Segala yang Datang Setelah Tambang

Segala yang Datang Setelah Tambang

Oleh: Ramadhani

Sajiman menyulut api lalu menaburkan sejumput kemenyan di atasnya. Asapnya membubung dibawa udara bulan November yang lembab. Bau khas yang mencucuk hidung itu menyebar ke sudut-sudut taman kota. Gong dan bonang terus dipukul sahut bersahutan. Mendengar keriuhan itu orang-orang mulai berkumpul di depan Gedung Pusat Kebudayaan di tengah Kota Sawahlunto.

“Dia anak Minang, tidak pandai bertutur Jawa, apalagi menari,” seorang penonton berteriak mengenali temannya yang menari sembari bersenandung dalam bahasa Jawa halus.

Di antara lindapnya mentari petang, beberapa orang menunggangi anyaman kuda dan saling berhadapan. Mereka bergerak mengikuti ritme musik. Permainan kuda kepang memasuki puncak pertunjukan ketika satu persatu pemainnya mulai tak sadarkan diri. Mereka mulai menunjukkan gerakan yang tak bisa, bahkan beberapa orang terlihat mulai menari Jawa.

Pemain yang sedang trans tersebut menari mengikuti tabuhan gong dan gendang. Kemudian dengan mulutnya dia mengambil kembang tujuh rupa dari piring sesajen dan mengunyahnya. Beberapa pemain lain sibuk mengunyah bara api pada sabut kelapa. Bara merah menyala itu mereka kunyah dan dengan lahap. Jangankan terluka atau terbakar, para pemain kuda kepang itu tidak menunjukkan tanda-tanda kesakitan. Aksi kuda kepang semakin beringas mengikuti pukulan gendang yang makin ritmis membawa mereka tenggelam makin jauh dalam ekstase.

Sajiman, pria sepuh pemimpin pertunjukkan itu, mencelupkan beberapa kuncup kembang lalu memercikkan airnya kepada para pemain. Setelah merapal doa di pangkal telinga murid-muridnya itu, satu per satu, mereka kembali pada keadaan normal. Pertunjukan kuda kepang dimulai setelah asar dan baru berakhir menjelang magrib. Tapi para pemain itu tidak menunjukkan sedikitpun tanda kelelahan setelah melakukan atraksi selama dua jam. Tanpa segaris pun bekas luka, tanpa kucuran keringat yang berarti.

“Di sinilah saya pertamakali menyaksikan wayang,” ujar Toyo mencoba membuka obrolan saat azan magrib mulai terdengar dari penjuru kota.

Toyo menghembuskan asap rokok yang dari tadi tertahan di mulutnya, kemudian melentingkan puntungnya. Dia merogoh saku lalu menempelkan sebatang kretek di ujung bibirnya. Ia membakar gulungan tembakau itu dan menarik satu hisapan dalam lalu membuang asapnya ke udara. “Itu pertama kalinya saya menonton wayang sejak merantau ke tanah Minang ini. Sudah lama sekali, dek,” katanya tak lama kemudian.

Pertunjukan wayang yang terakhir kali Toyo disaksikan di desanya di Madiun, Jawa Timur sekitar tahun 1990. Pertunjukan wayang, katanya, sama artinya dengan kenduri besar, waktu masyarakat tenggelam dalam kegembiraan, letusan kembang api dan jajanan pasar yang tak terhitung macamnya. Sebuah perayaan yang dinantikan banyak orang.

Dan yang terpenting, katanya sembari menyipitkan kedua matanya, gadis-gadis desa akan berdandan lebih cantik dari biasanya. “Dan sungguh mereka memang terlihat lebih cantik ketika malam hari. Waktu itu saya masih muda dek,” kata Toyo tersenyum kecut teringat masa mudanya.

Sejak saat itu, Toyo tak pernah lagi menyaksikan pertunjukan wayang. Meski cukup sering pulang ke desanya, namun dia tak pernah lagi menonton aksi dalang dan mendengar merdunya suara sinden. Baru beberapa tahun yang lalu, dia bisa menikmati pertunjukan wayang yang digelar di Sawahlunto. Sebuah pesta budaya yang melibatkan seniman dari sejumlah komunitas budaya yang berasal dari berbagai daerah di nusantara.

