KLIKPOSITIF – Penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) bukan merupakan suatu pilihan bagi Indonesia, namun itu adalah hal yang harus dilakukan di masa depan.
Hal ini ditegaskan oleh Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara.
“Energi terbarukan itu, kalau buat dalam banyak sekali pembicaraan, ini bukan pilihan. Ini adalah arah ke depan kita. Kita ingin menciptakan tentu satu sisi kebutuhan energi kita akan terus berlanjut dan membesar dan rasanya kalau hanya dipenuhi yang sifatnya fosil energi mungkin tidak akan pernah cukup. Di sisi lain keberadaan dari fosil energi yang memiliki efek CO2 ini tidak baik bagi kita dalam jangka menengah panjang,” terang Wamenkeu.
Wamenkeu mengingatkan bahwa dalam proses menuju ke arah penggunaan EBT secara penuh tersebut, Indonesia tidak berangkat dari titik nol. Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement dimana memiliki komitmen untuk menurunkan emisi CO2 sebesar 41% dengan bantuan dari dunia internasional dan 29% dengan usaha sendiri.
“Cara menjalankannya adalah dengan melihat sektor-sektor apa sih di perekonomian kita yang memiliki emisi. Dari hampir semua publikasi yang diupayakan, kajian yang dirumuskan, desain yang dihitung, ada sekitar 38% (sepertiga lebih dari emisi yang harus kita turunkan itu) pada sektor energi. Nah disini termasuk di sektor penyediaan listrik,” lanjut Wamenkeu.
Hal ini tidak terlepas dikarenakan pada masa lalu Indonesia memang membangun pembangkit-pembangkit listrik yang berbasiskan energi atau input berasal dari fosil, diantaranya pembangkit-pembangkit listrik batubara dan pembangkit listrik bahan bakar solar.
“Saat ini kita punya PLTU batubara, kita punya PLTD diesel. Tapi seperti saya sampaikan tadi bahwa komitmen adalah menuju energi terbarukan bukan pilihan. Ini jalan kita ke depan yang harus kita pikirkan,” terangnya.
Wamenkeu menyingung mengenai penggunaan bauran energi sebagai suatu langkah bertahap untuk menurunkan komposisi PLTU batubara dan PLTD serta menggantikannya dengan EBT. Hal ini berkenaan dengan target net zero emissiosn pada tahun 2060 yang dirancang oleh pemerintah Indonesia.
“Komitmennya adalah mempercepat (terwujudnya net zero emissions). Kalau 2060 bisa dapat, Oke. Lebih cepat dari 2060, Mau. Dan ini yang musti kita desain dan kita cari cara menjalankannya,” tegas Wamenkeu.
Namun, Wamenkeu juga mengingatkan mengenai berbagai macam skema kontrak antara PLN dengan para operator PLTU yang tidak boleh dikesampingkan. Dalam kontrak tersebut ada hak dan kewajiban, dan kontrak penyediaan ketenagalistrikan adalah kontrak jangka panjang yang memiliki sejumlah konsekuensi apabila kemudian dilakukan penyesuian.
“Kontrak-kontrak pembangkit itu juga berkaitan dengan iklim investasi di Indonesia karena kontrak-kontrak itu juga sangat dilihat oleh berbagai macam institusi internasional. PLN sendiri juga sangat diperhatikan oleh institusi internasional. PLN mengeluarkan obligasi, menjual obligasinya kepada internasional, dan PLN berhubungan dengan multilateral banks,” tambah Wamenkeu.
Maka dari itu, Wamenkeu mengatakan bahwa sekarang Indonesia sedang mengembangkan mekanisme transisi energi, sehingga dalam mekanisme transisi energi ini akan ada desain kebijakan yang pas untuk menyesuikan antara komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi karbon dengan kewajiban PLN pada kontrak-kontrak yang sudah ada, sekaligus kemudian membangun pembangkit-pembangkit listrik EBT yang baru.
Dalam kaitannya dengan pendanaan program tersebut, pemerintah mengembangkan skema blended financing (bauran pendanaan) dimana memberikan kesempatan untuk menghimpun dana publik (APBN), dana dari filantropis, serta sumber pendanaan dari lembaga multilateral internasional. Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian BUMN dan juga PLN saat ini berada dalam satu pemikiran untuk mendesain ini.
Terakhir, Wamenkeu juga menekankan bahwa adanya aturan pajak karbon dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan adalah satu lagi steping stone dalam menuju penggunaan EBT. “Termasuk apa yang sudah kita mintakan restu dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk menerapkan pajak karbon, yang tentu tidak langsung dikenakan kesemuanya karena ada sejumlah infrastruktur yang diperlukan untuk menjalankan pajak karbon tersebut, tapi komitmen kita adalah menuju energi baru terbarukan,” tutup Wamenkeu.