“Tendi Karo Volkano” Perjalanan Wakil Sumbar di Sinetografi Teater

Klikpositif Supernova Honda (3000 x 1000 piksel)

KLIKPOSITIF – Pada akhir perjalanan menyusuri enam gunung api di Karo, rombongan Residensi 15 Seniman dari berbagai pelosokNusantara dan Tim Kerja Penciptaan Karya Kreatif InovatifSinematografi Teater Tendi Karo Volkano tiba di Lokasi Pemandian Air Panas, Puncak Daun Paris, Desa SemangatGunung (Raja Berneh), Kecamatan Merdeka pukul 19.36 WIB,sudah disungkup gelap. Tempat yang berada di ketinggian 1600 mdpl itu, hanya menyisakan cahaya dari bangunan yang tersedia. Rencana untuk melihat tempat pertunjukan Tendi Karo Volkano pada 10 Agustus 2024 nanti, batal dengan sendirinya. Sebelumnya, tim besar yang terdiri dari 28 orang tersebut sudahmelewati Perkemahan Pramuka Sibolangit, Panatapan, Barus, Tiga Panah, Desa Dokan, Juma Bakal, Gardu Pandang Tongging, Sipiso-piso, Kabanjahe, Siosar, Tiga Nderket, TigaBinanga, Savana Sigarang-garang, Erdilo Café, Sinabung, Desa Lingga, Desa Daulat Rakyat, Gedung Kesenian Taman Mejuah-juah Berastagi.

Ada tiga diskusi dan empat eksebisi yang muncul dari semingguperjalanan ini. Diskusi dilaksanakan oleh Tuan Rumah, Teater Rumah Mata di Medan pada 21-23 Juli. Sedangkan eksebisidilaksanakan di empat tempat.

Tiga pembicara, Ir. Jonathan Tarigan, Dr Julianus Limbeng dan S Metron Masdison SS membahas tiga hal penting dalamperjalanan karya sinematografi teater yang berlatar enamgunung volkano ini; Geologi dan Gunung Api (Karo Volcano Park)’, ‘Karo Mengharmoniskan Hulu-Hilir Sumatera’ dan ‘Inovasi Karo dalam Sinematografi

Sementara eksebisi menampilkan bagian pertama dari tigabagian pertunjukan yang dilatih selama dalam perjalanan.

Untuk silaturahmi, mengetuk pintu, mengucapakan salam, darikami, Teater Rumah Mata dan seniman residensi dalammemasuki Karo sebagai bagian dari Taman Gunung Api dan kedalaman budaya sebagai alas pertunjukan,” ujar Agus Susilo, Ketua Teater Rumah Mata saat eksebisi kedua di Siosar Puncak2000, Karo High Land (Kawasan Gunung Sibuaten), malam(26/7).

Agus juga memperkenalkan seniman yang mengikuti residensi. Mereka adalah S. Metron Masdison (Padang), Syamsul Fajri(Lombok), Lestari (Yogyakarta), Rafika Ul Hidayati(Pekanbaru), Hananingsih Widhiasri (Wonogiri), Rasyidin Wig Maroe (Bireun). Selebihnya adalah seniman Karo dan daerahsekitar Sumatera Utara; Andi Parulian Hutagalung, PusenSinulingga, Christopher, Sri Sultan Suharto Saragih, Rahmat Setiawan, Priska Prisilia Br Bangun, Rudi Pranoto, dan Christoper Loise Sembiring. Semuanya merupakan senimanlintas disiplin; tradisi Karo, teater, musik, tari, art-visual, film serta rupa.  

The Last Sira, dipilih sebagai judul pertunjukan. Episode I inimengiris Perlanja Sira, tokoh saudagar yang memiliki karakterdiplomatis sebagai benang merah. Perlanja Sira sangat dikenaldi Tanah Karo. Terutama sebagai pencari garam dan terasi.

Tiga Diskusi

Ir. Jonathan Tarigan tampil di sesi pertama. Insinyur geologi, ahli cagar budaya dan konsultan pariwisata ini mendedahkanseluruh pengetahuannya mengenai gunung api. 314 halamanpower point diringkusnya demi membagi pengetahuan sejarahvulkanik di Tanah Karo.

“Air memunculkan kehidupan. Kehidupan Memunculkanperadaban. Peradaban memunculkan sejarah,” ucapnya denganpuitis.

Meski terkesan seram, gunung api menumbuhkan kehidupan. Selain air, panas bumi bisa dialihkan jadi tenaga listrik. pariwisata mendapatkan hulunya dengan pemandangan yang menakjubkan.