Sawahlunto pernah rutin menggelar pertunjukan wayang dari tahun ke tahun. Kota bekas tambang ini menjadi kantong, wadah berkumpulnya berbagai jenis kesenian dan atraksi budaya. Sebuah upaya untuk terus menghidupkan alkuturasi budaya yang menjadi akar kehidupan masyarakat Sawahlunto.

Masih teringiang jelas di telinga Toyo, alunan gamelan merambat pelan di antara gedung-gedung tua. Sesekali diselingi nada pentatonik dari lubang saluang dan ketukan khas talempong. Lalu para sinden melantunkan tembang menggunakan bahasa Tansi, bahasa yang tidak begitu dipahami Toyo.

Bahasa Tansi, para linguis juga menyebutnya sebagai bahasa Slunto. Bahasa Kreol tertua di nusantara ini. Sebuah cara bertutur yang lahir dari komunikasi berbagai macam etnik dan bangsa yang terlibat industri tambang di Sawahlunto sejak awal abad ke-19. Hanya di Sawahlunto wayang diperkaya gubahan gamelan dengan komposisi musik tradisi Minangkabau. Dan sinden membawakan cerita dengan bahasa baru yang lahir dari peristiwa sejarah. Ragam budaya itu menjadi fondasi sekaligus daya tarik kota yang tercipta dari liang-liang tambang ini.

“Sama seperti Kuda Kepang, wayang itu tradisi yang dibawa oleh masyarakat Jawa saat mereka mulai menetap di Sawahlunto. Di sini, kesenian dan kebudayaan telah terjalin menjadi satu kesatuan utuh meski masyarakatnya terdiri dari etnik dengan budaya berbeda,” ujar Bagus, seorang seniman dari Sangkar Bina Satria.

Musik gamelan misalnya, kata Bagus lagi, dimainkan oleh anak-anak muda dari Kolok, Silungkang, Talawi, dan daerah lainnya. Dan mereka bukanlah anak-anak dari keluarga Jawa atau keturunan Jawa. Begitu juga dengan kesenian randai. Anak-anak dan pemuda keturunan Jawa begitu bersemangat memainkannya.

Memang sebagian besar orang-orang Jawa dan suku nusantara lainnya didatangkan ke Sawahlunto pada ujung abad ke-18 sebagai pekerja tambang. Mereka diangkut menggunakan kapal-kapal besar untuk mengeluarkan batu bara dari perut bukit di sepanjang sungai Lunto. Tenaga ekstra ini didatangkan oleh pemerintah kolonial karena jumlah tenaga lokal tak lagi mendukung produksi batu bara yang tinggi. Bahkan setelah penghuni bui di Muaro Padang dijadikan tenaga kerja paksa. Para pekerja didatangkan dan kemudian terus dipekerjakan selama bumi Sawahlunto masih mengandung batubara.

Pada 1887 Ombilin Sawahlunto telah menjadi pemukiman pertambangan meski produksi awal batu bara baru dimulai pada 1892. Para pekerja tambang ini akan terus menggali hingga masa kejaayaan tambang di Sawahlunto mencapai pucaknya pada tahun 1930-an. Untuk menjaga etos kerja para penambang, pihak kolonial menyiapkan beragam jenis hiburan malam. Mulai dari arena perjudian, wanita-wanita penghibur, dan juga kesenian rakyat.

“Wayang, menjadi satu bentuk hiburan yang didatangkan, atau turut datang bersama para pekerja dari Jawa,” kata Sajiman suatu malam di rumahnya. Rumah Sajiman terletak di salah satu sisi lereng bukit yang mengapit Kota Sawahlunto.

Dia mengatakan pada malam hari atau di waktu-waktu tertentu, pertunjukan wayang akan digelar untuk menghibur hati para pekerja kontrak yang rindu rumah. Atau sekedar mengisi malam-malam panjang di tanah yang asing.

