BUKITTINGGI, KLIKPOSITIF – Yayasan Fort de Kock Bukittinggi beritikad baik dalam menyelesaikan sengketa tanah dengan Pemko Bukittinggi.
Atas saran mediator pengadilan negeri, kejaksaan serta Pakar Hukum Agraria, Prof. Kurnia Warman, SH, M,Hum, Yayasan Fort de Kock buka peluang untuk berdamai.
Menurut Ketua Dewan Pembina Yayasan Fort de Kock Bukittinggi, Zainal Abidin, proses perdamaian ini tetap harus berpedoman undang-undang yang berlaku.
“Yayasan tidak keberatan dan menerima saran berdamai dengan melakukan ruilslag (tukar guling) dengan tanah yayasan di Kelurahan Ipuah,” tutur Zainal Abidin, Jumat 24 Juni 2022.
Hal itu menurutnya telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Alasan Yayasan Fort de Kock Gugat Pemko
Zainal Abidin menceritakan, awalnya Yayasan Fort de Kock telah mengajukan damai kepada Pemko jauh-jauh hari sebelum ada sengketa.
Namun karena pihak Pemko menurutnya terus menyerang Fort de Kock akhirnya pihak yayasan kemudian menggugat perkara itu ke pengadilan.
Yayasan Fort de Kock melakukan gugatan perdata wanprestasi ke PN Bukittinggi dan di tingkat ini Yayasan Fort de Kock menang.
Dalam putusan pengadilan disebutkan jika Pemko Bukittinggi sebagai pembeli yang tidak beritikad baik.
Keputusan itu membuat Pemko Bukittinggi mengajukan banding ke tingkat Pengadilan Tinggi Sumbar.
Namun lagi-lagi keputusan Pengadilan Tinggi ini memenangkan Yayasan Fort de Kock.
Tak sampai di sana, Pemko kemudian mengajukan ke kasasi ke Mahkamah Agung, yang sampai saat ini masih dalam proses persidangan dan belum inkrah.
“Sebelum keputusan pengadilan itu menjadi keputusan tetap, masih terbuka peluang untuk berdamai,” ujar Zainal Abidin.
Pengajuan Perdamaian
Karena Yayasan Fort de Kock adalah penggungat, Zainal Abidin menyebut harusnya Pemko sebagai tergugat yang mengajukan perdamaian.
“Kami tidak mau mengajukan perdamaian, karena kalau kami mengajukan damai, berarti kami sama dengan menganulir perkara yang sedang berjalan,” tegas Zainal.
Jika Pemko mengajukan perdamaian, kata Zainal lagi, pihak yayasan tidak berkeberatan dengan perdamaian tersebut.
Namun jika Pemko keberatan untuk mengajukan perdamaian, maka yayasan juga menyatakan siap untuk meneruskan perkara tersebut.
“Kalau ada akibat dari keputusan itu nanti sekiranya tidak berpihak kepada orang yang tidak puas hari ini, jangan bebankan kepada kami,” tegas Zainal.
Sengketa Menahun
Sengketa antara Yayasan Fort de Kock Bukittinggi dengan Pemko Bukittinggi ini telah berlangsung lama.
Sebenarnya Yayasan Fort de Kock telah membuat Perikatan Jual Beli sebidang tanah di Kelurahan Manggis Ganting Bukittinggi pada tahun 2005.
Namun pengurusan sertifikat tanah waktu itu memakan waktu yang cukup panjang.
Pada tahun 2007, Pemko Bukittinggi juga membeli tanah di lokasi yang bersebelahan dengan Fort de Kock.
Tahun 2011, Pemko Bukittinggi mengeluarkan izin pembangunan kampus Yayasan Fort de Kock Bukittinggi.
Selanjutnya pada tahun 2016 yayasan mengajukan kembali Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk gedung pustaka dan olahraga.
Namun waktu itu secara lisan petugas PU menyebut jika pembangunan itu berada di lingkungan kampus yang sudah di pagar, sehingga tidak perlu IMB lagi.
Tapi setelah bangunan tersebut berdiri malah muncul masalah baru.
Pada tahun 2018, Pemko Bukittinggi menyebut tanah Pemko Bukittinggi terpakai oleh Yayasan Fort de Kock Bukittinggi.
Pengukuran ulang dilakukan. Namun pihak Pemko bersikukuh tanahnya terpakai, sementara pihak yayasan juga bersikukuh tidak memakai tanah Pemko.
Yayasan Fort de Kock tak ingin memperpanjang kasus dan waktu itu mengajukan solusi untuk tukar guling tanah, atau penukaran titik koordinat.
Namun Pemko enggan menerima tawaran solusi tersebut. Merasa terus dipojokan, yayasan Fort de Kock akhirnya menggugat Pemko ke Pengadilan.
Perkara di tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi ini akhirnya dimenangkan oleh Yayasan Fort de Kock.