Ir. Jonathan Tarigan sampai berpuisi demi menggambarkanTanah Karo yang indah.

O Taneh Karo taneh simalem

Senyum dalam penciptaan-Mu

Engkaulah tanah nan harmoni

Taneh Karo Taneh Simalem

Rasyidin kemudian melihat situasi dengan memunculkanpertanyaan, “Apa peluang dari gunung api ini untuk Tendi Karo Volkano?”

Ir. Jonathan Tarigan kemudian memberi rekomendasi denganmenyebut Desa Tongging, Siosar, Lingga sampai ke Puncak DP. Tim Residensi kemudian menyisir seluruh rekomendasi itu.

Sementara, Dr. Julianus Limbeng mengarahkan diskusi pada peradaban. Ia membagi Manusia karo dalam tiga zaman; Prasejarah, zaman Hindu-Budha dan kerajaan Haru.

“Karena untuk keberadaan kerajaan Haru masih menjadidiskusi; kapankah kerajaan ini muncul. Etnis Karo merupakanpercampuran dari ras Proto Melayu dengan ras Negroid (negrito).

Percampuran ini disebut umang,” terangnya.

Hal ini terungkap dalam Legenda Kerajaan Aji Nembah. Akisah, Puteri dari Raja Aji Nembah dinikahi oleh Raja Umang yang berdiam di Gunung Sibuaten. Jejak kisah ini terekam di Situs Palas Si Pitu Ruang, Desa Aji Nembah, yang menceritakan asalmuasal Rumah Adat Karo. Umang tinggal dalam gua dan sampai sekarang masih dapat dilihat bekas-bekas kehidupannyadi beberapa tempat.

Pada abad ke-1 Masehi terjadi migrasi orang India Selatan yang beragama Hindu ke Indonesia termasuk Sumatera. Merekamemperkenalkan aksara Sansekerta dan Pallawa dan agamaHindu.

Pada abad ke-5 Masehi terjadi pula gelombang migrasi India yang memperkenalkan agama Budha dan tulisan Nagari. Tengku Lukman Sinar menyatakan bahwa Tulisan Nagari akan menjadicikal aksara Batak, Melayu, dan Jawa kuno.

Maka tidak heran bila sistem kepercayaan dan sistemmasyarakat dipengaruhi oleh Hindu dan Budha,” terangnya.

Jika dua pembicara sebelumnya, menekankan bagaimanamelihat Budaya Karo, Metron melihat kedalaman pertunjukan. Mulai dari metode sinematografi teater hingga investigasimendalam tentang kisi-kisi tradisi yang bisa dilesapkan dalampertunjukan.

Apa yang dilakukan ‘Tendi Karo Volkano”, seperti meletakkanarkeologi, antropologi, geologi (termasuk geomorfologi) dan budaya dalam satu meja. Kita tak bisa menepikan salah satuhanya untuk mendapat narasi. karena kepincangan akan lahirjustru dengan menutup satu mata,” ujar Sutradara Ranah PAC ini.

Katanya, sudah saatnya ada, pergerakan masyarakat,yang mestimengubah sudut menjadi titik,

mengubah pandang menjadi pijak yang selama ini terlalumengeras untuk dijadikan kebenaran tunggal.

Lintas ilmu, disipilin seni juga menjadi satu daya yang akanmemberikan manfaat selain membawa bekas lahar ke bawahmikroskop. Mengubah arsip kertas untuk dijadikan wacana.

TENDI … ingin memperlihatkan sekaligus mengajak tak hanyamelihat pucuk gunung, tetapi basa tanah yang melahirkandendang, tarian dan mancak.ucapnya.

Metron melihat, Teks yang dijunjung TENDI KARO VOLKANO (TKV) setidaknya berkisar pada dua hal; enamgunung dan Perlanja Sira. Pengikatnya garam, agen dan mantra. Teks-teks kecil juga bersileweran seperti geokultur wisata. Kemudian, dibungkuslah semuanya dengan SinematografiTeater.

Istilah ini ikut dipermasalahkan. “Kenapa tidak Teater Sinematikatau Live-Cinema?” tanyanya. Ia kemudian merujuk pada metode kerja Brad Jennings dan Steven Maxwell di SelandiaBaru. Keduanya membuat 14 pertunjukan yang mereka adakanselalu berada dalam ruangan. Sinematik menghukumi dirinyadengan ruang gelap agar bisa menyoroti ide yang lewat layarputih yang terkembang. Mereka telah merancang pengembangankreatif yang komprehensif pada proses produksi denganmengintegrasikan video panggung dan pertunjukan yang merekaajarkan kepada pendidik seni dan siswa sehingga mereka dapatmempraktikkan konvensi dan elemen yang mereka gunakan.