Tidak ada Sawahlunto sebelum batu bara ditemukan di bukit- bukit di sepanjang Sungai Lunto. Sejarawan mencatat kawasan tambang Ombilin hari ini merupakan tanah ulayat dan tanah pertanian yang subur milik masyarakat Nagari Sijantang, Kolok, dan Kubang yang terus meluas ke daerah Durian Gadang, Sigalut, Sungai Durian dan sejumlah daerah lain. Pada lahan-lahan agraris itulah, tambang batu bara terbesar di Asia Tenggara diciptakan.

Semuanya bermula dari hasil riset geolog Wiliem Hendrik De Greve yang dipublis pada 1871. De Greve yang melakukan ekspedisi di pedalaman Minangkabau menemukan kandungan batu bara berkualitas tinggi.  Setidaknya ada 200 juta ton batu bara terkandung di sepanjang aliran Sungai Ombilin dan daerah lain di sekitar aliran sungai itu. Hasil kajian De Greve membawa angin segar di tengah revolusi industri yang sedang berkembang di Eropa. Pemerintah kolonial dan investor-investor privat di Belanda menunjukkan minat yang tinggi pada proyek eksplorasi tambang batu bara skala besar di pedalaman Sumatra.

Untuk bisa mengeruk batu bara Ombilin Sawahlunto yang menjanjikan itu, De Greve dan peneliti sesudahnya telah menyusun rencana dan sejumlah rekomendasi. Sementara pemerintahan kolonial menyiapkan regulasi bisnis, termasuk kajian tentang moda transportasi yang bisa mengangkut batu baru secara masif.

Setelah beberapa kali penelitian, Belanda memutuskan jalur kereta api akan dibangun menuju pedalaman Minangkabau melalui Kayu Tanam, Jurang Anai, Padang Panjang dan terus ke Sawahlunto. Meski lebih jauh, rute ini dipilih karena menelan biaya pembangunan lebih kecil ketimbang Jalur Sitinjau Lauik dengan jarak yang lebih pendek. Jalur memutar ini, membuat rute Padang – Sawahlunto sekaligus terkoneksi dengan daerah-daerah perkebunan di dataran tinggi. Untuk menaklukkan lintasan di perbukitan, digunakan teknologi kereta dari Swiss yang menggunakan rel bergerigi. Belanda bahkan harus menunda rencana pembangun jalur kereta di Pantai Timur Sumatra karena harus mengerahkan segala sumber daya untuk pembangunan jalur kereta Ombilin Sawahlunto.

Tambang batu bara Ombilin ini juga memaksa Belanda membangun sebuah pelabuhan baru. Pasalnya pelabuhan di Muara tidak cukup memadai untuk distribusi batu bara skala ekspor. Konnigine Bay atau dikenal sebagai Teluk Bayur dipilih sebagai daerah paling potensial. Daya pikat batu bara Ombilin lah yang mendorong pelabuhan yang diberi nama Emmahaven itu dibangun menjadi pelabuhan terbesar di Pantai Barat Sumatra pada tahun 1892. Sehingga pada 1894 Padang dan Ombilin Sawahlunto sudah terkoneksi melalui jalur kereta api.

Kandungan batu bara Ombilin yang begitu kaya terus menyedot tenaga kerja. Jumlah pekerja tambang yang tak kunjung cukup membuat orang-orang harus didatangkan dari luar Sumatra. Orang-orang hukuman dan para kriminal dialih fungsikan sebagai pekerja tambang, dengan rantai di kaki mereka.

Poster-poster lowongan kerja sebagai penambang kontrak dipajang hingga ke Malaka. Para pekerja tiba dari Jawa, Tiongkok, Penang hingga Singapura. Ribuan orang dari latar budaya berbeda menetap di Sawahlunto. Sebagian sebagai bekerja paksa, sebagian lagi sebagai buruh kontrak. Berbagai etnik yang dibawa sebagai buruh tambang akhirnya membentuk budaya multikultur. Di lembah yang serupa kuali itulah  kemudian peradaban industri mulai terbentuk.

