. โKatanya video yang ia ambil tadi malam saat badai itu piral. Tak tahu aku, tapi Siti bilang kalau video piral kita bisa dapat uang banyak.โ
Komi masih terus bercerita, sementara pikiran Malin melayang ke mana-mana.
Tentu saja mereka berdua belum menonton video live yang sudah diunggah Pilik ke Youtube itu. Video berjudul โMengerikan! Demi menyambung hidup, nelayan ini hampir mati di danau โ live dari tempat kejadian!โ itu memang telah ditonton oleh jutaan orang sejak tadi malam. Dan Malin yang tengah semaput ada di dalam video yang diambil kemenakannya itu. ***
Arizona-PP, 2023/25
[i] Mak/Mamak: Panggilan kepada saudara laki-laki Ibu atau pemangku adat di Minangkabau
AFRI MELDAM, lahir dan besar di Sumpur Kudus, Sumatera Barat. Menulis cerpen dan puisi. Cerpennya โPemetik Getah Damarโ terpilih sebagai Best Short Story Scarlet Pen Award 2024 dan buku kumpulan cerpennya โOrang-orang Lembahโ meraih juara II Hadiah Sastra Ayu Utami untuk Pemula โRASAโ 2024. Pada tahun yang sama, karyanya menjadi Pemenang III pada Lomba Penulisan Cerpen Peringatan 100 Tahun A.A. Navis yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Sumatera Barat.