Dalam sesi diskusi, Lestari mengajukan pertanyaan penting, “Adakah padanan pertunjukan ini? Atau adakah perbandingandari pertunjukan sebelumnya?”

Metron menjawab, belum menemukan.

Empat Eksebisi

Siosar alangkah dingin. Pukul 7 malam, pintu warga sudahditutup, kata Benson Kaban, Aktivis Sosial yang selalumenemani rombongan. Daerah itu berada di ketinggian 1800 mdpl. Kedatangan rombongan Tendi seperti toa yang menguarkan mantra agar pintu-pintu warga kembali terbuka.

Siosar merupakan daerah pengungsian dari memancurnya lahar dari Gunung Sinabung. Mantan hutan lindung itu diteroka agar terbuka membangun perkampungan. Berladang adalah pekerjaantetap. Ada juga yang masih bolak-balik ke Sinabung karenabelum terbiasa pada basa tanah Sibuaten.

Rudi Pranoto memberi nuansa bentuk rumah adat Tanah Karo dengan balutan tali yang membentuk segitiga yang begitukentara. Bersama Sukisno, stage manajer, keduanya berusahamencari artistik yang pas di tiap lokasi. Tentu, denganmengoleksi property yang tersedia.    

Babak I dijajal untuk kedua kalinya. Apabila eksebisi pertama di Desa Tongging hanya menjadi ajang uji coba untuk peralatansiaran alir langsung, kali ini perkembangan pertunjukan sudahmulai menyerupai bentukan naskah.

Pertunjukan ini memang menyiapkan tiga lapisan; selain siaranalir langsung, juga performa panggung dan visual. Semuanyamemliki tingkatkelicinantersendiri.

Menjahitnya menjadi seni tersendiri,” Komentar Syamsul Fajri. Pimpinan SFN Labs melihat bagaimana kelindan naskahmeramu tiga lapisan adalah pekerjaan sebenarnya.

Sri Sultan, Lestari memapah gerakan Karo dalam tubuh. Bukanhanya agar semirip mungkin tetapi meraih ruh tarian dalamkesempurnaan. Rasyidin yang berperan sebagai Sira terusmenginvestigasi berbagai bentuk suara. Bukan hanya sebagaipadanan, sekaligus melokalisir karakter Sira yang begitukompleks dan panjang sejarahnya terinjeksi dalam DNA Karo; pedagang, negoisator, pesilat, sekaligus penguasa aliran sungai.

“Workshop, pertemuan dengan warga, berbincang dengan tetua, benar-benar membantu saya dalam menumbuhkan peran ini,” ujar dosen ISBI Aceh ini.

Persoalan visual baru bisa terlihat di Desa Lingga KecamatanSimpang Empat, Karo. Hananingsih membuat teks visual aksaraKaro sedemikian rupa. Digabung dengan footage dari perjalanansebelumnya membuat pertunjukan mulai menumbuhkan taring. Duet Wawan dan Toper di musik, menuju akhir perjalanansemakin kuat. Pemahaman mereka bagaimana menggarappertunjukan dengan mengorkestrasinya dengan berbagaibebunyian kian terasa.

Di Gedung Kesenian, Taman Mejuah-juah, Berastagi, babakawal dari pertunjukan menemukan wadah yang tepat. Tari, visual, dendang, nyanyian mulai menemukan kimiawi. Aksara Karo yang melintas-lintas, kadang menimpa wajah Sira, menambah karakteristik Rasyidin.

Catatan yang mesti disematkan adalah hadirnya Penyanyi Lawas Karo, Tio Fanta Ponem yang dibawa ke empat eksibisi. ini takhanyaya menjadi ‘intro’ yang kuat, tetapi juga mengubah eksbisimenjadi lebih berwarna.

“Kami paling menikmati fase ini,” kata Wawan. Bersama Toper, ia merasa menjadi gelas yang penuh. Siap mendada pertunjukansebenarnya pada 10 Agustus 2024 nanti di Puncak DP.

“Kami mengundang seluruh handai tolan di Tanah Karo untukmenyaksikan pertunjukan. Pertunjukan yang saya jamin tidakakan terlupakan,” tambah Toper, putra asli Deli Serdang ini.

Exit mobile version