PADANG, KLIKPOSITIF — Sutradara Indonesia Jay Subyakto menekankan, ikon seribu rumah gadang Kabupaten Solok Selaran harus menjadi pilot project kota atau kabupaten di Indonesia berbasis pelestarian budaya.
“Ini juga bisa menuju industri kreatif yang bersumber pada produk asli Solok Selatan tidak didatangkan souvenirnya dari daerah lain, seperti memberdayakan panel dan miniatur rumah gadang dari berbagai apa saja bahan dasarnya dan ini menjadi ikon sovenir siapa saja yang berkunjung ke sana,” ujarnya Jay.
Hal tersebut dijelaskannya terakit rencana re-branding negeri seribu rumah gadang di Surambi Alam Sungai Pagu Solok Selatan oleh kalangan profesional Jay Subyakto (Sutradara Indonesia), bersama Yori Antar (arsitek), Nofrins (penggiat pariwisata) dan Asmudin (pakar rumah gadang)
Menurut Jay tidak susah melakukan re-branding seribu rumah gadang menjadi ikon destinasi wisata mendunia, dengan kekayaan khasanah arsitektur tradisionil yang dimilikinya serta dukungan dari pemerintah daerah termasuk inisiatif Bupati Muzni Zakaria.
“Bupati, Pak Muzni Zakaria sangat respek dan wellcome, apalagi ninik mamak pemilik setiap rumah gadang di sana juga sudah izinkan menjadi cagar budaya, waoo tinggal dibaikin brandingnya dan lanscape-nya lalu diviralkan jadi itu destinasi budaya hebat dari Sumbar,” ujarnya.
Ada 108 rumah gadang di Sungai Pagu, Mutia Hatta putri Proklamator Bung Hatta, kata Jay pernah mempopulerkannya dulu sebagai negeri seribu gonjong, tapi kini populer dengan sebutan negeri 1000 rumah gadang.
Menurut Jay, ia terjun untuk membantu Solok Selatan berangkat dari apa yang dilihat di Indonesia saat ini, Jay Subyakto menyayangkan mudahnya orang melupakan warisan budaya asli Indonesia.
“Saat ini terjadi apa, arsitektur nasional punah, busana punah bahkan bahasa nasional punah karena alasan toleransi, Jay tidak mau membiarkan ini terjadi, keberadaan kekayaan tradisi harus dire-branding, Indonesia jadi karena keberagaman tidak karena keseragaman,” ujarnya.
Mindset generasi muda terhadap keberagaman tradisi Indonesia harus dirubah kembali, jangan sedikit sedikit bicara kebarat-baratan, bahkan mengenal budaya tradisi mereka dicap jadul.
“Itu salah, mindset ini harus diubah karena apa dengan pariwisata demostik saja satu destinasi bisa kaya raya loh,” ujarnya. (*)