KLIKPOSITIF – Beberapa waktu lalu, sebuah tulisan dikirimkan oleh dosen saya pada sebuah grup whatsapp. Judulnya Ranking 1 yang Tak Lulus. Isinya tentang pelamar ASN dosen yang digagalkan. Pelamar tersebut memiliki track record yang sangat cemerlang, diujian inipun ia dapat ranking 1 dengan nilai 421. Nilai CAT-nya pun tergolong tinggi : 271. Tapi pada keputusan akhir ia tidak diterima. Ia mendapat nilai yang sangat rendah diujian micro teaching, dalam ujian penguji mengkritik bahan presentasinya karena tidak menggunakan literatur berbahasa Indonesia. Agaknya inilah penyebab ย sipelamar tidak lulus meskipun ia peringkat 1.
Tulisan tersebut kemudian dikirimkan beliau ke media dan dimuat. Tulisan itu mendapatkan atensi dari sejumlah tokoh di Sumatra Barat. Seorang mantan rektorย Universitas di Padang, merespon tulisan beliau melalui whatsapp. Seorang lagi, masih menjabat rektor, langsung menelpon. Penguji yang menjatuhkan anak beliau mendapatkan sanksi berat dari rektor bersangkutan. Penguji tersebut tidak diberi mata kuliah disemester depan.
Ombudsman pun merespon, salah seorang komisioner perwakilan Sumatra Barat mengirimkan video kepada beliau dan mengatakan mendukung dosen saya tersebut untuk melaporkan kasus ini kepada ombudsman RI melalui perwakilan Sumatra Barat. Begitulah kekuatan tulisan. Menulislah maka kau ada. Begitulah kekuatan media, dapat menggerakan banyak sendi.
Dalam bukuย Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi (1993) oleh Onong Uchjana Effendy, bila komunikator di media massa menembakan peluru yaitu pesan kepada khalayak dan dengan mudah khalayak menerima pesan yang disampaikan media disebut teori jarum suntik. Model ini berasumsi media massa secara langsung, cepat, dan mempunyai pengaruh yang kuat atas khalayak. Asumsi teori ini, media massa mampu memengaruhi khalayak dengan pesan yang disampaikan. Khalayak banyak dan tidak ada hubungan satu sama lain. Teori jarum hipodermik juga berasumsi bahwa elemen komunikasi, seperti komunikator, pesan, dan media memiliki pengaruh kuat dalam komunikasi. Teori jarum suntik dikatakan sebagai teori peluru, karena komunikan secara pasif menerima apa yang disampaikan oleh media.
Secara sederhana Keith R Stamm dan Jhon E Bowes dalam Nurudin (2019) membagi efek komunikasi massa menjadi 2 bagian besar, efek primer dan sekunder. Efek primer meliputi terpaan, perhatian dan pemahaman. Efek Sekunder meliputi perubahan pengetahuan, sikap dan perubahan perilaku dalam menerima dan memilih. Apa yang saya tuliskan diatas hanyalah satu contoh saja. Ada banyak kisah lainnya yang kemudian direspon, diproses karena diangkat di media massa. Terlebih jika goes viral. Maka diprosesnya akan lebih cepat. Karena media massa telah membentuk pemahaman khalayak yang mengaksesnya, membentuk opini yang kemudian berpotensi berkembang dimasyarakat. Tak heran kemudian muncullah istilah No Viral, No Justice.
Itu juga sebabnya, sebagian masyarakat merasa harus menyampaikan uneg unegnya melalui media. Media, baik massa maupun sosial adalah produk masyarakat modern yang sangat penting dilihat dari sisi budaya, ekonomi maupun politik. Bahkan media dianggap sebagai kekuatan keempat yang melengkapi tiga kekuatan yang ada dalam negara: legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Jika istilah No Viral No Justice muncul karena media mampu me-higlight suatu peristiwa yang tersembunyi, maka ada unsur lanjutan lain dari kekuatan media tersebut. Masyarakat khalayak media yang bersangkutan. Anda mungkin sudah mendengar istilah The Power of Netizen.
