Tanggapan Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Alex Indra Lukman Terkait Pagar Laut di Tanggerang

Klikpositif - JUTAWAN Honda (3000 x 1000 px) Iklan

PADANG, KLIKPOSITIF — Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Alex Indra Lukman menilai, dalil tanah musnah yang dipakai untuk ‘legalisasi’ dibangunnya pagar laut di Tanggerang, Provinsi Banten, tampak ganjil.

“Kita jadi bertanya-tanya, dokumen apa saja yang dipakai untuk pembuatan sertipikat saat lokasi tersebut masih belum berstatus tanah musnah,” ungkap Alex di Padang, Selasa (28/1/2025).

Pernyataan ini disampaikan Alex, menanggapi pencabutan atau pembatalan 50 sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Milik (SHM) di wilayah Pagar Laut, Kabupaten Tangerang, yang disampaikan Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid saat meninjau langsung Pagar Laut di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Jumat (24/1/2025).

Alex kemudian merujuk mitos catatan Pustaka Raja Purwa yang ditulis pujangga Jawa, Ronggowarsito, yang menyebutkan bahwa dulunya ada nama daratan Sunda Besar di Indonesia ini.

Akibat letusan Gunung Krakatau pada tahun 416 Masehi, daratan Sunda Besar itu kemudian terpisah jadi Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan sebagaimana dikenal hari ini.

“Dengan dasar mitos Pujangga Ronggowarsito, kemudian cap kaki Badak Bercula Satu yang dijadikan alas hak, tentunya seseorang bisa mengajukan sertipikat kepemilikan atas laut kita saat ini yang dulunya bernama daratan Sunda Besar,” urai Alex berseloroh.

Selorohan ini bukan tanpa dasar. Ini merujuk ketentuan tanah musnah sebagaimana diatur dalam Permen ATR/Kepala BPN No 3 Tahun 2024 yang kriterianya berupa; Sudah berubah dari bentuk asalnya karena peristiwa alam; Tidak dapat diidentifikasi lagi serta Tidak dapat difungsikan, digunakan dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

“Artinya, sudah saatnya pemerintah terbuka dengan asal usul pemagaran laut ini. Tak ada yang perlu ditutup-tutupi,” terang Ketua PDI Perjuangan Sumatera Barat ini.

Keterbukaan pemerintah ini penting, terang Alex, karena pengkaplingan laut untuk kepentingan reklamasi, juga terjadi di Kota Surabaya, Kota Makasar dan Bali.

“Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No. 3/PUU-VIII/2010 telah memberikan penafsiran yang terang benderang soal makna Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Jangan main-main juga,” tegas Alex.

Di mata Alex, pagar laut yang ada sekarang, patut diduga adalah perbuatan pidana karena ‘tidak memiliki Perizinan Berusaha’ dan telah ‘mengakibatkan perubahan fungsi ruang,’ dalam hal ini laut.

“DPR RI dapat membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki kasus ini,” tegasnya.

Diketahui, meskipun Pagar Laut ini telah disegel dan dibongkar, pemilik pagar dari bambu yang telah dibangun di areal sepanjang 30,16 kilometer di Kabupaten Tangerang masih jadi misteri. (*)

Exit mobile version