5 Ulama Asal Minangkabau Penyebar Islam di Pulau Sulawesi

Penyebar islam di Sulawesi

islamic center dato tiro

KLIKPOSITIF – Syiar islam di Pulau Sulawesi tidak bisa dilepaskan dari peran ulama asal Minangkabau yang telah memperkenalkan Islam pada raja-raja dan masyarakat setempat pada masa lampau.

Namun sejumlah catatan menyebut bahwa Islam sudah ada di Sulsel waktu itu, meski penyebarannya belum pesat.
Sudah ada Sayyid Jamaluddin al-Akbar al-Husaini, seorang ulama asal Malabar, India, yang berdiam di Kerajaan Wajo sejak tahun 1320.

Menurut peneliti dari Balai Litbang Agama Makassar, datuk asal Minangkabau datang menyebarkan syiar islam di Pulau Sulawesi atas permintaan Raja Tanete.

Sebelumnya, kepala pemerintahan Kerajaan Barru tersebut mengirim utusan ke tanah Minang terlebih dahulu, menyampaikan maksud dan tujuan undangan.

Sisi lain, sebuah catatan turut menulis jika mereka diutus oleh Sultan Aceh dan Sultan Johor.

Untuk lebih jelasnya, berikut KLIKPOSITIF rangkum untuk Anda, 5 Ulama Minangkabau Penyebar Syiar Islam di Pulau Sulawesai

1. Datuk Karama

Datuk Karama atau Syekh Abdullah Raqie adalah seorang ulama Minangkabau yang pertama kali menyebarkan agama Islam ke Tanah Kaili atau Bumi Tadulako, Sulawesi Tengah pada abad ke-17

Awal kedatangan Syekh Abdullah Raqie atau Datuk Karama di Tanah Kaili bermula di Kampung Lere, Lembah Palu (Sulawesi Tengah) pada masa Raja Kabonena, Ipue Nyidi memerintah di wilayah Palu.

Selanjutnya Datuk Karama melakukan syiar Islam-nya ke wilayah-wilayah lainnya di lembah Palu yang dihuni oleh masyarakat Suku Kaili.

Wilayah-wilayah tersebut meliputi Palu, Donggala, Kulawi, Parigi dan daerah Ampana.

Seperti beberapa masyarakat lainnya, pada masa itu masyarakat suku Kaili juga masih menganut kepercayaan animisme/dinamisme yang mereka sebut “tumpuna”.

Mereka mempercayai adanya makhluk yang menunggui benda-benda yang dianggap keramat.

Syiar Islam Datuk Karama di pulau Sulawesi melalui ceramah-ceramah pada upacara-upacara adat suku tersebut akhirnya secara perlahan dapat diterima oleh raja dan masyarakat Kaili.

Perjuangan Datuk Karama akhirnya berhasil mengajak Raja Kabonena, Ipue Nyidi beserta rakyatnya masuk Islam.

Kemudian hari Ipue Nyidi dikenang sebagai raja yang pertama masuk Islam di Lembah Palu.

Datuk Karama atau Syekh Abdullah Raqie tak kembali lagi ke Minangkabau.

Sampai akhir hayatnya, ia dan keluarganya beserta pengikutnya terus menyampaikan syiar Islam di Lembah Palu, Tanah Kaili, Sulawesi Tengah.

Setelah wafat, jasad Datuk Karama dimakamkan di Kampung Lere, Palu (Kota Palu sekarang).

Makam Syekh Abdullah Raqie atau Datuk Karama kemudian hari menjadi Kompleks Makam Dato Karama dan berisi makam istrinya yang bernama Intje Dille.

Selain itu juga makam dua orang anaknya yang bernama Intje Dongko dan Intje Saribanu serta makam para pengikut setianya.

Ada 9 makam laki-laki, 11 makam wanita, serta 2 makam yang tidak ada keterangan pada batu nisannya.

2. Datuk Mangaji

Datuk Mangaji, bergelar Tori Agama adalah seorang penyebar agama Islam di Sulawesi Tengah, khususnya di daerah Parigi dan sekitarnya.

Ia dipercayai masyarakat setempat berasal dari Minangkabau, Sumatra Barat.

Raja Parigi (bahasa Kaili: Magau) yang bergelar Tori Kota (“Orang di Kota) dan putranya Magau Janggo (“Raja Berjanggut”) adalah yang pertama-tama masuk Islam dalam kerajaan tersebut.

Setelah menerima dakwah dari Datuk Mangaji.

Makam Datuk Mangaji terletak dekat istana Parigi di Desa Parigimp’u, Parigi Barat, Sulawesi Tengah

3. Datuk Ri Bandang

Berikutnya ada Datuk Ri Bandang merupakan penyebar Islam di wilayah Sulawesi Selatan (Sulsel), atas jasanya Islam menjadi agama mayoritas rakyat Gowa- Tallo pada awal abad ke 17.

Datuk ri Bandang bernama asli Abdul Makmur dengan gelar Khatib Tunggal adalah seorang ulama dari Koto Tangah, Minangkabau.

Ia menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan di wilayah timur nusantara.

Yaitu Kerajaan Luwu, Kerajaan Gowa, Kerajaan Tallo dan Kerajaan Gantarang (Sulawesi) serta Kerajaan Kutai (Kalimantan) dan Kerajaan Bima (Nusa Tenggara).