Khayalak media, khususnya media social yang sering dibahasakan sebagai netizen berkali kali membuktikan kekuatan mereka. Ambil contoh kasus penjaga kambing bernama Muhyani yang membunuh pencuri ternaknya Desember 2023 lalu. Sempat dijadikan tersangka, kasusnya dihentikan setelah masyarakat bereaksi. Kasus serupa juga terjadi sebelumnya. Pemuda bernama Amaq Sinta melawan begal yang hendak mengambil motornya. Pembegal tewas akibat perlawanan tersebut, namun justru ialah yang dijadikan tersangka. Kasus juga dihentikan setelah mendapat sorotan luas dari masyarakat. Tak hanya dalam negeri, netizen Indonesia bahkan sempat diberitakan oleh media internasional karena aksi mereka pada akun akun Israel, sebagai bentuk dukungan terhadap kekejaman di Palestina. Tidak sedikit dari akun itu yang mengeluhkan kekuatan โseranganโ dari netizen Indonesia.
Hanya saja, tak bisa ditampik bahwa media massa tentu mempunyai efek lain. Tak hanya perubahan positif yang bisa dibangun oleh media. Sebaliknya ada potensi perubahan negatif. Media sering dikritik karena dapat menjadi kanal penyebaran pesan propaganda asing yang merusak budaya, mengajarkan moral ekonomi yang merusak dan penetrasi politik asing.
Media terkadang juga terjebak dalam agenda setting pemiliknya. Misal di Indonesia, pemilik media adalah seseorang yang terafiliasi pada politik dan kelompok tertentu. Pemberitaan pun akhirnya hanya untuk kepentingan pandangan politik dan kelompok tertentu, yang tentu saja menghalangi keragaman sudut pandang yang seharusnya disajikan oleh media kepada khalayaknya.
Menurut McQuaail dalam Littlejohn (2018) dalam pandangan marxisme klasik di teori kritis media, media dipandang sebagai alat bantu dari kelas yang dominan dan sebuah cara untuk para kapitalis untuk menunjukkan ketertarikan mereka dalam menghasilkan keuntungan. Media menyebarkan ideologi yang berkuasa dalam masyarakat dan dengan demikian mereka menindas golongan tertentu. Cabang lain adalah teori ekonomi politik yang seperti marxisme klasik, menyalahkan kepemilikan media bagi keburukan masyarakat. Dalam pemikiran ini, isi media merupakan komoditas untuk dijual dipasaran dan informasi yang disebarkan diatur oleh apa yang akan diambil oleh pasar.
Namun, dalam asumsi teori kritisย juga disebutkan, pada dasarnya manusia itu memiliki otonomi dan kebebasan. Otonomi dan kebebasannya itu yang akan membentuk pengetahuannya. Khalayak harus kritis saat membiarkan dirinya terpapar media.
Kita juga bisa merujuk pada teori Uses and Gratification yang dikemukakan olehย Katz, Blumler, dan Gurevitch. Dalam teori ini disebutkan khalayak media bersifat aktif dan pengunaan medianya berorientasi pada tujuan. Pengguna media bebas menentukan dan memilih media untuk memuaskan kebutuhannya. Artinya seberapa burukpun media dan dampak yang mungkin terjadi, seharusnya keputusannya tetap pada kahalayak. Apapaun propaganda yang hadir dimedia, tetaplah khalayak menjadi penentu akhir. ย Apakah dia membiarkan dirinya terpengaruh atau tidak. Apakah dia memilih mempercayai begitu saja informasi yang disajikan atau tidak. Apakah dia membiarkan dirinya menjadi bagian komodifikasi khalayak atau tidak.
Seperti asumsi dari teori Uses and gratification ini, khalayak harus punya kesadaran diri dalam menggunakan media. Sadar akan minat dan motif menggunakan media. Bagi saya minat dan motif itu hendaklah seperti contoh yang saya tuliskan diawal. Menggunakan media untuk mengguncang khalayak akan suatu ketidakadilan, menggunakan media untuk menyuarakan sesuatu yang tertutupi. Karena cara ini telah membuktikan keampuhannya.
Penulis: Yeni Maiasnita (Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Unand)