Penemuan batu bara Ombilin Sawahlunto turut mengubah wajah, struktur dan dinamika kehidupan masyarakat di Sumatra Barat kala itu. Lalu lintas ekonomi tradisional yang awalnya bergantung pada jalur sungai telah berganti dengan rel-rel besi. Kereta api memicu pesatnya pertumbuhan ekonomi dengan menunjang jalur distrubusi hasil perkebunan dari dataran tinggi Minangkabau ke pelabuhan utama di Padang. Kereta api kemudian berkembang menjadi ikon kemajuan zaman yang membuka akses ke nagari-nagari di Minangkabau. Elit-elit adat Minangkabau yang terus berkembang seiring pertumbuhan ekonomi menjadikan kereta api sebagai simbol kemapanan dan modernitas.

Produksi batu bara Ombilin Sawahlunto mengubah kawasan agraris menjadi sebuah kota industri modern. Saat daerah-daerah lain di nusantara masih tenggelam dalam gulita malam, Sawahlunto telah bermandikan cahaya listrik. Batu bara dan teknologi uap, menjadikan Sawahlunto sebagai kota bergelimang listrik terbesar di Hindia Belanda.

Kegemilangan batu bara membawa keuntungan besar, menciptakan gaya hidup serba mewah kalangan elit Sawahlunto. Ratusan orang Belanda dilaporkan menetap dan menikmati kehidupan serba glamor dengan segala fasilitas mewah, rumah judi dan tempat-tempat hiburan di Sawahlunto. Kenikmatan yang didulang dari kekayaan batu bara Ombilin. Kemewahan yang tentu saja harus dibayar mahal oleh orang-orang rantai yang sekarat di lubang-lubang tambang.

“Ini Mbah Suro, yang memimpin perlawanan orang-orang rantai melawan penjajah,” kata Sajiman sembari menunjuk sebuah tokoh pewayangan modern.

Sebagai Dalang, Sajiman telah menggubah kisah pewayangan tentang perlawanan orang rantai melawan penjajah Belanda. Sejak lama, kisah heroik Mbah Suro yang memimpin perjuangan melawan kompeni ditampilkan dalam berbagai pentas kesenian di Sawahlunto. Narasi perjuangan ini bisa ditemukan ketika para pelancong berkunjung ke Museum Lubang Mbah Suro. Memang, setelah pamor batu bara Ombilin surut, kekayaan sejarah dan pariwisata telah menjadi tulang punggung yang menyangga perekonomian Sawahlunto.

Nilai sejarah, warisan industri tambang, dan kebudayaan yang beragam telah mejadi magnet nomor satu yang membuat Sawahlunto begitu unik. Berbagai upaya untuk mengembangkan kekayaan nilai-nilai dan potensi wisata ini terus digulirkan dari tahun ke tahun. Mulai dari tur sepeda internasional, festival musik etnik dunia, karnaval songket, festival wayang dan berbagai atraksi budaya digelar secara berkala. Sebuah upaya untuk membawa orang-orang menyaksikan dan menyadari ragam nilai warisan tambang batu bara Ombilin Sawahlunto.

Lalu kabar baik itu datang dari Baku, Azerbaijan pada Juli 2019. Komite Warisan Dunia memilih tambang batu bara Ombilin Sawahlunto sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Daya pikat sejarah dan ragam narasi kebudayaan terus membuka sejumlah potensi baru yang dapat mendorong kesejahteraan masyarakat Sawahlunto.

Hari ini ketika batubara tak lagi seharum dulu, Sawahlunto terus hidup. Karena batu bara hanya menjadi sebuah tanda awal tumbuhnya sebuah peradaban. Bahwa jejak sejarah berdirinya sebuah kota akan terus hidup bersama masyarakatnya. Sejarah Sawahlunto adalah tentang kisah-kisah manusia yang hidup di dalamnya. Tentang ragam budaya yang terus berkembang dan saling beririsan satu dengan lainnya. Dan kini perhatian dunia sudah tertuju kepada Sawahlunto, tidak hanya pada masa lalunya, tapi juga pada masa depannya.

Exit mobile version