Datuk dengan gelar Khatib Tunggal sejak kedatangannya pada penghujung abad ke-16 bersama dua orang saudaranya yang juga ulama.

Yaitu Datuk Patimang yang bernama asli Datuk Sulaiman dengan gelar Khatib Sulung dan Datuk ri Tiro yang bernama asli Nurdin Ariyani dengan gelar Khatib Bungsu dan seorang temannya, Tuan Tunggang Parangan.

Mereka melaksanakan syiar Islam hingga akhir hayatnya ke kerajaan-kerajaan yang ada di timur nusantara pada masa itu (Gowa,Takalar,Jeneponto,dan Bantaeng).

Datuk ri Bandang bersama dua saudaranya Datuk Patimang dan Datuk ri Tiro menyebarkan agama Islam dengan cara membagi wilayah syiar mereka berdasarkan keahlian.

Dan kondisi serta budaya masyarakat Sulawesi Selatan atau Bugis/Makassar ketika itu.

Datuk ri Bandang yang ahli fikih berdakwah pada Kerajaan Gowa dan Tallo.

Sedangkan Datuk Patimang yang ahli tentang tauhid melakukan syiar Islam di Kerajaan Luwu.

Sementara Datuk ri Tiro yang ahli tasawuf di daerah Tiro dan Bulukumba.

4. Datuk Patimang

Datuk Patimang yang bernama asli Datuk Sulaiman dan bergelar Khatib Sulung adalah seorang ulama dari Koto Tangah, Minangkabau.

Ia menyebarkan agama Islam ke Kerajaan Luwu, Sulawesi sejak kedatangannya pada tahun 1593 atau penghujung abad ke-16 hingga akhir hayatnya.

Pada awalnya Datuk Patimang dan Datuk ri Bandang melaksanakan syiar Islam di wilayah Kerajaan Luwu.

Sehingga menjadikan kerajaan itu sebagai kerajaan pertama di Sulawesi Selatan, Tengah dan Tenggara yang menganut agama Islam.

Kerajaan Luwu merupakan kerajaan tertua di Sulawesi Selatan.

Wilayah yang meliputinya yakni Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur serta Kota Palopo, Tana Toraja, Kolaka (Sulawesi Tenggara) hingga Poso (Sulawesi Tengah).

Setelah Raja Luwu dan keluarganya beserta seluruh pejabat istana masuk Islam, Datuk Patimang tetap tinggal di Kerajaan Luwu dan meneruskan syiar Islamnya.

Ia menyiarkan islam ke rakyat Luwu, Suppa, Soppeng, Wajo dan lain-lain yang masih banyak belum masuk Islam.
Kemudian hari sang penyebar Islam itu-pun akhirnya wafat dan makamnya ada di Desa Patimang, Luwu.

5. Datuk ri Tiro

Datuk ri Tiro yang bernama asli Nurdin Ariyani/Abdul Jawad dengan gelar Khatib Bungsu adalah seorang ulama dari Koto Tangah, Minangkabau.

Ia menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan serta Kerajaan Bima di Nusa Tenggara sejak kedatangannya pada penghujung abad ke-16 hingga akhir hayatnya.

Pada tahun 1604 M, Al Maulana Khatib Bungsu menyiarkan agama Islam di Tiro (Bulukumba) dan sekitarnya.

Adapun raja yang pertama diislamkan dalam kerajaan Tiro adalah Launru Daeng Biasa yang bergelar Karaeng Ambibia.

Launru Daeng Biasa adalah cucu ke empat dari Karaeng Samparaja Daeng Malaja yang bergelar Karaeng Sapo Batu yang merupakan raja pertama di Tiro.

Belakangan Datuk ri Tiro dan Datuk ri Bandang juga menyiarkan Islam ke Kerajaan Bima, Nusa Tenggara.

Setelah beberapa lama melaksanakan dakwah Islam, akhirnya Khatib Bungsu atau Datuk ri Tiro berhasil mengajak raja Karaeng Tiro (Sulawesi Selatan) serta raja Bima (Nusa Tenggara) masuk Islam.

Sang pendakwah itu tidak kembali lagi ke Minangkabau sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di Tiro atau sekarang Bontotiro.

Makam Al Maulana Khatib Bungsu terletak di Kelurahan Eka Tiro, Kecamatan Bontotiro, Kabupaten Bulukumba. Makam ini berjarak 44 km dari kota Bulukumba

Mesjid Nurul Hilal Dato Tiro (sebelum tahun 1997 bernama Masjid Hila-Hila) adalah masjid yang terdapat di Kecamatan Bonto Tiro, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia.

Peninggalan Al Maulana Khatib Bungsu atau Dato Tiro, seorang ulama penyebar agama Islam, ini merupakan masjid tertua pada daerah Bulukumba.

Masjid itu berdiri pada tahun 1605 M. Terletak sekitar 36 kilometer dari pusat Kota Bulukumba.

Sumber: Berbagai Sumbar

  • *
    👉Silahkan bergabung di Grup FB SUMBAR KINI untuk mendapatkan informasi terupdate tentang Sumatera Barat.

Exit mobile version